Kamis, 31 Desember 2015

Cerpen-Sandaran Hati



Sandaran Hati

Sebuah ikatan yang didasari keterpaksaan, tanpa adanya perasaan, kiranya tak mungkin membuahkan sesuatu yang indah. Begitu pula hubungan antara Dea dan Rafael satu tahun lalu. Sejak awal Dea menginjak kelas 2 SMA, ia resmi menjadi tunangan Rafael. Pertunangan itu terjadi atas dasar paksaan kedua orang tua mereka yang sejak dulu ingin berbesan. Tanpa mereka sadari, putra-putri mereka menentang keputusan itu. Keduanya tidak saling mencintai. Keduanya berusaha agar pertunangan itu dapat diakhiri. Hingga suatu hari Rafael berhasil memutuskan pertunangannya dengan Dea. Dan mulai saat itu, mereka menjalani kehidupan layaknya orang yang tak pernah saling mengenal.
Bayangkan saja, jika dahulu, dia adalah milikmu tapi kamu tak mencintainya. Kemudian kini, saat kamu sudah tak akan lagi dapat bersamanya, perasaan itu tumbuh. Kamu sadar jika kamu mencintainya setelah kalian berpisah. Saat dia telah bersama orang lain. Begitu pula yang Dea rasakan. Beberapa waktu ini, ia sadar jika ia telah menaruh hati pada Rafael, mantan tunangannya. Padahal saat ini Rafael telah memiliki kekasih yang sangat cantik bernama Kristin. Ada sebuah penyesalan di hati Dea karena telah melepaskan Rafael begitu saja. Namun, apa yang dapat ia lakukan dengan penyesalannya itu?
Ujian Nasional semakin dekat. Dea makin rajin datang ke perpustakaan untuk menambah wawasannya. Ditemani Bisma yang tak lain sahabat lamanya, pagi ini Dea memulai aktifitasnya membaca. Halaman demi halaman ia baca dengan seksama, berusaha mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Karena ia pikir, itulah satu-satunya jalan agar dia dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sejak setahun silam setelah gagalnya perjodohan Dea dengan Rafael, keluarga Dea jatuh miskin. Sebab, perusahaan ayah Dea tak lagi mendapat bantuan dana dari keluarga Rafael. Hingga kini, beasiswa menjadi incaran utama bagi Dea. Satu-satu harapannya yang masih tersisa untuk menggapai mimpinya.
Melihat Dea yang terlalu serius belajar, Bisma menawarinya minuman.
"Minum dulu, De!"ujar Bisma sembari menyodorkan minuman untuk Dea
"Iya sebentar"Dea
Dea terus asyik dengan buku bacaannya hingga sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Suara itu tak asing di telinga Dea. Itu adalah suara Rafael, mantan tunangannya. Dea mengalihkan pandangannya ke arah Rafael yang kini berada tak jauh dari Dea. Tangan kiri Rafael menggandeng tangan seorang wanita cantik, Kristin.
Bisma yang sadar akan perubahan sikap Dea segera melihat ke arah pandangan Dea. Ia sempat tersenyum tipis, kemudian berkata,
"Sudah jangan dilihat terus kalau bikin sakit!"
Dea tersenyum ke arah Bisma.
"Terlalu dan selalu memikirkan sesuatu yang bikin sakit itu nggak baik, De"ujar Bisma
"Iya pak guru cinta. Aku juga tahu kok"balas Dea dengan senyum
Dea kembali membaca buku di hadapannya meski otaknya masih terus memikirkan Rafael
'Sakit saat melihatmu bergandengan bukan denganku'batin Dea
Suatu sore, Dea melihat latihan tim basket sekolahnya dari atas lantai dua. Sebenarnya, bukan pertandingannya yang ia lihat. Namun, Rafael yang tengah bermain lincah sebagai kapten basket. Beberapa kali terlihat Rafael menghapus keringat di keningnya dengan punggung tangan kanannya.
