Kamis, 02 Februari 2017

cerpen-GOODBYE





            Aku duduk di bangku taman yang mulai sepi. Mentari hampir sampai di tempat persembunyiannya. Menyisakan warna jingga yang terlukis di antara awan. Sesekali aku tersenyum pada seorang pria di hadapanku.  Kak Bisma. Dia adalah kekasihku sejak delapan tahun yang lalu. Satu-satunya teman dalam hidupku. Dia adalah segalanya bagiku. Aku dapat sampai ke tempat ini dan meraih semua cita-citaku karenanya. Dia adalah pengusaha kaya raya. Pemilik rumah sakit dimana aku bekerja kini. Dan dia yang telah memungutku dari jalanan dan merubahku menjadi harta yang sangat berharga baginya.
            Aku kembali mengingat kejadian sembilan tahun silam. Saat aku bekerja di sebuah cafe sebagai seorang pelayan. Saat itu usiaku masih 18 tahun. Aku harus bekerja keras sembari menyelesaikan study SMA ku. Itu semua aku lakukan demi cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Aku hanyalah anak panti asuhan yang memiliki mimpi besar. Tak ada apapun yang dapat ku banggakan selain mimpiku. Maka dari itu aku harus berusaha keras meraihnya.
            Sore itu, mataku terpejam saat mendengar sebuah gelas yang di banting dengan sengaja. Aku menggenggam kedua tanganku erat. Nampaknya aku akan kehilangan pekerjaanku hari itu.
“Kau bodoh atau apa? Aku memesan green tea, bukan lemon tea. Apa telingamu bermasalah?”teriak wanita paruh baya itu padaku.
Dari dandanannya, nampaknya ia bukan orang sepertiku. Ia nampak modis dengan setelan jas dan rok biru selutut yang ia kenakan.
“Maaf nyonya. Tolong maafkan saya. Saya akan segera menggantinya”ujarku memohon.
Wanita itu memandangku sengit. Alisnya tebal. Mempertegas sikap angkuh yang ada pada dirinya.
“Ada apa ini?”tanya bosku yang baru saja datang.
“Siapa Anda?”tanya wanita galak itu.
“Saya pemilik cafe ini. Apa ada masalah?”tanya bosku sopan.
“Hah? Bagus Anda disini. Sebaiknya Anda memecat pelayan bodoh ini. Dia sama sekali tak becus kerja. Dia sungguh bodoh dan menjijikkan”ucap wanita itu dengan angkuhnya.
Terlihat bosku menghela napas panjang dan menatapku sejenak, membuatku menunduk takut.
“Bisakah Anda pergi sekarang?”tanya bosku
Aku menoleh ke arahnya. Ucapan itu bukan ia tujukan padaku. Melainkan pada wanita galak di depanku.
“Apa?”tanyanya kaget.
“Meskipun dia hanya pelayan, dia juga punya harga diri. Dan mulut Anda telah melukai harga dirinya. Saya tidak akan meminta Anda memohon maaf padanya. Karena saya tahu, Anda tidak akan mau. Tapi setidaknya Anda bisa pergi sekarang, agar wajah memuakkan Anda tidak menambah luka di hatinya”ujar bosku memandang wanita itu sengit.
Tunggu! Dia membelaku? Dia membela pelayan sepertiku di hadapan pelanggannya?
            Tanpa berucap apapun pelanggan angkuh itu pergi. Masih dengan wajah gaharnya tentunya. Aku kembali menunduk saat bosku beralih menatapku. ‘Kau di pecat’. Aku yakin dia akan mengucapkan kalimat itu.
“Apa kamu tak punya harga diri?”bentaknya
Aku menatapnya bingung. Apa yang ia katakan? Aku hanya berusaha menempatkan diriku pada posisiku. Pelayan. Apa dia tak mengerti itu? Oh tentu saja tidak. Dia adalah kalangan tingkat atas. Seorang pemuda yang berhasil meraih kesuksesan sebelum usianya menginjak kepala tiga.
“Maaf Tuan”ujarku sembari membungkuk.
“Kenapa kamu diam saja saat dia menyebutmu ‘bodoh’?”tanya bosku. Masih dengan nada marah tentunya.
Huft.... Aku bernapas lega. Meskipun aku di marahi, setidaknya aku tak kehilangan pekerjaanku. Aku baru tahu jika bosku sangat mempedulikan karyawannya. Dia tidak seperti bos pada umumnya. Dia sangatlah baik. Dan sangat bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawannya.
