Aku duduk di bangku taman yang mulai
sepi. Mentari hampir sampai di tempat persembunyiannya. Menyisakan warna jingga
yang terlukis di antara awan. Sesekali aku tersenyum pada seorang pria di
hadapanku. Kak Bisma. Dia adalah
kekasihku sejak delapan tahun yang lalu. Satu-satunya teman dalam hidupku. Dia
adalah segalanya bagiku. Aku dapat sampai ke tempat ini dan meraih semua
cita-citaku karenanya. Dia adalah pengusaha kaya raya. Pemilik rumah sakit
dimana aku bekerja kini. Dan dia yang telah memungutku dari jalanan dan
merubahku menjadi harta yang sangat berharga baginya.
Aku kembali mengingat kejadian
sembilan tahun silam. Saat aku bekerja di sebuah cafe sebagai seorang pelayan.
Saat itu usiaku masih 18 tahun. Aku harus bekerja keras sembari menyelesaikan
study SMA ku. Itu semua aku lakukan demi cita-citaku untuk menjadi seorang
dokter. Aku hanyalah anak panti asuhan yang memiliki mimpi besar. Tak ada
apapun yang dapat ku banggakan selain mimpiku. Maka dari itu aku harus berusaha
keras meraihnya.
Sore itu, mataku terpejam saat
mendengar sebuah gelas yang di banting dengan sengaja. Aku menggenggam kedua
tanganku erat. Nampaknya aku akan kehilangan pekerjaanku hari itu.
“Kau
bodoh atau apa? Aku memesan green tea, bukan lemon tea. Apa telingamu bermasalah?”teriak
wanita paruh baya itu padaku.
Dari
dandanannya, nampaknya ia bukan orang sepertiku. Ia nampak modis dengan setelan
jas dan rok biru selutut yang ia kenakan.
“Maaf
nyonya. Tolong maafkan saya. Saya akan segera menggantinya”ujarku memohon.
Wanita
itu memandangku sengit. Alisnya tebal. Mempertegas sikap angkuh yang ada pada
dirinya.
“Ada
apa ini?”tanya bosku yang baru saja datang.
“Siapa
Anda?”tanya wanita galak itu.
“Saya
pemilik cafe ini. Apa ada masalah?”tanya bosku sopan.
“Hah?
Bagus Anda disini. Sebaiknya Anda memecat pelayan bodoh ini. Dia sama sekali
tak becus kerja. Dia sungguh bodoh dan menjijikkan”ucap wanita itu dengan
angkuhnya.
Terlihat
bosku menghela napas panjang dan menatapku sejenak, membuatku menunduk takut.
“Bisakah
Anda pergi sekarang?”tanya bosku
Aku
menoleh ke arahnya. Ucapan itu bukan ia tujukan padaku. Melainkan pada wanita
galak di depanku.
“Apa?”tanyanya
kaget.
“Meskipun
dia hanya pelayan, dia juga punya harga diri. Dan mulut Anda telah melukai
harga dirinya. Saya tidak akan meminta Anda memohon maaf padanya. Karena saya
tahu, Anda tidak akan mau. Tapi setidaknya Anda bisa pergi sekarang, agar wajah
memuakkan Anda tidak menambah luka di hatinya”ujar bosku memandang wanita itu
sengit.
Tunggu!
Dia membelaku? Dia membela pelayan sepertiku di hadapan pelanggannya?
Tanpa berucap apapun pelanggan
angkuh itu pergi. Masih dengan wajah gaharnya tentunya. Aku kembali menunduk
saat bosku beralih menatapku. ‘Kau di pecat’. Aku yakin dia akan mengucapkan
kalimat itu.
“Apa
kamu tak punya harga diri?”bentaknya
Aku
menatapnya bingung. Apa yang ia katakan? Aku hanya berusaha menempatkan diriku
pada posisiku. Pelayan. Apa dia tak mengerti itu? Oh tentu saja tidak. Dia
adalah kalangan tingkat atas. Seorang pemuda yang berhasil meraih kesuksesan
sebelum usianya menginjak kepala tiga.