"Andai saja, aku boleh menghapuskan keringatmu dengan tanganku, aku pasti akan sangat senang"lirih Dea
"Memang tidak ada hal lain yang bisa membuatmu senang?"tanya seseorang, Bisma
"Huft...apa aku salah menaruh perasaan ini padanya? Bahkan, ia tak melihatku. Aku hanyalah bagian kecil dari masa lalunya yang tak berarti"Dea
Bisma tersenyum.
"Tak ada masa lalu yang tak berarti. Karena masa lalu adalah pembimbing kita untuk mendapat masa depan yang lebih baik"Bisma
Dea menoleh ke arah Bisma.
"Tapi aku mencintai dia. Mencintai mantan tunanganku yang sekarang telah memiliki seorang kekasih"lirih Dea
"Cinta itu tak pernah salah. Karena dia datang dengan sendirinya dari hati, tanpa kehendak siapapun. Hanya saja, yang harus kamu ingat adalah cintamu untuk Rafael hanya akan membuahkan luka"Bisma
Dea terdiam. Mungkin kini ia tengah memikirkan kata-kata Bisma.
Hari berganti. Dea tengah menunggu Bisma di dalam kelasnya. Memang, keduanya berbeda kelas. Seperti biasa, mereka akan ke perpustakaan.
"Tumben pacar kamu belum datang?"tanya seseorang dari arah belakang bangku Dea
Dea menoleh. Di dapatinya Rafael yang tengah membaca buku di bangku paling belakang. Saat ini, hanya ada Dea dan Rafael di dalam kelas.
"Pacar? Bisma maksudnya?"bingung Dea
Rafael mengangguk.
Belum sempat Dea menjawab, Bisma datang dan mengajak Dea pergi.
"Duluan ya, Raf"ujar Dea sembari mengikuti langkah Bisma
Teng...teng...teng...
Bel pulang sekolah berbunyi. Dea menggendong tasnya lalu keluar dari kelas. Saat di depan pintu, Dea berserempetan dengan Rafael.
"Sorry"ujar Rafael
Dea mengangguk.
"Mau pulang bareng Bisma?"Rafael
Lagi-lagi, Dea mengangguk.
Kemudian Rafael berjalan meninggalkan Dea. Dea sedikit menyunggingkan senyumnya melihat punggung Rafael yang kian menjauh. Setidaknya Rafael masih mau berbicara dengannya.
Dea telah sampai di pintu gerbang. Terlihat Bisma sudah menunggunya di atas motor. Dea berlari kecil ke arah Bisma lalu naik ke belakang Bisma. Bisma memberikan helm pada Dea.
"Temani aku ke toko buku sebentar ya! Ada buku yang harus aku beli"Bisma
"Oke"Dea
Sesaat kemudian Bisma menjalankan motornya. Mereka berhenti di sebuah toko buku tak jauh dari sekolah. Saat turun dari motor Bisma, Dea melihat ke arah kiri dimana sebuah mobil yang sangat ia kenali terparkir.
"Ayo masuk!"ajak Bisma
Sembari menunggu Bisma memilih buku, Dea berkeliling dan membaca sinopsis beberapa buku yang ada. Tangannya meraih buku bersampul merah hati. Namun tanpa ia duga, tangannya bertemu dengan tangan lain yang juga ingin mengambil buku itu.
"Kristin?"kaget Dea
Kristin tersenyum, lalu mengambil bukunya.
"Sayang, udah dapat bukunya?"tanya seseorang yang muncul dari balik rak buku, ia adalah Rafael
Kristin mengangguk.
"Dea, kamu nggak keberatan kan aku ambil buku ini? Soalnya, kayaknya udah nggak ada yang lain deh"Kristin
"Nggak papa kok"Dea
Dea sempat melirik ke arah Rafael. Pria yang saat ini singgah di hatinya itu ternyata juga sempat melihatnya.
"Ya sudah, ayo bayar"ujar Rafael menggandeng tangan Kristin
"Huft..."Dea menghela napas panjang menahan sakit di hatinya
Kini, Bisma dan Dea telah sampai di halaman rumah Dea. Dea turun dari motor Bisma lalu melepas helmnya. Bisma menatap Dea serius.
