Cukup
Lama
Menunggu. Itulah yang
sampai saat ini aku lakukan. Empat tahun sudah berlalu. Tanpa sebuah kepastian,
aku tetap berdiri di sini. Karena aku yakin, dia akan menepati janjinya untuk
kembali padaku, untuk menjadikan aku satu-satunya cinta terakhir di hidupnya.
Meski selama empat tahun itu pula aku tak bertemu dengannya. Tepatnya sejak
hari kelulusan SMP.
Aku dan Rianti kini
berada di sebuah toko buku. Aku menemani sahabatku itu membeli novel keluaran
terbaru. Dengan imbalan, dia menemaniku nonton sore nanti. Aku mulai bosan
menunggu Rianti yang belum juga puas mengitari toko buku. Aku berpamitan
padanya untuk keluar sebentar mencari minum. Tidak enak memang, menghabiskan
masa remaja ini sendirian, tanpa kehadiran seorang kekasih. Namun mau bagaimana
lagi, aku benar-benar mencintainya. Dan hanya mencintainya.
Aku memesan minuman di
area mall yang tak jauh dari toko buku dimana Rianti berada. Aku memesan
segelas soft drink. Sambil menunggu pesananku datang, aku memainkan games di
hand phoneku. Tiba-tiba seorang pria menghampiriku.
"Hay"sapanya
"Iya"balasku
"Loh..Bisma?"kagetku saat menyadari siapa
yang datang
Pria yang tak lain adalah sahabatku saat SMA itu
tersenyum.
"Sama siapa kesini?"tanya Bisma
"Teman. Kamu?"aku
"Sendiri"Bisma
Aku mengangguk mengerti.
Tak lama kemudian
pesananku datang. Aku mulai meminumnya. Tak lupa aku mengirim pesan untuk
Rianti untuk memberi tahukannya tentang keberadaanku kini. Sembari menikmati
minuman pesananku, aku dan Bisma berbincang tentang kuliah kami. Dia memang
pria yang asyik untuk diajak bicara. Maka dari itu, aku nyaman dan betah berada
di dekatnya. Beberapa menit kemudian Rianti datang menghampiriku. Aku tersenyum
menyambut kedatangannya. Dia segera memesan minuman dan ikut 'nimbrung'
denganku dan Bisma. Tak lupa aku memperkenalkan kedua sahabatku itu satu sama
lain. Dan ternyata mereka tak butuh waktu lama untuk akrab.
Satu minggu berlalu.
Saat ini aku masih berada di area kampus. Seharian ini aku tak bertemu Rianti.
Ia hanya mengirimiku sebuah kabar kalau saat ini ia sedang tidak enak badan.
Jadi aku putuskan untuk menjenguknya nanti pulang kuliah. Pukul 14.00, jam
pelajaran terakhir selesai. Aku segera menuju rumah Rianti. Namun sebelum itu,
aku menyempatkan waktu untuk membelikannya buah-buahan. Saat di toko buah, aku
bertemu dengan seseorang. Orang yang selama ini aku tunggu. Seorang pria yang
membuatku bertahan dengan status single untuk dapat bersamanya suatu saat
nanti. Rafael.
Meski dengan tampilan
dan wajah yang sedikit berbeda dari lima tahun lalu, aku masih dapat
mengenalinya. Ia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya. Dia
menghampiriku lalu menyalamiku dan bertanya tentang kabarku.
"Aku baik. Bagaimana dengan kamu?"aku
"Aku juga baik. Kamu beli buah buat siapa? Apa
ada yang sakit?"Rafael
"Ya. Temanku bilang dia sedang tidak enak
badan. Makanya aku membelikannya buah-buahan"ujarku
Rafael mengangguk mengerti.
.........
Ingatanku kembali pada
masa dimana aku harus membiarkan Rafael pergi. Saat perpisahan SMP, Rafael yang
notabenya sahabatku berpamitan karena di ajak pindah keluarganya keluar kota.
