Kamis, 10 September 2015

Cerpen-Cukup Lama



Cukup Lama

Menunggu. Itulah yang sampai saat ini aku lakukan. Empat tahun sudah berlalu. Tanpa sebuah kepastian, aku tetap berdiri di sini. Karena aku yakin, dia akan menepati janjinya untuk kembali padaku, untuk menjadikan aku satu-satunya cinta terakhir di hidupnya. Meski selama empat tahun itu pula aku tak bertemu dengannya. Tepatnya sejak hari kelulusan SMP.
Aku dan Rianti kini berada di sebuah toko buku. Aku menemani sahabatku itu membeli novel keluaran terbaru. Dengan imbalan, dia menemaniku nonton sore nanti. Aku mulai bosan menunggu Rianti yang belum juga puas mengitari toko buku. Aku berpamitan padanya untuk keluar sebentar mencari minum. Tidak enak memang, menghabiskan masa remaja ini sendirian, tanpa kehadiran seorang kekasih. Namun mau bagaimana lagi, aku benar-benar mencintainya. Dan hanya mencintainya.
Aku memesan minuman di area mall yang tak jauh dari toko buku dimana Rianti berada. Aku memesan segelas soft drink. Sambil menunggu pesananku datang, aku memainkan games di hand phoneku. Tiba-tiba seorang pria menghampiriku.
"Hay"sapanya
"Iya"balasku
"Loh..Bisma?"kagetku saat menyadari siapa yang datang
Pria yang tak lain adalah sahabatku saat SMA itu tersenyum.
"Sama siapa kesini?"tanya Bisma
"Teman. Kamu?"aku
"Sendiri"Bisma
Aku mengangguk mengerti.
Tak lama kemudian pesananku datang. Aku mulai meminumnya. Tak lupa aku mengirim pesan untuk Rianti untuk memberi tahukannya tentang keberadaanku kini. Sembari menikmati minuman pesananku, aku dan Bisma berbincang tentang kuliah kami. Dia memang pria yang asyik untuk diajak bicara. Maka dari itu, aku nyaman dan betah berada di dekatnya. Beberapa menit kemudian Rianti datang menghampiriku. Aku tersenyum menyambut kedatangannya. Dia segera memesan minuman dan ikut 'nimbrung' denganku dan Bisma. Tak lupa aku memperkenalkan kedua sahabatku itu satu sama lain. Dan ternyata mereka tak butuh waktu lama untuk akrab.
Satu minggu berlalu. Saat ini aku masih berada di area kampus. Seharian ini aku tak bertemu Rianti. Ia hanya mengirimiku sebuah kabar kalau saat ini ia sedang tidak enak badan. Jadi aku putuskan untuk menjenguknya nanti pulang kuliah. Pukul 14.00, jam pelajaran terakhir selesai. Aku segera menuju rumah Rianti. Namun sebelum itu, aku menyempatkan waktu untuk membelikannya buah-buahan. Saat di toko buah, aku bertemu dengan seseorang. Orang yang selama ini aku tunggu. Seorang pria yang membuatku bertahan dengan status single untuk dapat bersamanya suatu saat nanti. Rafael.
Meski dengan tampilan dan wajah yang sedikit berbeda dari lima tahun lalu, aku masih dapat mengenalinya. Ia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya. Dia menghampiriku lalu menyalamiku dan bertanya tentang kabarku.
"Aku baik. Bagaimana dengan kamu?"aku
"Aku juga baik. Kamu beli buah buat siapa? Apa ada yang sakit?"Rafael
"Ya. Temanku bilang dia sedang tidak enak badan. Makanya aku membelikannya buah-buahan"ujarku
Rafael mengangguk mengerti.
.........
Ingatanku kembali pada masa dimana aku harus membiarkan Rafael pergi. Saat perpisahan SMP, Rafael yang notabenya sahabatku berpamitan karena di ajak pindah keluarganya keluar kota. Saat itu aku bingung harus berbuat apa. Sebab, selama hampir tiga tahun belakangan aku menyimpan sesuatu darinya. Cinta. Hal itulah yang saat itu mengganjal di hatiku. Membuatku merasa berat untuk melepasnya pergi.
"Aku janji kita akan bertemu lagi kok. Aku akan kembali kesini lagi"Rafael
Aku tetap bungkam. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak menetes di depan pria yang sangat aku cintai itu.
"Tita, bicaralah!"desak Rafael
"Ak..aku..."ucapku tertahan
Aku tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. Aku ingin sekali menahannya agar tetap tinggal.
"Tita..."lirih Rafael
"Aku cinta kamu Raf"lirihku sembari menunduk
Setetes air mataku mulai menetes.
Ternyata satu kalimat itu bisa membuat Rafael terdiam.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya.
"Aku cinta sama kamu"ulangku dengan suara yang lebih lantang
Rafael menghapus air mata di pipiku.