"Tadi ketemu dengan Rafael?"Bisma
Dea mengangguk.
"Ada Kristin juga"tambah Dea mulai cemberut
Bisma tersenyum tipis.
"Terus kamu masih cemburu gitu? Biarin lah, orang statusnya Kristin memang pacar Rafael"Bisma
"Yang ada kamu bikin aku tambah males"Dea
Bisma tertawa.
"Ini"ucap Bisma memberikan sesuatu
Dea membukanya. Di dapatinya buku bersampul merah hati yang tadi ia lihat di toko buku.
"Itu novel keluaran baru. Penulisnya idola kamu. Itu tentang mahasiswi Indonesia yang dapat beasiswa ke luar negeri"terang Bisma
Dea tersenyum.
"Makasih ya Bis"Dea
Bisma mengangguk.
"Aku pulang dulu"ujar Bisma lalu menghilang dari pandangan Dea
Hari berganti. Pagi ini Bisma telat menjemput Dea. Namun Dea tetap setia menunggunya.
"Kok telat sih?"tanya Dea
"Maaf, bangunnya kesiangan"Bisma
Sampainya di sekolah, Bisma membuka helmnya lalu berjalan mendahului Dea.
"Dia kok aneh sih?"bingung Dea
Dea berjalan sendirian menyusuri lorong sekolah menuju kelasnya. Perhatiannya terbagi antara jalanan dengan novel yang kemarin Bisma berikan. Tiba-tiba, seseorang menyerempetnya dari belakang hingga buku pemberian Bisma terjatuh, dan tak sengaja buku itu terinjak orang yang menyerempet Dea itu.
"Sorry"ujar orang itu sembari mengambilkan buku Dea yang jatuh
Dea segera meraih buku yang setengah rusak itu. Ia sedikit kecewa. Baginya, itu adalah buku yang sangat berarti.
"Bukunya rusak. Aku ganti aja ya"ujar orang itu yang tak lain adalah Rafael
Rafael meraih buku itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, ia memberikan buku baru yang sama persis untuk Dea.
Dea terkejut dengan perbuatan Rafael. Dengan kesal, ia mendorong tubuh Rafael lalu meraih buku pemberian Bisma yang kini ada di tempat sampah. Rafael tercengang melihat Dea yang berbuat senekat itu.
"Dea!"tegur Rafael
Dea tak menghiraukannya. Ia meraih dan membersihkan buku itu dengan tangannya.
"Segitu cintanya kamu sama Bisma?"Rafael
Dea menoleh ke arah Rafael.
"Ini buku kamu. Makasih, tapi aku sudah punya kok"kesal Dea sembari mengembalikan buku yang Rafael berikan
"Rafael"panggil seseorang
Dea dan Rafael menoleh. Terlihat Kristin berlari ke arah mereka. Ia langsung menggandeng tangan Rafael.
"Loh Raf, ternyata kamu juga punya buku ini?"tanya Kristin memperhatikan buku di tangan Rafael
"Aku duluan ya"ujar Dea kemudian pergi
Saat jam istirahat, Bisma tak kunjung menemui Dea. Di kelas hanya ada Dea dan Rafael. Beberapa saat kemudian, Dea memutuskan untuk menemui Bisma.
"Mau kemana?"tanya Rafael
"Nyari temen"Dea
Rafael tersenyum miring.
"Bisma?"tanyanya
"Aku sudah disini. Ayo pergi!"ajak Bisma dari arah pintu
Dea segera bangkit lalu berlari ke arah Bisma. Bisma menggandeng Dea menuju perpustakaan.
Bisma dan Dea tengah memilih buku di sebuah rak yang tinggi. Dea berjinjit untuk mengambil sebuah buku bersampul biru laut.
"Ini"ujar Bisma memberikan buku itu pada Dea
"Uji Laboratorium Penunjang Diagnosa Kanker"baca Bisma
Dea tersenyum. Kemudian keduanya berjalan menuju tempat membaca.
