The Biggest Love
Ibu. Terbesitkah sosok
wanita itu dalam pikiranmu? Apa yang kamu pikirkan tentang sosoknya? Dialah
wanita terhebat yang telah mengandungmu selama sembilan bulan. Kemudian di satu
waktu ia mengorbankan seluruh tenaga, bahkan nyawanya untuk melahirkanmu. Namun
apakah kamu tahu, penderitaan yang ia rasakan serasa sirna setelah melihatmu
hadir di dunia ini. Ia tersenyum. Memelukmu penuh haru. Ia luangkan waktu
istirahat malamnya saat mendengar tangisanmu. Ia menimangmu, mendekapmu erat
agar kau kembali tenang dan tertidur.
Dulu aku terlahir
dengan berat dibawah normal (premature). Maklum saja, belum genap dua tahun
yang lalu ibuku mengalami pendarahan hebat, bahkan sampai keguguran. Saat
mengandungkupun, ibu mengalami banyak masalah karena kandungannya saat itu
memang lemah. Ibuku sangat hebat. Meski banyak sekali penderitaan yang beliau
alami saat mengandungku, beliau tetap sanggup mempertahankanku hingga lahir ke
dunia. Setelah lahir, aku diletakkan di inkubator selama berhari-hari. Ayahpun
hanya dapat mengadzaniku dari luar inkubator. Ibu bilang, dulu aku adalah bayi
terkecil dan paling merah di ruang bayi itu. Namun ketika aku menangis, semua
bayi ikut menangis karena suara tangisanku sangat keras, melebihi bayi-bayi
lain. Beberapa hari kemudian, aku boleh dibawa pulang. Namun sampainya di
rumahpun aku diletakkan di sebuah box lampu agar tetap hangat selama hampir
satu bulan.
Dua tahun berlalu. Tiba
waktunya bagi para laki-laki menunaikan shalat Jum'at di masjid. Ayah mengayuh
sepedanya mengarungi jalanan pedesaan yang cukup sepi. Aku menangis, merengek
untuk ikut dengannya. Tapi ibu melarang. Ibu menggendongku, namun aku terus
meronta. Setelah lepas dari gendongan ibu, aku berlari mengejar ayah. Namun ibu
tak menyerah untuk terus mengejarku. Aku masih berlari. Tak lama kemudian, aku
dihadang tetanggaku. Dia menggendongku dan memberikanku pada ibu. Aku menangis,
menyandarkan kepalaku dibahu ibu. Kemudian, wanita berhati lembut itu memeriksa
keningku. Ia mulai khawatir, karena keningku panas. Kemudian ia membelikanku
obat penurun panas di warung kecil dekat rumahku. Sampainya di rumah, aku
meminum obat itu. Ibu menidurkanku di tempat tidur.
Hujan turun dengan
lebatnya. Kadang, terdengar juga suara petir yang menyambar. Ibu meyetrika baju
didekat tempat tidurku. Mungkin ia sangat menghawatirkanku, makanya ia tak mau
meninggalkanku. Tiba-tiba, terdengar suara petir yang amat keras. Aku terkejut.
Namun entah apa yang aku rasakan saat itu. Aku seperti orang tidak sadar.
Tubuhku kejang, mataku melotot. Ibu mencabut setrikanya lalu menghampiriku.
Beliau mencoba membangunkanku. Namun hasilnya nihil. Wanita itu mulai
meneteskan air matanya. Berulang kali ia mengucap Istighfar. Hatinya sungguh
kacau. Diluar, hujan mengguyur dengan lebatnya. Suaminya pun belum kunjung
pulang dari masjid. Saat itu keluargaku masih belum punya telepon. Jarak
rumahku dengan tetanggapun lumayan jauh. Ibu hanya bisa memelukku, menangis,
dan memohon pertolongan Yang Maha Kuasa.
Tak lama kemudian ayah
pulang. Ibu berlari menghampiri ayah sambil terus menangis. Ayah dibuat iba
olehnya. Ayah terus bertanya, "Ada apa?" namun ibu tak kuasa
menjawabnya. Ibu menyeret tangan ayah untuk masuk kamar dan melihat keadaanku.