            Tahukah kalian? Sejak saat itu aku dapat lebih mengenal bosku. Kami mulai dekat. Dia simpati dengan kisah hidupku. Seorang pelajar yang harus berjuang mati-matian demi meraih mimpinya. Ia berniat membiayaiku kuliah kedokteran, tetapi aku menolaknya. Aku tidak mau terlalu banyak berhutang budi padanya. Ia sudah terlalu baik padaku. Tapi ia tak menyerah. Atas nama rumah sakit miliknya, ia memberiku beasiswa, dengan syarat aku harus bekerja disana saat aku lulus nanti. Baiklah, aku menerimanya. Setidaknya kali ini aku tidak menerima bantuannya secara cuma-cuma.
            Hingga tahun berikutnya, ia menyatakan perasaannya padaku. Saat itu aku duduk di semester kedua kuliahku. Dan dia baru saja kembali dari luar negeri untuk urusan bisnis.
“Aku rasa hidupku berubah setelah aku mengenalmu. Hidupku menjadi lebih berwarna. Otakku yang dulunya hanya terisi pekerjaan, kini mulai memikirkan hal lain”ujarnya serius.
“Maksud kakak apa?”jujur saat itu aku masih bingung. Usiaku masih 19 tahun, dan dia sudah berusia 27 tahun. Bisakah ia berbicara intinya saja?
Ia tersenyum simpul. Membuatku semakin bingung. Namun kemudian ia menggenggam jemariku. Aku sempat kaget. Tapi aku tak dapat menolaknya.
“Aku mencintaimu, Roseandara Andriani”ungkapnya penuh ketulusan.
Aku sempat terpaku. Namun aku segera sadar, siapa aku, dan siapa dirinya. Kami sungguh jauh berbeda.
“Maaf aku nggak bisa. Kakak lebih pantas bersama orang yang lebih baik dariku. Seseorang dengan latar belakang yang jelas, dan karir cemerlang seperti kakak”jawabku
            Aku pikir, aku adalah orang yang munafik. Aku membohongi hatiku sendiri. Tapi itu semua demi kebaikannya. Aku tak pantas untuknya, dan tak akan pernah menjadi pantas. Dunia kami berbeda, cukup jauh. Dia terlalu tinggi untuk aku gapai.
“Aku nggak peduli dengan semua itu. Aku hanya percaya pada hatiku. Dan hatiku telah memilihmu. Setidaknya, beri aku kesempatan, Dara”pintanya.
Aku berpikir sejenak. Aku salah karena mencintainya. Tapi dia tak salah karena mencintaiku. Dia memiliki segalanya, dia tak pantas di salahkan. Dia pantas mendapat apapun yang ia mau. Tak dapat ku ingkari, aku juga ingin berada di sisinya. Hatiku juga memilihnya dari jutaan pria di luar sana. Mataku tak dapat meihat cinta yang lain selain cintanya.
“Aku juga cinta sama kakak. Tapi.....”ucapku terpotong.
“Itu saja sudah cukup. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu”potongnya.
Detik berikutnya ia menarikku berdiri dan segera memelukku erat. Sangat erat.
“Berjanjilah untuk selalu di sisiku hingga akhir!”pintanya.
Dengan sedikit keraguan, aku mengangguk dan membalas pelukannya. Kepalaku aku sandarkan di dadanya. Ternyata sungguh hangat pelukan kekasihku itu.
            Dia adalah Bisma Karisma. Seseorang yang menjadi kekasihku delapan tahun terakhir. Aku tak peduli dengan usia kami yang terpaut cukup jauh. Aku tak peduli jika orang lain menganggapku rendah dan buruk karena menerima cinta pria sempurna itu. Yang aku pedulikan hanyalah senyumnya yang terlukis saat sedang bersamaku. Aku bahagia melihat senyumannya. Aku bahagia menjadi alasan disetiap senyumannya. Bagiku, dia adalah jiwaku. Dia adalah nafasku. Dulunya hanya ada hitam dan putih di hidupku. Tapi setelah dia datang, semua berubah menjadi indah. Selama delapan tahun ini, ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.
            Dulu jika aku pulang kuliah malam, dia sudah berada di kontrakan sederhana milikku dan memasakkanku makan malam. Ia bisa memasak. Ia bisa melakukan apa saja untukku. Dulu saat kami terjebak macet berjam-jam sementara di luar hujan lebat, ia melepas jas kerjanya untuk menyelimutiku. Ia tak memperdulikan dinginnya udara saat itu. Ia tak menghiraukan alerginya terhadap udara dingin. Bahkan ketika aku kecewa karena nilai kuisku jelek, ia datang menghampiriku dengan kostum badut. Menari-nari demi menghiburku. Tak peduli jika orang lain mentertawakannya. Yang ia pedulikan hanya senyumku. Ia ingin selalu tertawa bersamaku.
            Kembali ke masa sekarang. Matanya yang sayu menatapu dengan binar yang amat terang. Matanya selalu terlihat indah saat menatapku. Aku tersenyum padanya. Nampaknya ada hal yang ingin ia bicarakan padaku.