"Bis, pipi kamu kenapa biru gitu sih?"tanya Dea melihat pipi Bisma yang memar
"Sudah, baca aja bukunya! Aku lagi malas jelasinnya"Bisma
Dea cemberut.
"Ada yang mukulin kamu ya? Siapa? Dia ada masalah apa sih sama kamu?"tanya Dea bertubi-tubi
Bisma tersenyum.
"Katanya kamu pengen dapat beasiswa kesehatan, ya di baca dong bukunya!"Bisma
"Ya iya. Kalau nggak dapat beasiswa, gimana aku bisa kuliah?"ujar Dea kemudian mulai membaca buku di hadapannya
Tiga bulan telah terlewati. Ujian Nasional telah berhasil Dea lalui. Lusa, Dea dan Bisma akan menghadapi ujian untuk mendapat beasiswa di universitas impian mereka. Siang ini Bisma mengajak Dea ke perpustakaan kota. Mereka belajar bersama seperti biasa.
"Kamu pengen banget ya dapetin beasiswa itu?"Bisma
Dea mengangguk.
"Itu satu-satunya harapan yang aku punya untuk lanjut kuliah. Orang tuaku sudah tak seperti dulu lagi Bis. Aku tidak bisa terus bergantung sama mereka"jelas Dea
Bisma memandangi Dea cukup lama. Hingga Dea sadar jika ia tengah diperhatikan.
"Makasih ya, udah nemenin aku sejauh ini. Bantu aku buat usaha dapetin beasiswa itu. Padahal, tanpa kamu dapat beasiswapun kamu masih bisa kuliah"Dea
Bisma tersenyum.
"Rasanya tu senang kalau bisa berguna buat kamu"Bisma
Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba. Dea baru saja selesai bersiap untuk tes yang akan dia hadapi hari ini. Ia membuka pintu utama rumahnya.
"Rafael?"kaget Dea saat melihat Rafael berdiri di depan pintu utama rumahnya
"Aku dengar, kamu mau tes beasiswa hari ini?"Rafael
Dea mengangguk.
"Mau aku antar?"tanya Rafael
Dea menggeleng.
"Sebentar lagi Bisma datang"Dea
Sesaat kemudian, terlihat Bisma memarkirkan motornya di halaman rumah Dea.
"Kamu mau bareng Rafael?"Bisma
Dea menggeleng.
"Bareng Rafael aja! Kamu bisa belajar di jalan kalau naik mobil. Mau lulus ujian hari ini kan?"tanya Bisma
Dea menatap kesal ke arah Bisma.
"Raf, titip Dea ya! Aku berangkat duluan"ujar Bisma kemudian pergi dengan terburu-buru
Dea menatap kepergian Bisma. Hingga sebuah tangan menggandengnya. Dia adalah Rafael. Ia tersenyum lalu mengajak Dea masuk ke mobilnya.
"Semangat ya buat ujiannya! Semoga lulus"Rafael
"Makasih"Dea
"Menurut kamu, gimana kalau aku tunangan sama Kristin?"Rafael
Hati Dea terasa sakit mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun, ia masih menyimpan perasaan pada mantan tunangannya itu.
"Kenapa kamu tanya aku? Kalau mau tunangan ya tinggal tunangan aja!"jawab Dea berusaha tegar
Rafael menghela napas panjang.
"Sudahlah. Kamu konsen ujiannya dulu saja!"Rafael
Dea mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Selesai ujian, Dea pulang naik kendaraan umum karena Bisma yang tak kunjung menemuinya. Hatinya bertanya-tanya, kemana perginya Bisma. Disaat ia membutuhkan sandaran setelah mengetahui rencana Rafael, Bisma malah menghilang. Dea merasa separuh kekuatannya hilang. Kepalanya terasa pusing.