Saat itu aku bingung harus berbuat apa. Sebab, selama hampir tiga tahun
belakangan aku menyimpan sesuatu darinya. Cinta. Hal itulah yang saat itu
mengganjal di hatiku. Membuatku merasa berat untuk melepasnya pergi.
"Aku janji kita akan bertemu lagi kok. Aku akan
kembali kesini lagi"Rafael
Aku tetap bungkam. Sekuat tenaga aku menahan air
mataku agar tidak menetes di depan pria yang sangat aku cintai itu.
"Tita, bicaralah!"desak Rafael
"Ak..aku..."ucapku tertahan
Aku tak tahu bagaimana
harus mengungkapkannya. Aku ingin sekali menahannya agar tetap tinggal.
"Tita..."lirih Rafael
"Aku cinta kamu Raf"lirihku sembari
menunduk
Setetes air mataku mulai menetes.
Ternyata satu kalimat itu bisa membuat Rafael
terdiam.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya.
"Aku cinta sama kamu"ulangku dengan suara
yang lebih lantang
Rafael menghapus air mata di pipiku.
"Aku mohon jangan pergi! Tetaplah tinggal
disini untukku!"pintaku
"Itu tidak mungkin. Aku harus pergi. Aku harus
ikut kedua orang tuaku"Rafael
Aku menunduk dalam, menahan sesak yang semakin
terasa.
"Kamu mau ninggalin aku?"lirihku
"Aku akan kembali buat kamu. Aku akan berusaha
untuk membalas cintamu. Sebab, kamu gadis yang baik. Aku tak ingin membiarkanmu
terluka"Rafael
"Saat aku kembali nanti, kita akan bersama,
selamanya"lanjutnya
Aku tersenyum mendengar penuturannya.
...........
Sepanjang perjalanan
menuju rumah Rianti, bibirku mengukir senyum. Akhirnya, penantianku sebentar
lagi akan berakhir. Ternyata Rafael benar-benar menepati janjinya untuk kembali
padaku. Bahkan Rafael mengajakku bertemu besok di Idol Cafe jam 19.00. Aku tak
menyesal sedikitpun menunggunya selama lima tahun terakhir. Karena aku yakin,
sebentar lagi semua akan terbayar lunas.
Setengah jam kemudian
aku telah berada di kamar Rianti. Aku tengah menceritakan padanya tentang
pertemuanku dengan Rafael. Sepertinya ia juga senang mendengarnya. Sebab, dia
tahu betul tentang kesetiaanku pada
Rafael.
"Oh iya Ta, aku baru ingat. Tadi pagi sahabatku
waktu SMA kesini, katanya awal bulan depan dia mau tunangan"terang Rianti
"Lalu? Apa hubungannya sama aku?"bingungku
"Kamu ikut aku kesana ya? Soalnya aku kan tidak
punya pacar, aku juga nggak begitu dekat dengan teman-teman SMA ku"ajak
Rianti
"Aku usahain deh"jawabku sembari tersenyum
Rianti terlihat senang dengan jawabanku.
Hari berganti. Malam
ini aku telah berada di dalam Idol Cafe. Aku duduk di bangku dekat dengan area
taman terbuka sehingga dapat menyaksikan indahnya lampu-lampu yang tertata
apik. Hampir sepuluh menit aku menunggu Rafael. Tapi ia tak kunjung datang. Aku
mulai berpikiran negatif tentangnya. Waktu menunjukkan pukul 19.45. Artinya,
sudah 45 menit aku menunggu Rafael. Aku sendiri lupa membawa hand phone
sehingga tak bisa menghubunginya. Karena cukup lama menunggu, aku memutuskan
untuk pulang. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu utama. Tapi
saat hendak melewati pintu, langkah kakiku terhenti. Senyum mulai mengembang
dibibirku.
"Maaf aku terlambat"ujar seseorang berlari
ke arahku
Dia adalah Rafael.
Aku dan Rafael kembali
ke tempat dudukku tadi saat menunggunya.