"Astaghfirullahal'azim"pekik ayah
Ayah menghampiri tubuhku yang kian memucat.
"Kita harus membawa Putri ke rumah sakit. Tapi
di luar hujan. Sedangkan rumah sakit itu jauh"bingung ibu
"Biar ayah cari pinjaman motor ya bu. Ibu jaga
Putri baik-baik!"ayah
Ibu mengangguk. Kemudian ibu kembali memelukku.
Ayah segera pergi untuk mencari pinjaman motor untuk
membawaku ke rumah sakit. Ayah rela menerobos derasnya hujan demi aku,
puterinya.
Beberapa saat kemudian
ayah kembali dengan motor tua milik tetangga. Ibu membopongku kemudian
membonceng ayah. Ibu memayungiku dengan jaket kesayangannya karena saat itu
hujan masih turun. Ayah mengendarai motor itu secepat mungkin, tak peduli akan
jalanan yang licin akibat hujan. Suara isak tangispun tak pernah berhenti dari
mulut kedua orang tuaku.
"Bagaimana keadaan anak kita bu? Dia masih
hidup kan? Dia masih bernapas kan?"tanya ayah
"Masih yah. Tapi cepat, kasihan dia pasti
kedinginan kita bawa hujan-hujanan seperti ini!"ibu
Ibu semakin panik saat melihatku yang semakin pucat.
Keadaanku saat itu benar-benar sangat buruk.
"Kita ke tempat bidan Ana saja yah! Ke rumah
sakit terlalu jauh. Ibu takut keadaan Putri malah akan semakin
memburuk"ibu
Ayahpun memutar haluan menuju rumah bidan Ana. Bidan
yang membantu persalinan ibu dulu.
Setelah sampai di
pekarangan rumah bidan Ana, ibu segera turun dari motor lalu berlari ke arah
teras. Ayahpun menyusulnya. Ayah mengetuk pintu beberapa kali hingga akhirnya
pintu itu di buka.
"Asraghfirullah, apa yang terjadi pak,
bu?"tanya bidan Ana
"Saya tidak tahu bu. Tolong selamatkan puteri
kami!"ayah
Bidan Ana mengangguk lalu mempersilahkan kedua orang
tuaku masuk. Cukup lama bidan Ana memeriksaku. Beliau juga memberiku
pertolongan pertama. Namun keadaanku masih sama saja.
"Lebih baik Putri dibawa ke rumah sakit bu,
pak. Sepertinya ini ada hubungannya dengan paru-parunya"bidan Ana
"Apa ibu tidak bisa mencobanya lagi? Jarak
rumah sakit masih cukup jauh bu. Kasihan Putri"ibu
"Dokter yang berwenang untuk khasus seperti
ini"bidan Ana
Tanpa banyak bicara, ibu kembali menggendongku.
Kedua orang tuaku kembali melanjutkan perjalanan.
Sampainya di rumah
sakit, aku segera di masukkan ke UGD. Suhu tubuhku pada saat itu adalah 39
derajat celcius. Ayah pamit pada ibu untuk memberi tahu nenek tentang
keadaanku. Kemudian, ayah pergi. Saat itu, di dalam UGD dipenuhi pasien
kecelakaan. Ibu sangat takut dengan hak tersebut. Maka, terpaksa beliau harus
menunggu di luar. Beberapa menit kemudian aku di pindahkan ke ruang rawat anak.
Ibu masih setia menemaniku. Air matanya masih terus membasahi pipinya.
Di hari selanjutnya,
keadaan menjadi lebih baik. Ibu dan ayah tak lagi menangis. Masih terpancar
kesedihan di wajah mereka. Namun setidaknya pipi mereka sudah tak dibanjiri air
mata lagi. Setiap hari mereka bergantian untuk menjagaku di rumah sakit. Di
saat siang, ibu yang menjagaku. Malam harinya, ayah yang menjagaku. Terkadang
juga kedua orang tuaku mengajak kakakku, Putra untuk menjengukku.
Dihari keempat aku
dirawat, aku mulai sadar. Mataku terbuka. Ibu, ayah dan nenekku mengucap syukur
pada Allah. Kedua orang tuaku menawarkan apa yang aku mau.