“Ada apa? Apa kau haus?”tanyaku.
Dia menggeleng dengan senyum khas di bibirnya. Tangannya terangkat untuk membelai pipi kiriku. Akupun menggenggam tangan itu.
“Kamu tiap hari makin cantik aja”pujinya
Aku tersenyum. Tak dapat ku sembunyikan semburat kemerahan yang timbul di kedua pipiku. Ia terkekeh sebentar melihat reaksiku.
“Apa Anda sedang menggoda seorang dokter, Tuan Bisma Karisma?”candaku.
Ia semakin terkekeh geli. Kemudian mengambil tanganku untuk ia letakkan di dadanya. Merasakan detak jantungnya yang kian melemah setiap harinya. Aku menatapnya sendu. Rambutnya tak selebat dahulu lagi. Tubuhnya semakin kurus dan terlihat rapuh. Namun di mataku ia tetap pria yang paling tampan.
“Dia selalu berdetak dengan baik saat kamu di sisi ku”ujarnya serius.
Aku mengangguk. Perlahan, senyum di bibirku memudar. Hanya tatapan senduku yang dapat ku lemparkan padanya.
“Ya. Dan akan terus begitu. Karena delapan tahun lalu kamu sudah berjanji akan selalu membahagiakanku”balasku.
Ia tersenyum miris. Ada apa? Apa ia mulai menyerah dengan semua ini?
            Sejak tiga tahun lalu, kak Bisma mengidap kanker otak. Keadaannya kian memburuk akhir-akhir ini. Bahkan sejak dua bulan lalu, ia tinggal di rumah sakit. Semua upaya pengobatan yang dilakukan padanya gagal. Entah itu operasi, kemoterapi, dan pbat tradisional, tak mampu memperbaiki keadaannya. Aku adalah seorang dokter. Tapi aku tak mampu menyembuhkannya. Yang bisa ku lakukan hanya terus berada di sisinya. Tak membiarkannya merasa sendiri dan sepi.
            Kak Bisma menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya. Aku mendengar dengan jelas detak jantung yang kian melemah itu.
“Apa kamu ingin menyerah dan mengingkari semua janjimu itu?”tanyaku parau.
Dia menggeleng dan mempererat pelukannya.
“Aku tidak sanggup untuk mengingkari janjiku padamu. Aku terlalu mencintaimu, Dara. Aku tak ingin kamu kecewa dan menangis karenaku”jawabnya.
Dia membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku dapat merasakannya. Hingga setetes air mataku menetes.
“Jika Tuhan memberiku kesempatan hidup satu kali lagi di masa mendatang, aku tak akan meminta harta yang aku miliki kini. Aku tak ingin meminta kekuasaan ataupun kehormatan seperti yang aku miliki saat ini. Aku hanya menginginkan satu hal”ucapnya terhenti.
Aku melepas pelukannya dan menatap matanya serius, menanti lanjutan ucapannya.
“Yang aku inginkan hanya memiliki senyummu kembali hingga aku mati”lanjutnya sembari tersenyum tipis.
“Kak Bisma...”panggilku.
Ia tersenyum.
“Kak Bisma adalah nyawaku. Disaat aku tidak yakin akan adanya masa depan, kakak datang dan menyalakan lentera yang menerangi jalanku hingga aku sampai ke tempat ini. Kakak adalah alasan di setiap senyumanku” ujarku
            Dia kembali menarikku ke dalam dekapannya. Hangat. Selalu terasa hangat dan menenangkan. Aku tidak bisa membayangkan jika suatu hari aku tak dapat merasakannya lagi. Akankah aku akan tetap kuat untuk berjalan? Bahkan sekadar bangkit berdiripun, nampaknya aku tak akan mampu.
“Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Tuhan tak akan menghadirkan pertemuan tanpa sebuah alasan. Tuhan menghadirkanku dalam hidupmu untuk menguatkan langkahmu dalam meraih mimpi. Dan Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku untuk memberi warna di hidupku yang singkat. Dan sekarang, tugas itu sama-sama telah kita laksanakan. Bagi kakak, bertemu denganmu adalah anugerah terindah. Dan kakak harap kamu juga menganggap kakak demikian”kak Bisma
“Aku selalu menganggap kakak seperti itu”balasku.
“Jika kamu menganggapku sebagai anugerah, harusnya kamu tak menangisi keadaanku. Harusnya kamu yakin, meskipun saat ini aku pergi, aku tak akan hilang. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Dan di saat itu, kita tak perlu lagi merasa kehilangan”ujarnya.
            Lagi. Aku melepas pelukannya. Aku menyentuh pipinya yang terasa dingin. Ia melakukan hal yang sama. Ia menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
“Biarkan aku memiliki senyumanmu hingga akhir”pintanya lembut.