Satu minggu berlalu. Dea pergi ke rumah Bisma. Sebab, sejak seminggu lalu Bisma tak memberinya kabar. Dea sungguh khawatir. Apakah Bisma marah dengan Dea? Tapi memangnya apa yang telah Dea lakukan? Sampainya di rumah Bisma, Dicky selaku adik Bisma menemui Dea.
"Kak Dea nyari kak Bisma?"tanya Dicky
Dea mengangguk.
Dicky menghela napas panjang.
"Kak Dea belum tahu ya? Kak Bisma, meninggal lima hari yang lalu"lirih Dicky
Dea terdiam. Ia tak percaya dengan ucapan Dicky.
"Di hari ujian tes beasiswa, penyakit kak Bisma kambuh. Dia berbelok ke arah rumah sakit saat hendak ke tempat ujian. Dan dua hari setelah itu kak Bisma meninggal. Kak Bisma memiliki jantung yang tak sempurna sejak ia lahir. Katub jantungnya bermasalah"terang Dicky
"Bis...ma"lirih Dea menangis sesenggukan
Ia tak menyangka, sahabat terbaiknya itu kini telah tiada. Dicky mendekat ke arah Dea.
"Kak Bisma sudah tenang di alam sana. Kakak jangan terlarut dalam kesedihan!"ujar Dicky
"Kenapa dia tidak pernah menceritakannya padaku Dick?"Dea
"Kak Bisma bilang, kak Dea harus konsentrasi pada belajarnya agar dapat beasiswa. Disisa hidupnya, kak Bisma ingin menemani kakak, menjadi seseorang yang berguna bagi kakak, orang yang kak Bisma cintai"terang Dicky
Hari berganti. Dea baru saja mendapat kabar kalau ia gagal dalam ujian beasiswa seminggu lalu. Sore ini Dea pergi ke pemakaman Bisma. Dea bersimpuh di makam sahabatnya itu. Ia membelai nisan Bisma.
"Dea"panggil seseorang
"Rafael?"kaget Dea
Rafael bersimpuh disamping Dea.
"Jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan! Aku tahu kamu kehilangan Bisma, tapi kamu tak kehilangan hidupmu"Rafael
Dea memeluk Rafael dan meluapkan kesakitannya di dalam dekapan mantan tunangannya itu.
"Dea, apa kamu mau memberiku satu kesempatan lagi buat sama-sama kamu?"Rafael
Dea melepas pelukannya pada Rafael, lalu menatapnya bingung.
"Jika kamu mau, kita akan segera bertunangan lalu kuliah bersama. Aku akan mendaftarkanmu kuliah bersama denganku"Rafael
"Kamu sudah punya Kristin"lirih Dea
"Aku yakin dia akan mengerti. Aku memang terlambat mengenali rasa ini. Tapi please, beri aku satu kesempatan lagi!"Rafael
Dea berpikir sebentar. Jujur saja, Dea masih sangat mencintai Rafael meski berkali-kali Rafael melukai hatinya. Di tambah lagi, kini Bisma yang selalu menjadi sandarannya telah tiada.
"Raf, kalau aku memberimu satu kesempatan untuk kembali padaku, artinya aku memberimu kesempatan untuk melukai hati seorang gadis. Kristin. Dia akan sakit jika kita kembali. Dia sayang sama kamu"Dea
"Aku yakin dia akan mengerti. Dia gadis yang baik"Rafael
"Justru itu Raf, apa kamu tega melukai hati dan menyia-nyiakan gadis sebaik itu? Kamu tidak boleh egois. Kamu telah melangkah cukup jauh dengannya. Sementara aku sudah tertinggal jauh darimu. Kita tidak bisa kembali Raf. Maaf"ujar Dea
Rafael terdiam.