"Aku mohon jangan pergi! Tetaplah tinggal disini untukku!"pintaku
"Itu tidak mungkin. Aku harus pergi. Aku harus ikut kedua orang tuaku"Rafael
Aku menunduk dalam, menahan sesak yang semakin terasa.
"Kamu mau ninggalin aku?"lirihku
"Aku akan kembali buat kamu. Aku akan berusaha untuk membalas cintamu. Sebab, kamu gadis yang baik. Aku tak ingin membiarkanmu terluka"Rafael
"Saat aku kembali nanti, kita akan bersama, selamanya"lanjutnya
Aku tersenyum mendengar penuturannya.
...........
Sepanjang perjalanan menuju rumah Rianti, bibirku mengukir senyum. Akhirnya, penantianku sebentar lagi akan berakhir. Ternyata Rafael benar-benar menepati janjinya untuk kembali padaku. Bahkan Rafael mengajakku bertemu besok di Idol Cafe jam 19.00. Aku tak menyesal sedikitpun menunggunya selama lima tahun terakhir. Karena aku yakin, sebentar lagi semua akan terbayar lunas.
Setengah jam kemudian aku telah berada di kamar Rianti. Aku tengah menceritakan padanya tentang pertemuanku dengan Rafael. Sepertinya ia juga senang mendengarnya. Sebab, dia tahu betul tentang  kesetiaanku pada Rafael.
"Oh iya Ta, aku baru ingat. Tadi pagi sahabatku waktu SMA kesini, katanya awal bulan depan dia mau tunangan"terang Rianti
"Lalu? Apa hubungannya sama aku?"bingungku
"Kamu ikut aku kesana ya? Soalnya aku kan tidak punya pacar, aku juga nggak begitu dekat dengan teman-teman SMA ku"ajak Rianti
"Aku usahain deh"jawabku sembari tersenyum
Rianti terlihat senang dengan jawabanku.
Hari berganti. Malam ini aku telah berada di dalam Idol Cafe. Aku duduk di bangku dekat dengan area taman terbuka sehingga dapat menyaksikan indahnya lampu-lampu yang tertata apik. Hampir sepuluh menit aku menunggu Rafael. Tapi ia tak kunjung datang. Aku mulai berpikiran negatif tentangnya. Waktu menunjukkan pukul 19.45. Artinya, sudah 45 menit aku menunggu Rafael. Aku sendiri lupa membawa hand phone sehingga tak bisa menghubunginya. Karena cukup lama menunggu, aku memutuskan untuk pulang. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu utama. Tapi saat hendak melewati pintu, langkah kakiku terhenti. Senyum mulai mengembang dibibirku.
"Maaf aku terlambat"ujar seseorang berlari ke arahku
Dia adalah Rafael.
Aku dan Rafael kembali ke tempat dudukku tadi saat menunggunya.
"Maaf tadi aku ada urusan penting jadi terlambat"Rafael
"Iya tidak apa-apa Raf"balasku
Aku dan Rafael terdiam seketika. Aku bingung, apa yang harus aku katakan padanya. Dan sepertinya Rafael juga merasakan apa yang aku rasakan. Kami sama-sama canggung untuk memulai pembicaraan. Hingga.....
"Tita.."panggil Rafael terdengar lembut
"Iya"jawabku
"Emh...bagaimana dengan kuliahmu?"Rafael
"Baik. Aku mengambil jurusan Analis Kesehatan. Bagaimana dengan kamu?"aku
"Aku ambil jurusan Sosiologi. Rencananya juga aku mau pindah kesini karena suatu hal"Rafael
"Oh ya? Bagus donk?"girangku
Rafael tersenyum tipis.
Pembicaraan antara aku dan Rafael kembali terhenti. Kami sama-sama bingung menyusun kalimat dan topik pembicaraan.
"Tita.."
"Rafael"
Panggil kami bersamaan.
"Apa?"Rafael
"Kamu dulu aja!"aku
"Kamu saja!"Rafael
"Apa kamu masih ingat berbincangan kita saat kamu akan pergi?"tanyaku
Rafael mengangguk.
"Gimana? Apa waktu lima tahun sudah cukup untuk membuat kamu mencintai aku? Ya...walaupun aku tahu kita bahkan tidak pernah bertemu"lanjutku lirih
Rafael terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang ia pikirkan.
"Aku...aku tidak tahu, Ta"Rafael
Aku sungguh kecewa mendengar jawaban dari mulut Rafael. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihanku.
"Aku tidak mau menyakitimu. Sama sekali tak ingin. Aku tak ingin melihat air matamu menetes, apa lagi itu karena aku"Rafael
Aku masih terus membisu. Aku sendiri tak tahu apa inti pembicaraan itu.