Perlahan, aku mengukir senyumanku. Aku ingin mengantarnya pergi dengan senyum terindah. Agar ia tak lupa padaku. Agar ia menjemputku nanti saat aku pergi ke dunianya. Dan perlahan, mata itu tertutup. Aku segera memeluknya erat. Menangis di bahunya. Ini kali pertama ia tak membalas memelukku. Ini kali pertama ia tak membisikkan kata cinta saat aku memeluknya. Hati ku sakit, sangat sakit.
            Selamat tinggal kisah terindah di hidupku. Aku mengantarmu dengan senyum terindahku. Aku tak yakin bisa menjalani hidup yang indah tanpamu. Untuk menatap hari esok saja, rasanya aku tak mampu. Aku ingin waktu berhenti di detik ini. Disaat aku dapat memelukmu dengan erat. Kamu pergi dengan bahagia. Tapi tidak dengan aku disini. Kebahagiaanku seakan berakhir. Berjanjilah satu hal lagi! Suatu hari nanti kita harus bertemu lagi. Di tempat yang lebih indah. Tanpa rasa sepi dan kesendirian. Hanya ada aku dan kamu yang selamanya akan bahagia bersama. Dan kamu akan terus di sampingku tanpa akhir. Sampai jumpa. Aku akan merindukanmu.

Sabtu, 03 Desember 2016

cerpen-STAY WITH ME



STAY WITH ME

Sebatas aku yang mencintainya
Ya, aku mencintainya dan dia tidak
Dia hanya memandangku remeh
Dan aku menundukkan kepala saat kami bertemu
Aku menatapnya ketika ia sudah jauh
Selalu begitu dan aku tak bosan
Aku terus memetik senar gitarku sembari mencurahkan sepenggal kisah hidupku sebagai liriknya. Suasana sekitar cukup ramai. Dan aku yakin tak banyak yang mendengar suaraku itu. Namun aku terus bernyanyi, seolah aku menyanyi untuk diriku sendiri. Namun....
Tap. Aku berhenti bernyanyi. Beberapa orang yang tadinya mendengar nyanyianku kini menatapku aneh. Dan aku sadar akan hal itu. Tapi, aku masih membeku. Melihat seseorang yang membuatku mampu menciptakan lagu ini, kini tengah duduk tak jauh dari panggung tempatku bernyanyi. Yang ku tahu, dia kuliah di Prancis sejak tiga tahun lalu. Rafael. Namun sekarang aku melihatnya disini. Dan dia bersama seorang gadis yang sepertinya ku kenali. Mereka tengah asyik bercanda. Ku lihat Rafael menggenggam jemari gadis itu. Dan tak lama kemudian, gadis itu melepas genggaman tangan Rafael lalu memeluk tangannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Rafael seakan mempertegas jika Rafael adalah miliknya.
Namun bukan hal itu saja yang membuatku terkejut. Tapi keberadaan gadis itu. Bukankah dia Dina? Setahuku, Dina adalah kekasih Bisma, temanku di bangku kuliah. Dan setahuku, sampai sekarang mereka masih menjalin hubungan itu.
"Sstt...April!"suara itu membuyarkanku
Aku menatap ke arah sumber suara. Terlihat sahabatku, Ayu memberiku kode untuk melanjutkan nyanyianku.
Dua hari berlalu. Aku terus memikirkan kejadian dua hari lalu. Dina? Ya, aku sudah memastikan jika ia masih berstatus kekasih Bisma. Tapi kenapa ia terlihat begitu mesra dengan Rafael? Entahlah. Aku harus segera tersadar. Sebentar lagi rapat tahunan organisasi akan di mulai. Bisma selaku ketua dari organisasi pecinta seni pun memasuki ruang rapat. Aku menatapnya cukup lama. Namun sepertinya ia tak menyadari hal itu.
Setelah rapat selesai, aku bergegas mengemasi barang-barangku. Kemudian aku bangkit berdiri.
"April!"panggil Bisma
Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya seolah bertanya 'Ada apa?'
"Ada yang mau kamu bicarakan?"tanyanya
Ku rasa ia sadar jika tadi aku sempat memperhatikannya cukup lama. Aku menggeleng ragu.
"Aku duluan ya Bis. Aku ada kelas"pamitku
Dia mengangguk. Kemudian akupun segera pergi.
Sepulang kuliah, aku mendapati sahabatku semasa SMA, Vicky di depan gerbang. Akupun berlari kecil ke arahnya.
"Miss you April"ujar sahabat terbaikku itu sembari memelukku
"Miss you more"balasku
Kami memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Seorang pelayan mencatat pesanan kami sebelum akhirya dia pergi.