"Maaf Raf, aku harus pulang"pamit Dea kemudian pergi
Satu tahun berlalu. Saat ini Dea berada di Australia. Ia kuliah di salah satu universitas terbaik disana. Sebulan setelah meninggalnya Bisma, Dea mendapat sebuah bingkisan yang berisi surat diterimanya Dea di universitas itu dan beberapa dokumen yang dapat mengantarnya kesana. Semua itu ia dapatkan dari Bisma. Bisma sengaja menabung untuk jaga-jaga jika Dea tidak diterima jalur beasiswa saat ia sudah tak disamping Dea lagi. Bisma sudah mengurus semua biaya hidup Dea di Australia selama empat tahun. Dan sekarang, tugas Dea untuk berterima kasih pada Bisma. Dengan cara, ia menggapai semua mimpinya. Meneruskan langkahnya saat bersama Bisma dulu. Melupakan segala kenangan tentang Rafael yang kini sudah berbahagia dengan Kristin. Dan yakin, suatu hari ia akan menemukan seseorang yang lebih baik dari Rafael dan Bisma, untuk menjadi pasangan hidupnya.

Sabtu, 21 November 2015

Cerpen-Silent Love



Silent Love

Aku terus berlari ketika mendengar suara bel masuk sekolah. Lorong sekolahpun dipenuhi siswa-siswi yang hendak masuk ke kelas masing-masing. Dian. Itulah namaku. Nama sederhana yang melambangkan kelembutan bagi seorang wanita. Mungkin karena terlalu cepatnya aku berlari, hingga aku tak sadar jika ada sebuah buku ku yang jatuh. Aku menyadarinya ketika terdengar suara seseorang memanggilku.
"Hey! Hey yang pakai tas biru!"panggilnya
Aku menghentikan langkahku. Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat, hingga sebuah tangan menyentuh bahuku.
"Ini bukumu kan? Tadi aku lihat buku ini jatuh waktu kamu lari"ujar pria itu
Aku mengambil buku ditangan pria yang memanggilku itu. Mataku menatap ke arah sepatu pria di hadapanku. Sebisa mungkin, aku harus bisa menahan sesuatu dalam hatiku.
"Hey, kamu nggak mau berterima kasih gitu?"tanyanya
Perlahan aku menatapnya. Beberapa kali, aku mengangguk.
"Kamu bisu?"tanyanya lagi
Detik berikutnya, aku menunduk dalam. Benar apa yang ia katakan. Aku memang tak bisa bicara. Aku sungguh malu. Sebab, dia adalah Reza. Pria yang aku sukai.
Selama ini aku hanya memperhatikan Reza dari jauh. Aku tak berani mendekatinya, bahkan sebatas tersenyum padanya. Aku merasa tidak pantas. Dia adalah pria yang tampan, banyak disukai siswi sekolahku. Sedangkan aku hanyalah seorang gadis tuna wicara. Jelas, aku tak pantas berteman dengannya.
"Dian Arfandini"panggilnya setelah mengeja namaku
Aku kembali menatapnya. Aku memberinya isyarat jika aku harus segera pergi. Namun sepertinya ia tak mengerti. Kemudian aku berjalan cepat menuju kelasku. Untung saja saat itu guru yang seharusnya mengajar belum datang.
Ketika jam istirahat, aku bergegas ke perpustakaan. Aku mengambil sebuah novel karya penulis idolaku, lalu duduk di dekat jendela perpustakaan. Dari sana aku dapat melihat Reza yang sedang bermain gitar di belakang sekolah. Itulah kegiatan keseharianku. Melihat pria itu dari kejauhan. Ku rasa itu cukup. Karena tak mungkin ku dapatkan sesuatu yang lebih dari ini. Setiap habis satu halaman aku baca, mataku beralih menatap Reza yang asyik dengan gitarnya itu. Dia terlihat sangat tampan di mataku. Hingga tak jarang bibirkupun mengukir senyum.
Namun ternyata, akhirnya Reza mengetahui keberadaanku yang tengah memperhatikannya. Dia menatapku cukup lama. Kemudian ia berdiri dan berjalan cepat menghampiriku. Dengan segera, aku berlari kembali ke kelas. Sungguh, aku sangat malu jika harus berhadapan langsung dengannya. Karena hal itu selalu membuatku sadar tentang kekuranganku yang membuat aku tak pantas untuknya.