"Maaf tadi aku ada urusan penting jadi
terlambat"Rafael
"Iya tidak apa-apa Raf"balasku
Aku dan Rafael terdiam seketika. Aku bingung, apa
yang harus aku katakan padanya. Dan sepertinya Rafael juga merasakan apa yang
aku rasakan. Kami sama-sama canggung untuk memulai pembicaraan. Hingga.....
"Tita.."panggil Rafael terdengar lembut
"Iya"jawabku
"Emh...bagaimana dengan kuliahmu?"Rafael
"Baik. Aku mengambil jurusan Analis Kesehatan.
Bagaimana dengan kamu?"aku
"Aku ambil jurusan Sosiologi. Rencananya juga
aku mau pindah kesini karena suatu hal"Rafael
"Oh ya? Bagus donk?"girangku
Rafael tersenyum tipis.
Pembicaraan antara aku
dan Rafael kembali terhenti. Kami sama-sama bingung menyusun kalimat dan topik
pembicaraan.
"Tita.."
"Rafael"
Panggil kami bersamaan.
"Apa?"Rafael
"Kamu dulu aja!"aku
"Kamu saja!"Rafael
"Apa kamu masih ingat berbincangan kita saat
kamu akan pergi?"tanyaku
Rafael mengangguk.
"Gimana? Apa waktu lima tahun sudah cukup untuk
membuat kamu mencintai aku? Ya...walaupun aku tahu kita bahkan tidak pernah
bertemu"lanjutku lirih
Rafael terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang ia
pikirkan.
"Aku...aku tidak tahu, Ta"Rafael
Aku sungguh kecewa
mendengar jawaban dari mulut Rafael. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan
kesedihanku.
"Aku tidak mau menyakitimu. Sama sekali tak
ingin. Aku tak ingin melihat air matamu menetes, apa lagi itu karena
aku"Rafael
Aku masih terus membisu. Aku sendiri tak tahu apa
inti pembicaraan itu.
"Jodoh sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Tapi
kita tetap bisa berteman. Seperti dulu saat masih SMP"ujar Rafael sembari
tersenyum kearahku
Aku mulai mengangkat
daguku dan menatapnya. Aku seperti melihat sebuah cahaya kecil dari matanya.
Dari ucapannya tadi, aku membuat kesimpulan, bahwa masih ada kesempatan
untukku. Mungkin waktu lima tahun saja tak cukup untuk merubah hatinya. Tapi
aku yakin, sebentar lagi ia akan mencintaiku, sama seperti aku mencintainya.
Sebab, mulai sekarang kami kembali berteman dan pasti akan sering bertemu.
Pagi ini aku berangkat
ke kampus dengan aura yang berbeda. Tak lagi sebagai Tita yang cuek, malas, dan
pendiam. Melainkan Tita yang ceria, ramah dan bersemangat. Rianti sempat
bingung dengan tingkahku pagi itu. Namun aku segera menjelaskan padanya.
"Aku yakin kamu bisa sama-sama Rafael, Ta. Kamu
baik, setia menunggu walau tanpa sebuah kepastian. Mana mungkin Rafael rela
melepasmu begitu saja?"ujar Rianti
Ucapan Rianti menambah rasa bahagia dalam hatiku.
Aku yakin, aku dan Rafael akan berjodoh. Aku akan semakin giat berusaha dan
berdo'a agar Tuhan menyatukanku dengan pemuda yang sangat aku cintai itu.
Sore harinya, Rafael
menelponku. Kami berbicara cukup lama di telepon. Senyum tak pernah luntur dari
bibirku. Aku tak menyangka, bisa kembali sedekat ini dengannya. Walaupun aku
belum bisa memiliki hatinya, tapi aku yakin, seiring berjalannya waktu aku akan
menempati ruang hatinya.
Dua minggu berlalu. Aku
tengah membuatkan jus jeruk untuk Rianti yang sedang duduk manis di ruang tamu.
Sesaat kemudian aku menghampirinya. Ku lihat ia asyik bertelepon dengan
seseorang. Hingga beberapa saat kemudian ia mematikan sambungan teleponnya.