"Vick, kamu ingat Rafael?"tanyaku
"Ya. Kenapa? Kamu masih belum bisa move on?"Vicky
Aku mengangguk lesu. Sesaat kemudian aku tersadar.
"Tapi bukan itu masalahnya"ujarku cepat
Dia menatapku penuh tanda tanya.
"Dua hari lalu, aku mengisi acara di pesta Ayu, teman kita dulu. Dan aku melihat Rafael. Dan...dia bersama Dina"terangku
"Bukannya Rafael kuliah di luar negeri?"Vicky
Aku mengangguk.
"Tapi...tunggu! Dina? Bukan Dina pacar Bisma kan?"tanya Vicky tiba-tiba
"Aku rasa dia Dina pacar Bisma deh"jawabku
Vicky terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali bersuara.
"Maksud kamu, Dina selingkuh sama Rafael?"Vicky
"Aku nggak tahu Vick. Aku juga bingung"aku
"Ya kamu selidiki saja! Sekalian ajak Bisma. Dia juga harus tahu"Vicky
Aku memikirkan saran sahabatku itu. Haruskah aku memberi tahu Bisma? Tapi, bahkan aku tidak dekat dengannya. Bagaimana jika ia malah menuduhku berbohong nantinya?
Hari Minggu tiba. Sudah saatnya aku berkunjung ke orang tua keduaku, dokter Rinda. Seorang dokter yang telah merawat ku sejak aku bayi. Aku memasuki ruangannya. Dan beliau tersenyum ramah padaku.
"Bagaimana keadaan kamu sayang?"tanya beliau
Akupun menceritakan beberapa keluhanku pada beliau. Kemudian beliau mulai memeriksaku.
"Apa kamu sedang banyak masalah?"tanya beliau
Aku mengangguk ragu.
"Beberapa hari ini, saya banyak pikiran dok"aku
"Kamu tahu keadaan jantung kamu kan April? Kendalikan diri kamu, pikiran dan emosi kamu! Kamu harus memperpanjang usia jantung kamu"dokter Rinda
Aku tersenyum miris.
"Memang ada apa dok? Apa kondisi jantung saya memburuk?"tanyaku
Dokter Rinda mengangguk.
Sejak lahir aku mempunyai kelainan jantung. Dan kondisi itu semakin buruk saat aku mengalami kecelakaan, dan jantungku rusak. Namun aku tak memberitahukan hal ini pada siapapun. Hanya aku dan dokter Rinda yang mengetahui tentang kondisi jantungku pasca kecelakaan empat tahun lalu.
Dokter Rinda menuliskan resep obat untukku. Kemudian ia menyerahkan selembar kertas itu padaku. Begitu banyak obat yang harus aku tebus. Dan memang selalu begini sejak empat tahun terakhir.
"Sampai kapan saya harus meminum obat ini? Bahkan tak pernah ada kemajuan meski saya terus meminumnya"ujarku lirih
"Setidaknya obat itu mampu memperpanjang usia jantungmu, April"dokter Rinda
Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berpamitan untuk pergi. Saat di apotek, aku melihat Rafael. Dan sepertinya dia juga melihatku. Dia menghampiriku.
"Siapa yang sakit?"tanyanya
"Hah? Oh aku cuma mau nebus obat mama yang lagi flu"dustaku
Dia mengangguk kemudian berlalu.
"Raf"panggilku
Dia menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kamu...ada hubungan apa dengan Dina?"tanyaku hati-hati
"Dina? Dia kekasihku. Ada apa?"dia menjawabnya sembari tersenyum
"Tidak. Sudahlah"ujarku kemudian berlalu
Ya. Aku sadar. Aku tak ada artinya bagi Rafael. Dia bisa mengucapkannya seenteng itu meski ia tahu jika aku mencintainya. Aku rasa itu haknya. Dia memang terlalu jujur meski kadang terasa menyakitkan bagiku.
Aku duduk di bangku paling pojok sebuah restoran. Setelah memesan makanan, aku memainkan hand phoneku untuk menghapus pikiran negatifku tentang Dina. Karena itu hanya akan memperpendek usiaku.
"Kamu kok sendiri Pril?"ujar seseorang
Aku menoleh ke arah sumber suara. Dia mengambil posisi duduk di hadapanku tanpa meminta persetujuanku. Dia adalah Bisma.
"Ya memang aku harus pergi dengan siapa?"tanyaku cuek
"Oh iya. Kamu kan gagal move on ya? Mana mungkin mau pergi sama cowok lain?"ejeknya
Aku menatapnya kesal.
"Siapa namanya? Rafael? Ya Rafael"lanjutnya masih dengan nada ejekan
"Apaan sih? Lagian dia udah punya cewek"ujarku spontan
Ya. Aku baru ingat. Kekasihnya adalah kekasih Bisma juga. Aku harus menutup mulutku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh meskipun aku memang masih mencintai Rafael. Aku tidak ingin ia membenciku.