“Maaf
Tuan”ujarku sembari membungkuk.
“Kenapa
kamu diam saja saat dia menyebutmu ‘bodoh’?”tanya bosku. Masih dengan nada
marah tentunya.
Huft....
Aku bernapas lega. Meskipun aku di marahi, setidaknya aku tak kehilangan
pekerjaanku. Aku baru tahu jika bosku sangat mempedulikan karyawannya. Dia
tidak seperti bos pada umumnya. Dia sangatlah baik. Dan sangat bertanggung
jawab terhadap karyawan-karyawannya.
Tahukah kalian? Sejak saat itu aku
dapat lebih mengenal bosku. Kami mulai dekat. Dia simpati dengan kisah hidupku.
Seorang pelajar yang harus berjuang mati-matian demi meraih mimpinya. Ia
berniat membiayaiku kuliah kedokteran, tetapi aku menolaknya. Aku tidak mau
terlalu banyak berhutang budi padanya. Ia sudah terlalu baik padaku. Tapi ia
tak menyerah. Atas nama rumah sakit miliknya, ia memberiku beasiswa, dengan
syarat aku harus bekerja disana saat aku lulus nanti. Baiklah, aku menerimanya.
Setidaknya kali ini aku tidak menerima bantuannya secara cuma-cuma.
Hingga tahun berikutnya, ia
menyatakan perasaannya padaku. Saat itu aku duduk di semester kedua kuliahku.
Dan dia baru saja kembali dari luar negeri untuk urusan bisnis.
“Aku
rasa hidupku berubah setelah aku mengenalmu. Hidupku menjadi lebih berwarna.
Otakku yang dulunya hanya terisi pekerjaan, kini mulai memikirkan hal
lain”ujarnya serius.
“Maksud
kakak apa?”jujur saat itu aku masih bingung. Usiaku masih 19 tahun, dan dia
sudah berusia 27 tahun. Bisakah ia berbicara intinya saja?
Ia
tersenyum simpul. Membuatku semakin bingung. Namun kemudian ia menggenggam
jemariku. Aku sempat kaget. Tapi aku tak dapat menolaknya.
“Aku
mencintaimu, Roseandara Andriani”ungkapnya penuh ketulusan.
Aku
sempat terpaku. Namun aku segera sadar, siapa aku, dan siapa dirinya. Kami
sungguh jauh berbeda.
“Maaf
aku nggak bisa. Kakak lebih pantas bersama orang yang lebih baik dariku.
Seseorang dengan latar belakang yang jelas, dan karir cemerlang seperti kakak”jawabku
Aku pikir, aku adalah orang yang
munafik. Aku membohongi hatiku sendiri. Tapi itu semua demi kebaikannya. Aku
tak pantas untuknya, dan tak akan pernah menjadi pantas. Dunia kami berbeda,
cukup jauh. Dia terlalu tinggi untuk aku gapai.
“Aku
nggak peduli dengan semua itu. Aku hanya percaya pada hatiku. Dan hatiku telah
memilihmu. Setidaknya, beri aku kesempatan, Dara”pintanya.
Aku
berpikir sejenak. Aku salah karena mencintainya. Tapi dia tak salah karena
mencintaiku. Dia memiliki segalanya, dia tak pantas di salahkan. Dia pantas
mendapat apapun yang ia mau. Tak dapat ku ingkari, aku juga ingin berada di
sisinya. Hatiku juga memilihnya dari jutaan pria di luar sana. Mataku tak dapat
meihat cinta yang lain selain cintanya.
“Aku
juga cinta sama kakak. Tapi.....”ucapku terpotong.
“Itu
saja sudah cukup. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu”potongnya.
Detik
berikutnya ia menarikku berdiri dan segera memelukku erat. Sangat erat.
“Berjanjilah
untuk selalu di sisiku hingga akhir!”pintanya.
Dengan
sedikit keraguan, aku mengangguk dan membalas pelukannya. Kepalaku aku
sandarkan di dadanya. Ternyata sungguh hangat pelukan kekasihku itu.