"Putri, kamu mau apa? Mau makan apa biar ayah
belikan"ayah
Aku menggeleng lemah.
"Bagaimana kalau ayah belikan bubur ayam? Kamu
pasti lapar kan?"ayah
Aku tak menjawab.
"Sudah ayah, belikan saja! Biar nanti ibu yang
suapi Putri nya"ibu
Ayah mengangguk lalu pergi mencarikan bubur ayam
untukku.
Ibu membelai rambut tipisku.
"Apa yang kamu rasakan sayang?"ibu
Aku menggeleng. Karena memang hanya itu yang aku
bisa.
Ibu menceritakan beberapa kisah lucu padaku hingga
ayah kembali. Ayah memindahkan bubur ayam itu ke piring lalu menyerahkannya
pada ibu. Ibupun mulai menyuapiku. Awalnya aku menggeleng. Namun ibu terus
merayuku. Ia memang pandai betul masalah itu. Tak ada seorangpun yang bisa
mengerti aku sejauh ibu.
Namun saat suapan
pertama, beberapa perawat datang untuk memberikan obat. Aku menangis histeris.
Aku takut dengan orang berseragam putih itu. Aku yakin, mereka membawa
jarum-jarum suntik yang tajam dan obat-obatan pahit untukku. Ibu memelukku dan
berusaha menenangkanku. Setelah meminum obat, ibu kembali menyuapiku hingga
bubur ayam yang ayah belikan itu habis tak bersisa. Setelah itu ibu menyuruhku
beristirahat.
Pukul 20.00, tubuhku
kembali mengejang. Kesadaranku kembali hilang. Kemudian ibu meminta rujukan ke
rumah sakit yang lebih maju. Pukul 21.00, aku dipindah ke rumah sakit terbaik
di kotaku dengan Ambulance. Aku ditempatkan di ruang anak kelas satu. Aku
mendapat perlakuan yang sangat baik disana. Namun, tubuhku dipasangi alat-alat
medis tambahan seperti oksigen dan yang lainnya, pertanda kalau keadaanku saat
itu benar-benar buruk. Ibu kembali meneteskan air matanya. Namun ayah berusaha
menguatkan ibu.
Beberapa hari di rawat
di rumah sakit terbaik ternyata tak berpengaruh banyak padaku. Pada intinya aku
tetap koma. Hingga di suatu malam dokter pernah menyarankan untuk melepas semua
alat bantu yang terpasang di tubuhku esok paginya. Namun dengan lantang ibu
menolak. Alat itu akan terus terpasang hingga aku sadar dan membaik. Pernyataan
dokter benar-benar membuat orang tuaku hancur. Empat tahun lalu, mereka
kehilangan puteri mereka yang masih bayi. Dan sekarang, nyawa puterinya kembali
di ambang kematian. Haruskan mereka merasakan kehilangan untuk kedua kalinya?
Ibu terus menangis di sisi tempat tidurku. Sedangkan ayah sedari tadi hanya
mondar-mandir tak jelas di ruang rawatku.
"Putri tidak butuh air mata kita. Yang ia
butuhkan saat ini adalah do'a"ujar nenekku
"Saya takut kehilangan Putri bu. Saya tidak mau
kehilangan puteri saya untuk kedua kalinya. Dia darah daging saya. Dia separuh
dari nyawa saya"ibu
"Ibu tahu. Tapi apa dengan kamu menangis Putri
akan sadar?"nenek
Ibu tak menjawab.
"Shalatlah! Do'akan dia! Saat ini dia sedang
sendirian di ambang kematian. Ajak dia kembali!"lanjut nenek
Ayah menyentuh lengan ibu. Ibu mengangguk. Kemudian,
nenek dan kedua orang tuaku segera ke mushola rumah sakit. Ibu, ayah dan nenek
shalat dan berdo'a dengan khusyu'. Panjang sekali do'a yang mereka lantunkan
demi kesembuhanku. Ibu masih terus menitihkan air matanya ditengah shalat dan
do'anya.