"Oh ya? Siapa? Jangan bilang kamu jealous?"Bisma
"Sudahlah Bis!"kesalku
Dia tertawa renyah kemudian mengacak-acak poniku.
"Kamu itu sudah seperti adikku sendiri. Jangan kebanyakan sedih ya! Nanti kakaknya ikut sedih"ujarnya
Aku menatapnya bingung. Ku rasa, selama ini kami tak pernah dekat. Dan dia malah menganggapku seperti adiknya? Bodoh.
Aku berbincang cukup lama dengan Bisma. Pesanan kamipun sudah datang. Dan kami masih asyik membicarakan banyak hal.
"Memang kamu pikir aku dekat dengan siapa? Aku tidak pernah menceritakan hal pribadi pada siapapun, kecuali kamu dan Dina. Dina kan pacar aku, jadi lebih baik aku anggap kamu adikku. Jadi adik kesayangan yang baik ya!"ujarnya sembari mencubit pipiku
"Berhenti membuatku kesal Bis!"protesku
Dia malah kembali tertawa.
"Bis, memang kamu cinta banget sama Dina?"tanyaku hati-hati
"Iya dong. Aku ini tipe cowok setia"Bisma
Sayangnya pacarmu enggak Bis. Entah mengapa, aku menaruh simpati padanya setelah ia mengatakan jika ia menganggapku seperti adiknya sendiri.
"Udah selesai kan? Biar aku yang traktir. Aku duluan ya"pamit Bisma kemudian pergi
Aku kembali terngiang kata-kata Bisma, 'Aku anggap kamu adikku. Jadi adik yang baik ya!'
"Bis!"panggilku
Aku berlari kecil ke arahnya. Kemudian berdiri di hadapannya.
"Ada apa?"tanyanya
"Ak...aku.. Aku...maaf Bis"gugupku
"Ada apa sih?"bingung Bisma namun masih mengukir senyumnya
"Seminggu lalu aku melihat Dina bersama Rafael. Kata Rafael, Dina pacarnya"ucapku cepat
Maaf. Maaf jika aku terlalu ikut campur urusan kalian. Hanya saja, mendadak aku tak ingin melihat Bisma terkhianati. Aku merasa tak rela, dan itu bukan karena Rafael, melainkan Bisma.
"Mungkin yang kamu lihat Dina yang lain. Lagipula kamu tak begitu mengenalnya bukan?"Bisma
"Enggak Bis. Aku yakin itu Dina pacar kamu"balasku
Bisma menatapku dingin.
"Aku akan memastikannya sendiri"ujar Bisma kemudian pergi
Astaga....apakah ia tidak mempercayaiku? Dan dia menganggapku berbohong? Bodohnya aku. Harusnya aku tidak ikut campur masalah itu.
Hari berganti. Aku duduk di sebuah kursi di dalam cafe dekat kampusku. Aku menyeruput cappucinoku perlahan. Namun seseorang berhasil membuatku tersedak. Dia adalah Bisma. Dan dia langsung duduk di hadapanku.
"Ada apa?"tanyaku
"Kamu benar. Aku salah menilai Dina"ujarnya dengan raut wajah kecewa
Ku rasa Bisma sudah mengetahui kebenarannya.
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan?"tanyaku
"Aku sudah membuka gedoknya. Aku yakin Rafael akan segera ke sisimu"Bisma
Aku menggeleng cepat.
"Maksudku bukan itu"aku
Dia menatapku sendu.
"Aku nggak bisa sama Rafael lagi, Bis. Aku...aku akan segera pergi"lanjutku
"Kamu mau kemana?"tanya Bisma cepat
"Bisakah kamu membawaku pergi?"tanyaku
Dia menyeritkan alisnya.
"Aku sakit Bis. Usiaku tak panjang lagi. Aku tidak mau orang tua dan mereka yang menyayangiku sedih ketika aku pergi nanti"lirihku
"Sakit? Sakit apa? Kamu jangan bercanda deh!"Bisma dengan nada khawatir
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
"Tapi kenapa aku?"Bisma
"Aku tidak tahu harus pada siapa aku minta tolong. Aku cuma percaya sama kamu. Aku yakin kamu juga akan menjaga rahasia ini"jawabku
Bisma terdiam. Ia nampak berpikir. Sesaat kemudian ia bangkit berdiri dan pergi.