"Jodoh sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Tapi kita tetap bisa berteman. Seperti dulu saat masih SMP"ujar Rafael sembari tersenyum kearahku
Aku mulai mengangkat daguku dan menatapnya. Aku seperti melihat sebuah cahaya kecil dari matanya. Dari ucapannya tadi, aku membuat kesimpulan, bahwa masih ada kesempatan untukku. Mungkin waktu lima tahun saja tak cukup untuk merubah hatinya. Tapi aku yakin, sebentar lagi ia akan mencintaiku, sama seperti aku mencintainya. Sebab, mulai sekarang kami kembali berteman dan pasti akan sering bertemu.
Pagi ini aku berangkat ke kampus dengan aura yang berbeda. Tak lagi sebagai Tita yang cuek, malas, dan pendiam. Melainkan Tita yang ceria, ramah dan bersemangat. Rianti sempat bingung dengan tingkahku pagi itu. Namun aku segera menjelaskan padanya.
"Aku yakin kamu bisa sama-sama Rafael, Ta. Kamu baik, setia menunggu walau tanpa sebuah kepastian. Mana mungkin Rafael rela melepasmu begitu saja?"ujar Rianti
Ucapan Rianti menambah rasa bahagia dalam hatiku. Aku yakin, aku dan Rafael akan berjodoh. Aku akan semakin giat berusaha dan berdo'a agar Tuhan menyatukanku dengan pemuda yang sangat aku cintai itu.
Sore harinya, Rafael menelponku. Kami berbicara cukup lama di telepon. Senyum tak pernah luntur dari bibirku. Aku tak menyangka, bisa kembali sedekat ini dengannya. Walaupun aku belum bisa memiliki hatinya, tapi aku yakin, seiring berjalannya waktu aku akan menempati ruang hatinya.
Dua minggu berlalu. Aku tengah membuatkan jus jeruk untuk Rianti yang sedang duduk manis di ruang tamu. Sesaat kemudian aku menghampirinya. Ku lihat ia asyik bertelepon dengan seseorang. Hingga beberapa saat kemudian ia mematikan sambungan teleponnya.
"Ini jus nya"ujarku
"Trima kasih"Rianti
"Tita, kamu masih ingat kan untuk menemaniku ke pesta pertunangan sahabatku saat SMA?"Rianti
Aku mengangguk.
"Acaranya besok malam di Jalan Anugrah no.17 jam 18.00"Rianti
"Oh ya? Mendadak sekali?"kagetku
"Namanya Nadia. Sebenarnya dia sudah mengirimkan undangan untukku, tapi karena aku sudah pindah rumah, jadi aku tak menerimanya"Rianti
"Baiklah. Besok pukul 17.30 aku ke rumahmu"aku
Rianti mengangguk. Kemudian kami mulai mengerjakan tugas dari dosen yang harus dikumpulkan besok.
Hari berganti. Sejak pagi aku bingung mencari hand phoneku. Sepertinya aku lupa menaruhnya setelah belajar dengan Rianti kemarin. Aku berjalan cepat menuruni tangga rumahku karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.35. Aku harus segera sampai di rumah Rianti. Saat di depan pintu utama, ayah memanggilku.
"Tita, tadi siang ada yang mencari kamu. Dia bilang dia sudah menghubungimu sejak kemarin sore, tapi hand phone mu tidak aktif"terang ayah
"Oh ya? Siapa yah?"tanyaku
"Kalau tidak salah namanya Rafael"ayah
Hatiku sungguh senang mengetahui bahwa Rafael mencariku. Kira-kira apa yang ingin ia bicarakan hingga ia mencariku di rumah? Entahlah. Urusan Rafael, lebih baik aku pikirkan nanti. Sebab aku yakin kini Rianti sudah menungguku. Ditambah lagi, ia tak bisa menghubungiku. Aku segera berpamitan dan mencium punggung tangan ayah.
Pukul 18.15, aku dan Rianti sudah sampai di gedung tempat di selenggarakannya acara pertunangan Nadia, sahabat Rianti. Aku dan Rianti bersalaman dengan Nadia. Dia adalah gadis yang baik, cantik dan ramah menurutku. Rianti dan Nadia mulai bernostalgia tentang masa SMA mereka. Karena bosan, aku berpamitan untuk mengambil minum sebantar. Setelah mendapat anggukan dari Rianti, akupun pergi. Aku mengambil segelas minuman dingin. Tiba-tiba, seseorang mengagetkanku.
"Rafael?"kagetku
"Ngapain kamu disini? Jangan bilang kamu kenal Nadia juga ya?"tebakku
"Kenapa teleponmu tidak aktif sejak kemarin sore? Apa kamu tidak tahu, aku begitu pusing mencarimu"Rafael
Aku tersenyum tipis mendengar penuturannya.
"Ada apa?"tanyaku lembut
"Tita...ada yang harus aku bicarakan sama kamu"Rafael
Aku menoleh ke arah sekitar. Begitu ramai.