"Ini jus nya"ujarku
"Trima kasih"Rianti
"Tita, kamu masih ingat kan untuk menemaniku ke
pesta pertunangan sahabatku saat SMA?"Rianti
Aku mengangguk.
"Acaranya besok malam di Jalan Anugrah no.17
jam 18.00"Rianti
"Oh ya? Mendadak sekali?"kagetku
"Namanya Nadia. Sebenarnya dia sudah
mengirimkan undangan untukku, tapi karena aku sudah pindah rumah, jadi aku tak
menerimanya"Rianti
"Baiklah. Besok pukul 17.30 aku ke
rumahmu"aku
Rianti mengangguk. Kemudian kami mulai mengerjakan
tugas dari dosen yang harus dikumpulkan besok.
Hari berganti. Sejak
pagi aku bingung mencari hand phoneku. Sepertinya aku lupa menaruhnya setelah
belajar dengan Rianti kemarin. Aku berjalan cepat menuruni tangga rumahku
karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.35. Aku harus segera sampai di rumah
Rianti. Saat di depan pintu utama, ayah memanggilku.
"Tita, tadi siang ada yang mencari kamu. Dia
bilang dia sudah menghubungimu sejak kemarin sore, tapi hand phone mu tidak
aktif"terang ayah
"Oh ya? Siapa yah?"tanyaku
"Kalau tidak salah namanya Rafael"ayah
Hatiku sungguh senang
mengetahui bahwa Rafael mencariku. Kira-kira apa yang ingin ia bicarakan hingga
ia mencariku di rumah? Entahlah. Urusan Rafael, lebih baik aku pikirkan nanti.
Sebab aku yakin kini Rianti sudah menungguku. Ditambah lagi, ia tak bisa
menghubungiku. Aku segera berpamitan dan mencium punggung tangan ayah.
Pukul 18.15, aku dan
Rianti sudah sampai di gedung tempat di selenggarakannya acara pertunangan
Nadia, sahabat Rianti. Aku dan Rianti bersalaman dengan Nadia. Dia adalah gadis
yang baik, cantik dan ramah menurutku. Rianti dan Nadia mulai bernostalgia
tentang masa SMA mereka. Karena bosan, aku berpamitan untuk mengambil minum
sebantar. Setelah mendapat anggukan dari Rianti, akupun pergi. Aku mengambil
segelas minuman dingin. Tiba-tiba, seseorang mengagetkanku.
"Rafael?"kagetku
"Ngapain kamu disini? Jangan bilang kamu kenal
Nadia juga ya?"tebakku
"Kenapa teleponmu tidak aktif sejak kemarin
sore? Apa kamu tidak tahu, aku begitu pusing mencarimu"Rafael
Aku tersenyum tipis mendengar penuturannya.
"Ada apa?"tanyaku lembut
"Tita...ada yang harus aku bicarakan sama
kamu"Rafael
Aku menoleh ke arah sekitar. Begitu ramai.
"Disini?"tanyaku memastikan
Rafael mengangguk mantap.
"Baiklah. Silahkan!"aku
Rafael terlihat kikuk.
Beberapa kali ia menghela napas panjang. Tapi aku tetap setia menanti
ucapannya.
"Ak...aku...aku...."ucap Rafael gugup
"Kamu apa Raf?"tanyaku penasaran
"Rafael ayo! Sebentar lagi acaranya di
mulai"ujar seorang wanita menarik Rafael untuk meninggalkanku
Dia adalah Amira, kakak Rafael.
Rianti menghampiriku dan menarik tanganku menuju
tempat acara puncak di selenggarakan.
"Tibalah saat yang kita tunggu-tunggu. Kedua mempelai
akan bertukar cincin, dan setelah ini mereka akan resmi bertunangan"ujar
ayah Nadia
Terlihat seorang pria
berjalan ke arah Nadia dan berdiri di sampingnya. Dia adalah Rafael. Tapi,
untuk apa dia kesana? Ribuan pertanyaan hinggap di benakku.