Dua minggu berlalu. Rasa sakit itu kian menyiksaku. Aku masih terus meminum obat itu. Namun sepertinya semakin lama obat itu semakin tak berpengaruh padaku. Sinar matahari yang terik menusuk kulitku. Cahayanya minyilaukan mataku. Aku menahan rasa sakit itu sebisa mungkin, aku tak ingin seorangpun tahu tentang rasa sakit ini. Tubuhku terasa semakin ringan. Dan aku menghentikan langkahku. Aku terpenjat saat ku rasa tubuhku di angkat oleh seseorang. Dia adalah Bisma. Aku menatapnya bingung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Perlahan, aku membuka mataku. Ku lihat Bisma masih setia di sampingku. Ia tengah membaca buku hingga tak menyadari jika aku sudah bangun.
"Bis..."panggilku pelan
"Lusa kita akan berangkat ke Bandung"ujarnya singkat
Aku tercengang dengan ucapannya.
"Semua sudah aku urus. Kamu hanya perlu menahan rasa sakit itu hingga lusa. Dan setelah itu kamu tidak perlu lagi merahasiakannya"lanjut Bisma
Dua hari berlalu. Aku dan Bisma baru saja sampai di sebuah villa di Bandung. Dia membawakan barang-barangku dan masuk ke dalam villa itu. Aku terkejut saat melihat Vicky disana.
"Vicky?"kagetku
"April!"ujar Vicky kemudian memelukku sangat erat
Ku rasakan sahabatku itu menjatuhkan air matanya di bahuku. Aku menatap Bisma penuh tanya.
"Dia sudah tahu semuanya. Maaf. Aku cuma ingin kamu tak merasa kesepian. Dia juga sangat menyayangimu Pril"Bisma
Aku mengangguk kemudian membalas pelukan sahabatku itu.
Waktu makan malam telah tiba. Bisma duduk di sampingku. Ia mengambilkanku makanan. Sepertinya, dia tahu betul apa yang boleh ku makan dan apa yang tak boleh ku makan. Kedua sahabatku ini berusaha menyesuaikan diri dengan keadaanku.
"Makannya pelan-pelan aja!"ujar Bisma sembari tersenyum
Aku mengangguk.
Baru beberapa suap aku makan, rasa sakit itu kembali menjalar di dadaku. Aku berusaha menahannya. Aku tak mau mengganggu makan malam Bisma dan Vicky. Ku rasakan keringat mulai menetes dari keningku.
"Pril, kamu kenapa?"tanya Vicky khawatir
Bisma segera mengalihkan pandangannya padaku. Lalu ia berdiri dan berlari mencari obatku. Kemudian ia kembali dan membantuku meminum obat.
"Aku tidak papa. Lanjutkan saja makan malamnya!"ujarku
Vicky mendekatiku dan menghapus keringatku.
"Vick, bantu April ke kamar, biar aku panggilkan dokter"Bisma
Aku menahan lengannya.
"Aku nggak papa Bis. Kamu cuma belum terbiasa melihatku seperti ini"ujarku
Bisma menatapku sendu kemudian mengangkat tubuhku dan membaringkanku ke tempat tidur.
"Sudah ku bilang, kamu tidak perlu menahannya lagi"Bisma
Vicky dengan setia menemaniku. Bahkan ia membantuku melakukan apapun yang tak bisa ku lakukan sendiri.
Tiga hari kemudian, aku memainkan gitarku sembari duduk di halaman belakang villa. Aku mencatat beberapa not hingga menjadi nada dan menyusun nada itu hingga menjadi sebuah lagu.
"Lagu yang indah"puji Bisma yang tiba-tiba datang
"Bantu aku membuat liriknya"ujarku
"Kamu kan tahu, aku tidak tahu soal musik"Bisma
"Tapi kamu adalah ketua organisasi pecinta seni. Setidaknya kamu harus belajar"aku
Bisma menatapku dalam. Aku tersenyum kemudian menyerahkan gitarku padanya. Ia menatapku penuh tanya. Namun ia segera mengerti setelah aku memberikan buku catatanku padanya.
"Aku nggak bisa"keluhnya
Kemudian aku mulai mengajarinya memainkan gitar. Aku tersenyum melihat kegigihan Bisma belajar. Namun rasa sakit itu kembali muncul. Dan aku tidak mau mengganggu Bisma.
"Bis aku ambil minun dulu ya!"pamitku
Ia mengangguk dan tersenyum.
Kemudian aku berjalan masuk ke dalam villa.
Rasanya sangat sakit. Jauh lebih sakit dari sebelumnya. Rasa sakit itu menjalar hampir ke seluruh tubuhku. Kaki dan tanganku gemetar. Aku merasa seperti terbang, tubuhku ringan dan....
"Prang......."
Tak sengaja, aku menjatuhkan guci dan terjatuh.
"April!"pekik Bisma
Ia berlari ke arahku dan mengangkatku menuju sofa. Ia bergegas mengambil obat dan kotak P3K. Lalu ia membantuku minum obat. Selesai membantuku minum obat, ia membersihkan luka di tanganku akibat terkena pecahan guci. Astaga! Banyak sekali darahnya. Dan aku baru sadar karena sedari tadi hanya memikirkan jantungku.