Dua bulan berlalu. Hari ini sebuah turnamen basket diadakan di sekolahku. Dan Reza adalah salah satu anggotanya. Aku melihat dari atas lantai dua sekolahku. Saat istirahat babak pertama, aku berlari kedalam kelas untuk mengambil sesuatu dari dalam tasku. Kemudian aku berlari ke arah ruang istirahat anggota tim basket sekolahku. Terlihat Reza dan teman-temannya sedang beristirahat dan menyusun strategi untuk babak selanjutnya. Ingin sekali aku masuk dan menghampiri Reza. Tapi aku malu. Barulah setelah mereka pergi aku masuk. Aku meletakan sebuah kotak makan berisi kue buatanku di samping tas Reza. Awalnya aku berniat memberikannya secara langsung. Namun kemudian aku sadar, itu hanya akan mempermalukan Reza dan diriku sendiri.
Setelah meletakkan kue itu, aku berjalan ke arah lapangan basket. Aku duduk di bangku belakang. Histeria para suporter memenuhi area lapangan basket hingga babak terakhir. Begitu pertandingan usai dan di tetapkan sekolahku sebagai juaranya, seluruh siswa sekolahku berdiri dan berteriak heboh menggambarkan kebahagiaan mereka. Akupun ikut berdiri. Namun mataku terarah pada tim basket sekolahku yang hendak memasuki ruang istirahat. Tiba-tiba, anggota tim cheers sekolah menghadang mereka. Nayla, salah satu diantaranya bersalaman dan mengucapkan selamat pada Reza. Aku merasa ada sesuatu di antara keduanya. Dan, aku akui, itu berhasil membuat hatiku sesak. Mereka sempat berbincang cukup lama. Hingga siswi lain turut mengerubungi anggota tim basket sekolahku. Beberapa saat kemudian, mereka pergi. Ruangan itu kini sepi. Aku berjalan memaskukinya. Namun, betapa kecewanya aku saat melihat kotak makan yang tadi ku letakkan di samping tas Reza itu terjatuh, bahkan isinya terinjak-injak. Beberapa tetes air mataku jatuh. Rasanya sungguh perih. Ternyata sebegitu tak pantasnya aku untuk Reza. Bahkan sampai sesuap masakankupun tak pantas Reza makan. Aku hanya seperti sebuah sampah diantara tumpukan berlian. Apalagi jika dibandingkan dengan Nayla. Anggota tim cheers sekaligus jawara Olimpiade Bahasa Inggris tahun ini.
Saat pulang sekolah, aku berdiri di depan gerbang menunggu taxi. Tiba-tiba sebuah mobil melintas kencang di depanku hingga membuat genangan air di jalan menyiprat ke pakaianku. Dengan segera, pengendara mobil itu turun dan menghampiriku. Dia adalah Nayla.
"Maaf maaf, aku tidak sengaja"ujarnya penuh penyesalan
Nayla membersihkan bajuku dengan beberapa lembar tissue.
"Ada apa ini?"tanya seseorang. Reza
"Aku nggak sengaja basahin baju dia, Za"Nayla
Aku memberi isyarat jika aku tak apa. Aku baik-baik saja.
"Tapi aku benar-benar merasa bersalah. Maaf"Nayla
Aku tersenyum padanya.
"Sudahlah, dia juga nggak papa kok"Reza
"Ya sudah, aku duluan ya!"pamit Nayla
"Nay!"panggil Reza
Nayla menoleh. Menatap Reza penuh tanya.
"Emh...nanti sajalah"Reza
Nayla mengangguk lalu pergi.
Jujur, saat itu hatiku kembali sakit. Disana seperti aku mendapat sebuah bukti tentang kedekatan mereka.
Kini tinggal aku dan Reza. Aku masih terus menunggu taxi yang lewat. Namun aku berharap aku dapat berdiri lebih lama disini, bersama Reza.
"Hey, kamu yang dulu bukunya jatuh itukan?"Reza
Aku menatapnya, lalu mengangguk.