Setelah menunaikan shalat
dan do'a bersama, ibu, ayah dan nenek kembali ke ruanganku. Ibu kembali
teringat saran dokter untuk melepas semua alat medis ditubuhku jika sampai
besok pagi aku tak kunjung sadar. Lagi-lagi air matanya terjatuh. Beliau menyandarkan
punggungnya ke dinding. Ayah menepuk bahu ibu, terus berusaha menguatkan hati
wanita itu. Cukup lama mereka terdiam di ruangan itu. Hingga terdengar suara
adzan subuh yang menyadarkan mereka.
"Ayo kita shalat subuh dulu!"ajak ayah
"Kalian duluan saja!"ibu
"Ayolah bu, ingat Allah! Hanya Dia yang bisa
membantu kita. Allah adalah tempat terbaik untuk kita mengadu"ayah
Ibu terdiam.
"Kita do'akan Putri nanti setelah shalat. Aku
yakin Allah akan mendengar do'a kita. Allah pasti akan mengabulkan do'a
hambanya yang sedang dalam kesusahan"sambung nenek
Ibu mengangguk. Kemudian nenek menuntun ibu menuju
mushola yang sama seperti kemarin mereka shalat. Sedangkan ayah berjalan
dibelakang kedua wanita yang paling ia cintai itu.
Selesai shalat, mereka
segera kembali ke ruang rawatku. Ibu memincangkan matanya, lalu berjalan cepat
ke arahku. Mataku terbuka, meski semua terlihat buram. Ibu menangis haru lalu
memelukku sangat erat sambil berulang-ulang menyebut syukur pada Allah.
"Allhamdulillah Ya Allah. Kau kabulkan do'a
hambamu ini. Engkau kembalikan dia padaku"ujar ibu
"Cepat kamu panggil dokter!"suruh nenek
pada ayah
Ayah mengangguk lalu berlari keluar dari ruang
rawatku. Sesaat kemudian dokter datang untuk memeriksaku. Beberapa kali beliau
menggeleng tak percaya dengan keadaanku. Kemudian beliau menjelaskan tentang
keadaanku kepada kedua orang tuaku.
"Ini benar-benar mu'jizat pak, bu. Dalam waktu
satu malam, Putri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan sebelumnya
saya ragu jika dia mampu bertahan"terang dokter
"Dia puteri saya dok. Dia memang anak yang
hebat. Dia bukan anak biasa"imbuh ibuku dengan bangga
Pukul 10.00, alat medis
bantuan di sekujur tubuhku dilepas kecuali selang infus dan kateter. Namun
bukan berarti aku meninggal. Justru karena dokter bilang keadaanku sudah sangat
baik. Mungkin lusa aku sudah diperbolehkan pulang.
Ibu menyuapkan sesendok
nasi dan ayam bakar kesukaanku. Namun aku menggeleng dan malah menangis.
"Kita bawa Putri ke luar saja bu! Mungkin dia
bosan"saran ayah
Ibu setuju. Ayah menggendongku, sedangkan ibu membawakan
makanan dan mendorong infusku. Kami duduk di bangku taman rumah sakit. Aku
duduk di pangkuan ayah, sedang ibu mulai kembali menyuapiku. Tak henti-hentinya
mereka memberikan kenyamanan padaku. Mereka selalu memberikan yang terbaik
untukku.
Dua hari berlalu. Aku
sudah diijinkan keluar dari rumah sakit. Sampainya di rumah, aku di sambut
hangat oleh kakakku, Putra. Dia membelikan aku sebuah boneka. Dengan telaten,
keluargaku merawatku, kembali mengajariku berjalan. Karena memang, hampir
setengah bulan aku tidak berjalan, bahkan berdiri dengan kedua kakiku sendiripun
tidak. Tubuhku juga sangatlah kurus. Ayah bilang saat itu tubuhku seperti tak
ada dagingnya. Bahkan tulang-tulangkupun kelihatan menonjol. Namun ibu tak
tinggal diam. Beliau benar-benar mengatur pola makanku dengan baik. Aku diberi
makanan-makanan yang bergizi tinggi dan susu sampai terkadang aku merasa mual
karena kekenyangan. Setiap pagi ibu mengajakku jalan-jalan. Ibu mendorongku
yang duduk di sepeda roda tiga yang ayah belikan beberapa waktu lalu. Ibu juga
sering membelikan aku topi untuk aku pakai saat kami jalan-jalan.