Dia adalah Bisma Karisma. Seseorang
yang menjadi kekasihku delapan tahun terakhir. Aku tak peduli dengan usia kami
yang terpaut cukup jauh. Aku tak peduli jika orang lain menganggapku rendah dan
buruk karena menerima cinta pria sempurna itu. Yang aku pedulikan hanyalah
senyumnya yang terlukis saat sedang bersamaku. Aku bahagia melihat senyumannya.
Aku bahagia menjadi alasan disetiap senyumannya. Bagiku, dia adalah jiwaku. Dia
adalah nafasku. Dulunya hanya ada hitam dan putih di hidupku. Tapi setelah dia
datang, semua berubah menjadi indah. Selama delapan tahun ini, ia selalu
melakukan yang terbaik untukku. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.
Dulu jika aku pulang kuliah malam,
dia sudah berada di kontrakan sederhana milikku dan memasakkanku makan malam.
Ia bisa memasak. Ia bisa melakukan apa saja untukku. Dulu saat kami terjebak
macet berjam-jam sementara di luar hujan lebat, ia melepas jas kerjanya untuk
menyelimutiku. Ia tak memperdulikan dinginnya udara saat itu. Ia tak
menghiraukan alerginya terhadap udara dingin. Bahkan ketika aku kecewa karena
nilai kuisku jelek, ia datang menghampiriku dengan kostum badut. Menari-nari
demi menghiburku. Tak peduli jika orang lain mentertawakannya. Yang ia
pedulikan hanya senyumku. Ia ingin selalu tertawa bersamaku.
Kembali ke masa sekarang. Matanya
yang sayu menatapu dengan binar yang amat terang. Matanya selalu terlihat indah
saat menatapku. Aku tersenyum padanya. Nampaknya ada hal yang ingin ia
bicarakan padaku.
“Ada
apa? Apa kau haus?”tanyaku.
Dia
menggeleng dengan senyum khas di bibirnya. Tangannya terangkat untuk membelai
pipi kiriku. Akupun menggenggam tangan itu.
“Kamu
tiap hari makin cantik aja”pujinya
Aku
tersenyum. Tak dapat ku sembunyikan semburat kemerahan yang timbul di kedua
pipiku. Ia terkekeh sebentar melihat reaksiku.
“Apa
Anda sedang menggoda seorang dokter, Tuan Bisma Karisma?”candaku.
Ia
semakin terkekeh geli. Kemudian mengambil tanganku untuk ia letakkan di
dadanya. Merasakan detak jantungnya yang kian melemah setiap harinya. Aku
menatapnya sendu. Rambutnya tak selebat dahulu lagi. Tubuhnya semakin kurus dan
terlihat rapuh. Namun di mataku ia tetap pria yang paling tampan.
“Dia
selalu berdetak dengan baik saat kamu di sisi ku”ujarnya serius.
Aku
mengangguk. Perlahan, senyum di bibirku memudar. Hanya tatapan senduku yang dapat
ku lemparkan padanya.
“Ya.
Dan akan terus begitu. Karena delapan tahun lalu kamu sudah berjanji akan
selalu membahagiakanku”balasku.
Ia
tersenyum miris. Ada apa? Apa ia mulai menyerah dengan semua ini?
Sejak tiga tahun lalu, kak Bisma
mengidap kanker otak. Keadaannya kian memburuk akhir-akhir ini. Bahkan sejak
dua bulan lalu, ia tinggal di rumah sakit. Semua upaya pengobatan yang
dilakukan padanya gagal. Entah itu operasi, kemoterapi, dan pbat tradisional,
tak mampu memperbaiki keadaannya. Aku adalah seorang dokter. Tapi aku tak mampu
menyembuhkannya. Yang bisa ku lakukan hanya terus berada di sisinya. Tak
membiarkannya merasa sendiri dan sepi.
Kak Bisma menarik kepalaku untuk
bersandar di dadanya. Aku mendengar dengan jelas detak jantung yang kian
melemah itu.
“Apa
kamu ingin menyerah dan mengingkari semua janjimu itu?”tanyaku parau.
Dia
menggeleng dan mempererat pelukannya.