"Disini?"tanyaku memastikan
Rafael mengangguk mantap.
"Baiklah. Silahkan!"aku
Rafael terlihat kikuk. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Tapi aku tetap setia menanti ucapannya.
"Ak...aku...aku...."ucap Rafael gugup
"Kamu apa Raf?"tanyaku penasaran
"Rafael ayo! Sebentar lagi acaranya di mulai"ujar seorang wanita menarik Rafael untuk meninggalkanku
Dia adalah Amira, kakak Rafael.
Rianti menghampiriku dan menarik tanganku menuju tempat acara puncak di selenggarakan.
"Tibalah saat yang kita tunggu-tunggu. Kedua mempelai akan bertukar cincin, dan setelah ini mereka akan resmi bertunangan"ujar ayah Nadia
Terlihat seorang pria berjalan ke arah Nadia dan berdiri di sampingnya. Dia adalah Rafael. Tapi, untuk apa dia kesana? Ribuan pertanyaan hinggap di benakku.
"Wah...ganteng ya calon tunangan Nadia. Mereka sangat serasi"bisik Rianti di telinga kananku
"Tu..tunangan? Rafael?"lirihku
Rianti membolatkan matanya.
"Apa? Dia Rafael? Kamu yakin?"kaget Rianti menatapku serius
Aku tak menjawab pertanyaan Rianti. Sedetik kemudian aku rasakan sebuah tangan menggenggam tanganku. Dia adalah Rianti. Aku tahu, ia ingin mengurangi sakit yang aku rasakan kini.
Pandanganku beralih pada Rafael. Ia memasangkan cincin permata itu di jari manis Nadia. Sesaat kemudian, Nadia memasangkan cincin pasangannya ke jari manis Rafael. Mereka terlihat bahagia. Senyuman terus mengembang di bibir keduanya. Namun, tahukah mereka bahwa disini ada aku yang merasa sangat terluka? Aku tak sanggup melihat pria yang sangat aku cintai bersanding dengan orang lain. Apa penantianku selama lima tahun sia-sia? Apa tak ada sebuah harapan kecil untuk aku bisa mendapatkan cintanya? Ini begitu tak adil untukku. Aku sangat terluka. Bahkan setelah lima tahun aku setia menunggu. Ternyata ini yang membuat Rafael mencariku sejak kemarin. Ternyata ini yang membuatnya kaku saat berbicara denganku tadi. Aku berjalan cepat keluar dari gedung itu. Rianti mengejarku dan mengantarkan aku pulang.
Tiga tahun berlalu. Tahun lalu aku lulus dan berhasil meraih gelar S.Si. Sejak malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bangkit. Melupakan perasaanku pada Rafael. Kesibukanku sebagai tenaga medis juga membantu mempermudah untuk aku melupakan Rafael.
Waktu menunjukkan pukul 14.00. Aku melepas jas laboratorium kebanggaanku, dan segera bergegas pergi. Pukul 14.30 aku sampai di tempat tujuan. Terlihat seorang pria dengan koper berukuran besar melambaikan tangan kearahku. Dia berjalan cepat ke arahku, lalu memelukku.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu sangat merindukanku satu tahun ini?"tanyanya
"Biasa saja sih"jawabku jujur
"Oh iya...bagaimana dengan proyeknya?"tanyaku
"Sukses donk. Bulan depan aku akan mengajak orang tuaku untuk melamarmu"ujarnya enteng
"What? Tidak, Bis. Usiaku masih 23 tahun. Dan aku masih ingin menikmati masa muda ku"tolakku
Bis? Ya. Dia adalah Bisma. Sahabatku saat SMA. Beberapa hari setelah pertunangan Rafael dengan Nadia, Bisma mendatangiku dan berkata bahwa ia mencintaiku. Aku tak langsung menerimanya, karena memang saat itu aku tengah benar-benar terluka. Aku menerimanya satu tahun kemudian. Saat aku merasa mulai mencintainya. Pria yang selalu setia menungguku, bukan aku tunggu.
"Tidak. Aku tidak ingin memberi kesempatan bagi pria lain untuk menggodamu"Bisma
"Kamu memang suka berbuat seenaknya sendiri"keluhku
Bisma mencium puncak kepalaku, lalu merangkulku untuk berjalan berdampingan dengannya.
Saat apa yang aku tunggu kembali hanya untuk mengatakan perpisahan, saat apa yang aku harap dan yakini akan menjadi milikku selamanya itu pergi, aku mulai terbangun dan menemukan malaikat yang di kirimkan Tuhan untukku. Malaikat yang meraih tanganku untuk berjalan berdampingan dengannya menuju kebahagiaan. Malaikat yang akan selalu menjagaku, mencintaiku, dan menyayangiku. Dialah Bisma.