Setahun selanjutnya,
aku di bawa ke Bekasi untuk menghadiri pernikahan sepupuku. Namun saat malam
menjelang acara utama, aku kembali jatuh sakit. Padahal semua orang tengah
sibuk menyiapkan acara akad nikah sepupuku. Kedua orang tuaku bingung harus
bagaimana. Karena mereka juga tidak tahu betul tentang daerah itu. Pagi
harinya, semua orang telah siap merayakan pernikahan sepupuku. Disaat
bersamaan, suhu tubuhku kembali naik. Kemudian ayah mencari kendaraan untuk
membawaku ke dokter. Dengan motor milik paman, ayah dan ibu membelah jalanan
Bekasi untuk mencari dokter. Mereka bertanya kesana-kemari pada orang-orang.
Hingga sampailah kami di rumah dinas seorang dokter spesialis anak. Dokter itu
segera memeriksaku. Dokter bilang aku harus menjalani rawat jalan karena
kondisiku kembali droup. Setelah dari dokter, ibu dan ayah kembali ke rumah
paman.
"Bagaimana keadaan Putri?"tanya pamanku
"Dis harus menjalani rawat jalan"ayah
"Sepertinya kami harus segera pulang mas,
mbak"ibuku
"Kenapa? Bukankah lusa kita ada acara keluarga
di Jakarta? Itu acaranya sangat penting loh"bibi
"Tapi keadaan Putri seperti ini. Di Jakarta
udaranya panas, kami takut Putri semakin tidak betah"ibu
"Percayalah, Putri tidak akan
kenapa-kenapa"bibi
Dengan sedikit paksaan,
pagi ini aku, ibu, ayah dan keluarga paman berangkat ke Jakarta. Pukul 13.00
kami sampai tempat tujuan. Ibu menidurkanku di ranjang milik bibi. Malam
harinya, kami di kerubungi nyamuk. Obat nyamuk yang dipasangpun tak menunjukkan
hasil apa-apa. Dengan telaten, ibu mengusir nyamuk itu dariku. Beliau
mengipas-kipaskan tangannya di atas tubuhku. Semalaman penuh ibu tak tidur
hanya untuk menjagaku dari gigitan nyamuk.
Entah apa yang dipikirkan
wanita itu. Apa yang membuatnya begitu mencintaiku? Aku bukanlah anak yang
cerdas, rajin, penurut. Aku nyaris tak pernah belajar. Tak heran jika aku belum
pernah masuk tiga besar di kelas. Aku suka menunda-nunda perintahnya dan
membuatnya kecewa. Aku sering membuatnya jengkel, ataupun malu. Namun wanita
itu tak pernah mengeluh. Wanita itu tetap menyayangi dan mengasihiku sepenuh
hatinya. Ibu selalu memberikan apa yang aku butuhkan. Dia selalu mendengarkan
ceritaku. Ia menenangkanku saat aku menangis. Dia yang mengantar-jemputku ke
sekolah. Dia tak hanya sebatas ibu bagiku. Namun bagiku wanita itu juga
berperan sebagai sahabat terbaik, kekasih dan juga guru kehidupanku.
Saat aku SMP, aku ikut kelompok
PKK. Jika disekolah aku praktik masak, pasti jatahku aku bawa pulang agar bisa
dicicipi ibuku. Namun aku rasa ibu gengsi untuk memuji masakanku. Beliau tak
pernah mengatakan bahwa makananku enak. Tapi beliau tetap menghabiskannya.
Aku ingat saat ulang
tahun ibuku yang ke-46. Aku membelikannya tas berwarna hitam. Tapi aku malu
untuk memberikannya langsung. Aku meletakkan kado itu di atas meja ruang tamu.
Lalu, aku duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Tak lama kemudian ibu
datang dan tanya kado siapa yang ada di ruang tamu.
"Put, itu kadonya siapa yang di atas
meja?"tanya ibu dengan polosnya
Kemudian ayah datang dan langsung duduk disampingku.