"Wah...ganteng ya calon tunangan Nadia. Mereka
sangat serasi"bisik Rianti di telinga kananku
"Tu..tunangan? Rafael?"lirihku
Rianti membolatkan matanya.
"Apa? Dia Rafael? Kamu yakin?"kaget Rianti
menatapku serius
Aku tak menjawab pertanyaan Rianti. Sedetik kemudian
aku rasakan sebuah tangan menggenggam tanganku. Dia adalah Rianti. Aku tahu, ia
ingin mengurangi sakit yang aku rasakan kini.
Pandanganku beralih
pada Rafael. Ia memasangkan cincin permata itu di jari manis Nadia. Sesaat
kemudian, Nadia memasangkan cincin pasangannya ke jari manis Rafael. Mereka
terlihat bahagia. Senyuman terus mengembang di bibir keduanya. Namun, tahukah
mereka bahwa disini ada aku yang merasa sangat terluka? Aku tak sanggup melihat
pria yang sangat aku cintai bersanding dengan orang lain. Apa penantianku
selama lima tahun sia-sia? Apa tak ada sebuah harapan kecil untuk aku bisa
mendapatkan cintanya? Ini begitu tak adil untukku. Aku sangat terluka. Bahkan
setelah lima tahun aku setia menunggu. Ternyata ini yang membuat Rafael
mencariku sejak kemarin. Ternyata ini yang membuatnya kaku saat berbicara
denganku tadi. Aku berjalan cepat keluar dari gedung itu. Rianti mengejarku dan
mengantarkan aku pulang.
Tiga tahun berlalu.
Tahun lalu aku lulus dan berhasil meraih gelar S.Si. Sejak malam itu, aku
berjanji pada diriku sendiri untuk bangkit. Melupakan perasaanku pada Rafael.
Kesibukanku sebagai tenaga medis juga membantu mempermudah untuk aku melupakan
Rafael.
Waktu menunjukkan pukul
14.00. Aku melepas jas laboratorium kebanggaanku, dan segera bergegas pergi.
Pukul 14.30 aku sampai di tempat tujuan. Terlihat seorang pria dengan koper
berukuran besar melambaikan tangan kearahku. Dia berjalan cepat ke arahku, lalu
memelukku.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu sangat
merindukanku satu tahun ini?"tanyanya
"Biasa saja sih"jawabku jujur
"Oh iya...bagaimana dengan
proyeknya?"tanyaku
"Sukses donk. Bulan depan aku akan mengajak
orang tuaku untuk melamarmu"ujarnya enteng
"What? Tidak, Bis. Usiaku masih 23 tahun. Dan
aku masih ingin menikmati masa muda ku"tolakku
Bis? Ya. Dia adalah Bisma. Sahabatku saat SMA.
Beberapa hari setelah pertunangan Rafael dengan Nadia, Bisma mendatangiku dan
berkata bahwa ia mencintaiku. Aku tak langsung menerimanya, karena memang saat
itu aku tengah benar-benar terluka. Aku menerimanya satu tahun kemudian. Saat
aku merasa mulai mencintainya. Pria yang selalu setia menungguku, bukan aku
tunggu.
"Tidak. Aku tidak ingin memberi kesempatan bagi
pria lain untuk menggodamu"Bisma
"Kamu memang suka berbuat seenaknya
sendiri"keluhku
Bisma mencium puncak kepalaku, lalu merangkulku
untuk berjalan berdampingan dengannya.
Saat apa yang aku
tunggu kembali hanya untuk mengatakan perpisahan, saat apa yang aku harap dan
yakini akan menjadi milikku selamanya itu pergi, aku mulai terbangun dan
menemukan malaikat yang di kirimkan Tuhan untukku. Malaikat yang meraih
tanganku untuk berjalan berdampingan dengannya menuju kebahagiaan. Malaikat
yang akan selalu menjagaku, mencintaiku, dan menyayangiku. Dialah Bisma.