“Aku
tidak sanggup untuk mengingkari janjiku padamu. Aku terlalu mencintaimu, Dara.
Aku tak ingin kamu kecewa dan menangis karenaku”jawabnya.
Dia
membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku dapat merasakannya. Hingga
setetes air mataku menetes.
“Jika
Tuhan memberiku kesempatan hidup satu kali lagi di masa mendatang, aku tak akan
meminta harta yang aku miliki kini. Aku tak ingin meminta kekuasaan ataupun
kehormatan seperti yang aku miliki saat ini. Aku hanya menginginkan satu
hal”ucapnya terhenti.
Aku
melepas pelukannya dan menatap matanya serius, menanti lanjutan ucapannya.
“Yang
aku inginkan hanya memiliki senyummu kembali hingga aku mati”lanjutnya sembari
tersenyum tipis.
“Kak
Bisma...”panggilku.
Ia
tersenyum.
“Kak
Bisma adalah nyawaku. Disaat aku tidak yakin akan adanya masa depan, kakak
datang dan menyalakan lentera yang menerangi jalanku hingga aku sampai ke
tempat ini. Kakak adalah alasan di setiap senyumanku” ujarku
Dia kembali menarikku ke dalam
dekapannya. Hangat. Selalu terasa hangat dan menenangkan. Aku tidak bisa
membayangkan jika suatu hari aku tak dapat merasakannya lagi. Akankah aku akan
tetap kuat untuk berjalan? Bahkan sekadar bangkit berdiripun, nampaknya aku tak
akan mampu.
“Tuhan
tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Tuhan tak akan menghadirkan pertemuan
tanpa sebuah alasan. Tuhan menghadirkanku dalam hidupmu untuk menguatkan
langkahmu dalam meraih mimpi. Dan Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku untuk
memberi warna di hidupku yang singkat. Dan sekarang, tugas itu sama-sama telah
kita laksanakan. Bagi kakak, bertemu denganmu adalah anugerah terindah. Dan
kakak harap kamu juga menganggap kakak demikian”kak Bisma
“Aku
selalu menganggap kakak seperti itu”balasku.
“Jika
kamu menganggapku sebagai anugerah, harusnya kamu tak menangisi keadaanku.
Harusnya kamu yakin, meskipun saat ini aku pergi, aku tak akan hilang. Kita
akan bertemu lagi suatu hari nanti. Dan di saat itu, kita tak perlu lagi merasa
kehilangan”ujarnya.
Lagi. Aku melepas pelukannya. Aku
menyentuh pipinya yang terasa dingin. Ia melakukan hal yang sama. Ia menghapus
air mataku dengan ibu jarinya.
“Biarkan
aku memiliki senyumanmu hingga akhir”pintanya lembut.
Perlahan,
aku mengukir senyumanku. Aku ingin mengantarnya pergi dengan senyum terindah.
Agar ia tak lupa padaku. Agar ia menjemputku nanti saat aku pergi ke dunianya.
Dan perlahan, mata itu tertutup. Aku segera memeluknya erat. Menangis di
bahunya. Ini kali pertama ia tak membalas memelukku. Ini kali pertama ia tak
membisikkan kata cinta saat aku memeluknya. Hati ku sakit, sangat sakit.
Selamat tinggal kisah terindah di
hidupku. Aku mengantarmu dengan senyum terindahku. Aku tak yakin bisa menjalani
hidup yang indah tanpamu. Untuk menatap hari esok saja, rasanya aku tak mampu.
Aku ingin waktu berhenti di detik ini. Disaat aku dapat memelukmu dengan erat.
Kamu pergi dengan bahagia. Tapi tidak dengan aku disini. Kebahagiaanku seakan
berakhir. Berjanjilah satu hal lagi! Suatu hari nanti kita harus bertemu lagi.
Di tempat yang lebih indah. Tanpa rasa sepi dan kesendirian. Hanya ada aku dan
kamu yang selamanya akan bahagia bersama. Dan kamu akan terus di sampingku
tanpa akhir. Sampai jumpa. Aku akan merindukanmu.