"Memang ini tanggal berapa sih?"tanyaku
"Memang tanggal berapa?"ayah melihat
kalender
"Tanggal 7. Ada yang ulang tahun ya?"tanya
ayah
Aku diam dan menahan tawaku. Sedangkan ibu dan ayah
masih terlihat serius memikirkan masalah kado itu. Setelah cukup lama, ibu
mulai buka mulut.
"Ulang tahunku. Ulang tahun ku yah"girang
ibu menepuk bahu ayah
"Selamat ulang tahun ya bu"ayah
"Selamat ulang tahun bu"aku
Dedetik kemudian ibu memelukku sangat erat. Padahal
jelas-jelas ukuran tubuhnya lebih dari dua kali lipat tubuhku. Aku sampai tak
bisa bernapas dibuatnya.
"Ibu...ibu aku nggak bisa napas"pekikku
Ibu melepas pelukannya lalu mencubit pipiku dengan
gemas.
"Aaaa....."teriakku kesakitan
Di hari penerimaan siswa
SMK ku, ibu memakai tas pemberianku. Aku sangat bangga. Setelah satu minggu tak
berjumpa karena jarak rumah dan sekolah yang cukup jauh, aku dapat kembali
bertemu dengannya. Ya. Untuk pertama kalinya aku jauh dari orang tuaku. Aku
tinggal di asrama yang jauh dari rumah. Namun aku selalu menyempatkan pulang
saat libur. Jujur aku tak tega meninggalkan kedua orang tuaku. Namun ini juga
demi masa depanku. Agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Padahal,
kakakku juga bertugas di luar kota. Kami pulang satu minggu sekali, saat Sabtu
dan Minggu. Keluargaku kembali berkumpul saat hari-hari libur. Setiap tidur di
rumah, aku selalu tidur dengan ibu. Ibu selalu memelukku. Saat pagi menjelang,
ibu tak pernah membangunkanku. Justru saat aku bangun sudah tersedia susu
hangat dan makanan di atas meja. Ibu sangat memanjakanku. Dia tak pernah
memintaku mengerjakan kegiatan berat. Namun juga aku sadar diri. Aku tetap
sering membantunya.
Harapan terbesarku
adalah bisa membalas jasa ibu dan ayah. Entah dengan apa, meskipun tak mungkin.
Tapi aku akan terus berusaha untuk membahagiakan, membanggakan dan membuat
mereka merasakan betapa bahagianya aku menjadi anak mereka. Tak hanya di dunia,
bahkan kelak di akhiratpun aku ingin membanggakan mereka. Aku ingin memakaikan
mahkota dari emas dan mutiara sebelum mereka melewati pintu surga. Maka dari
itu, ingin sekali aku menghafal Al-Qur'an bahkan mengamalkannya. Kedua orang
tuaku adalah sumber kekuatan dan semangat untukku. Tanpa do'a mereka, aku tak
akan pernah bertahan sejauh ini. Mungkin aku sudah meninggal saat sakit dulu.
Dan sampai saat inipun do'a mereka masih terus menyertaiku dimanapun aku
berada. Memang benar apa yang orang katakan, "Kasih ibu itu tak terhingga
sepanjang masa". Tak peduli seberapa besar kesalahan yang kita lakukan,
namun masih saja ada ruang untuk maaf dan kasih sayangnya.
Apa yang sudah kita
berikan pada ibu kita? Apa kita pernah membuatnya bangga? Atau malah kita
membuatnya kecewa? Siapa manusia paling berjasa dihidupmu selain ibu? Siapa manusia
di bumi ini yang mencintaimu lebih dari ibumu? Hanya dia yang memberimu cinta
yang lebih murni dari embun pagi, cinta yang tak akan pernah terbagi. Cinta yang
tak akan pernah hilang ataupun berkurang meski suatu saat ia sudah tak
disampingmu lagi. AJaga hati ibumu! Sayangi dan perhatikan wanita yang kini
mulai rentan itu! Buat dia bangga, dan jangan pernah kecewakan dia! Ingat jika
waktu kita terbatas. Tak selamanya kita bisa merasakan hangat pelukannya. Tak
selamanya kita bisa melihat senyum manisnya. Maka, jangan sia-siakan waktu yang
ada! :)