"Kamu juga yang ngelihatin aku waktu di taman belakang kan? Aku beberapa kali lihat kamu di perpus ngelihatin aku"Reza
Aku terkejut mendengarnya.
'Bukan. Aku tak bermaksud begitu'aku berusaha mengucapkan kalimat itu dengan menggelengkan kepalaku
"Ah...sudahlah, aku duluan ya!"pamit Reza kemudian pergi
Aku menghela napas panjang.
Hari berikutnya, saat jam istirahat, aku tak melihat Reza di taman belakang. Aku berjalan malas keluar dari perpustakaan. Namun pandanganku segera tertuju ke lapangan upacara sekolahku. Disana terlihat ramai. Di tengah keramaian itu aku melihat Reza bersama Nayla. Terdengar sorak-sorai para siswa yang meminta Nayla untuk menerima Reza. Aku tak tahu apa kelanjutannya. Aku segera pergi menjauh. Aku mencari tempat sepi dan tenang untuk meluapkan sakit hatiku. Di taman belakang, aku menangis. Hanya terdengar isak tangisku di taman itu. Aku benar-benar kecewa dengan keadaan. Andai saja aku bisa berbicara. Andai saja aku tak merasa malu saat harus berhadapan dengan Reza. Mungkin aku akan punya sebuah kesempatan untuk bersama Reza. Namun nyatanya, aku tak pernah pantas untuknya.
Di hari-hari berikutnya, aku malas pergi ke perpustakaan. Sebab, dari sana aku tak lagi dapat mencuri pandangan pada Reza. Malahan yang aku lihat hanyalah sesuatu yang dapat semakin menyakitiku. Kebersamaan Reza dengan Nayla. Hingga aku sadar, bahwa apa yang aku harapkan tak selalu aku dapatkan. Semua yang aku perjuangkan tak selalu mendapatkan hasil seperti yang aku idamkan. Setidaknya, dengan kisah ini aku mengenal cinta. Tentang apa itu kesabaran dan keikhlasan.
Saat hari kelulusanku, aku memberikan sebuah surat untuk Reza. Rezapun menerimanya. Setelah itu aku berjalan keluar area sekolah. Di setiap langkahku, aku kembali mengenang kisah cinta rahasiaku pada Reza. Hingga seseorang memanggilku. Aku menoleh. Ternyata dia adalah Reza. Reza berlari ke arahku. Dia menggenggam tanganku.
"Kenapa kamu tak bilang dari awal? Kenapa harus aku? Dan kenapa kamu baru bilang sekarang?"tanya Reza bertubi-tubi
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Maaf, Dian. Aku tak bermaksud menyakiti gadis sebaik kamu. Tapi aku yakin, di luar sana kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku"Reza
Aku mengangguk.
'Semoga kamu bahagia dengan Nayla. Dia gadis yang baik'aku berusaha mengucapkan kata-kata itu, meski aku tahu Reza tak sepenuhnya mengerti apa yang aku sampaikan
"Semoga kamu juga bahagia"ujar Reza
Setetes air mataku jatuh. Namun dengan segera Reza menghapusnya.
'Aku pulang dulu, Za'pamitku
Reza mengangguk mengerti.
Kemudian aku kembali berjalan tanpa sekalipun menoleh ke arah Reza.
Reza adalah sebagian dari kisah hidupku. Reza adalah seseorang yang telah menyadarkanku tentang sebuah keberanian. Tanpa keberanian, aku tak akan mendapat apa yang aku inginkan. Harusnya kekurangan tak ku jadikan alasan untuk menjadi lemah dan merasa tak pantas. Harusnya sejak dulu aku ada di dekat Reza. Setidaknya, menjadi seseorang yang selalu ada untuknya. Seharusnya aku memberanikan diriku untuk menjadi temannya, bukannya selalu menghindar karena merasa tak pantas. Namun, bukankah penyesalan memang selalu datang di akhir? Dan kini, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Tapi aku percaya, Tuhan selalu ada untukku. Tuhan tak akan membiarkan aku terlarut dalam luka ini.