"Sudah ku bilang berulang kali, jangan tahan rasa sakit itu! Biarkan aku tahu jika kamu sedang kesakitan!"ujar Bisma
Ku lihat matanya memerah. Apakah dia sedang menahan tangis?
"April! Apa yang terjadi?"kaget Vicky
Bisma segera pergi setelah Vicky datang. Aku tak tahu, mau kemana ia pergi. Dan ku rasakan setetes air mataku terjatuh ketika melihat Bisma yang melangkah menjauh.
Hari menjelang sore. Aku merasa bosan. Aku duduk sendirian di balkon kamar. Vicky tengah memasak makan malam untuk kami, dan aku tidak boleh membantunya akibat kejadian tadi siang.
"Aku minta maaf"ujar seseorang mengagetkanku
"Bisma?"kagetku
Dia duduk di sampingku.
"Bis.. Aku mau jalan-jalan. Antarkan aku ke tempat yang indah"pintaku
Bisma menatapku sendu. Nampaknya ia ragu. Namun tak lama kemudian ia membantuku berdiri dan menggandeng tanganku.
Bisma membawaku ke sebuah air tejun. Ia membantuku duduk di atas rerumputan.
"Kamu suka?"tanyanya
Aku mengangguk mantab.
Ia tersenyum. Kemudian memberiku sebuah kerikil.
“Kumpulkan semua beban hidupmu pada kerikil itu lalu lempar sejauh mungkin!"ujarnya
Aku menutup mataku, seakan memberikan semua beban yang ku rasakan pada kerikil itu. Lalu aku membuka mata dan melemparkan kerikil itu sejauh mungkin. Bisma kembali tersenyum.
"Bis...makasih ya"ujarku
Bisma menoleh ke arahku.
"Berkat kamu dan Vicky, semua jadi tak terlalu berat. Aku bisa menjalaninya"lanjutku
Ia menggenggam tanganku.
"Kamu jangan takut, kamu tak pernah sendiri. Aku akan selalu ada untuk kamu"Bisma
Aku tersenyum dan menatap manik matanya dalam. Dia terkejut melihatku.
"Ka..kamu sakit? Ayo kita pulang!"ajaknya
Baru saja ia hendak mengangkat tubuhku, aku menahannya.
"Aku ingin disini. Terima kasih sudah mengantarkanku ke tempat yang indah. Terima kasih sudah memberiku cerita yang indah. Terima kasih sudah meluangkan waktumu dan mengubah waktu-waktuku menjadi indah"lirihku
Bisma menghapus keringat di keningku. Sepertinya ia tahu, apa yang kini tengah ku rasakan meski aku tak memberi tahunya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Aku tidak ingin menahannya. Sekali saja, aku ingin membaginya. Rasanya sakit Bis. Sakit sekali. Rasanya jantungku mau meledak"ungkapku
Bisma menggenggam erat jemariku.
"Terus! Teruslah salurkan rasa sakitmu itu! Jangan kamu menahannya sendiri!"ku rasakan suaranya bergetar
Aku hendak mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya, namun ia menahannya.
"Teruslah membagi rasa sakit itu hingga kamu tidak lagi merasakan sakit!"lirihnya
Ku rasakan air mataku menetes. Terus menetes merasakan tangan Bisma yang menggenggamku bergetar. Baru kali ini aku membagi rasa sakitku. Baru kali ini aku tak sendirian dalam merasakan sakit ini. Air mataku masih terus menetes. Rasa sakit itu perlahan menghilang, dan aku tak dapat merasakan apapun lagi.

Satu tahun berlalu........

Aku selalu suka mendengarkan lagu itu. Lagu yang nadanya aku ciptakan dan kini liriknya telah Bisma isi. Dan dia juga yang kini menyanyikannya di sebuah cafe. Bisma baru saja di wisuda beberapa hari lalu. Tapi nampaknya ia enggan mencari pekerjaan. Ia lebih suka bernyanyi di cafe milik orang tuanya. Dan yang selalu ia nyanyikan adalah lagu-lagu yang ku ciptakan dan ku tulis di buku laguku. Dia kini telah pandai memainkan alat musik. Aku senang melihatnya seperti ini. Dapat menikmati hidup, dan bangkit dari keterpurukan setelah kepergianku setahun lalu. Aku senang dapat terus melihatnya meski ia tak kan dapat melihatku. Tapi aku yakin, dia juga merasakan keberadaanku. Terima kasih, Bisma. Kamu sudah bertahan disisiku hingga detik terakhir. Terima kasih kamu mau datang dan tetap tinggal di tengah kepedihanku.

END