Jumat, 06 Mei 2016

Cerpen-Pelangi Setelah Badai





Pria itu terus melempar senyum ke arahku. Bisma. Namanya adalah Bisma. Dia adalah seorang lelaki yang ku kenal lebih dari sepuluh tahun lalu. Dan kini ia di hadapanku. Ia tersenyum ke arahku seakan mengisyaratkan kerinduan yang sangat mendalam.
Kembali ke masa lalu......
Dian Amira Putri. Nama itu terkesan sederhana. Namun sangat bermakna bagi kedua orang tuaku yang bermata pencaharian sebagai petani. Nama itu mereka berikan padaku. Di dalamnya terkadung harapan mereka terhadapku. Artinya, "Penerang dan Pemimpin dari Kaum Wanita". Karena mereka sangat ingin, aku akan menjadi orang hebat suatu saat nanti. Aku  akan menjadi seorang yang berarti bagi yang lain. Aku sangat menyukai arti nama itu.
Kembali pada Bisma. Dia adalah teman dekatku saat SMA. Awalnya kami tak saling mengenal. Hanya sebatas aku yang penasaran dengan sifatnya yang tenang, pendiam, dan terkesan tertutup.
Di suatu siang, aku duduk di bangku taman belakang yang cukup sepi. Tempat seperti inilah yang menjadi favoritku ketika membaca buku. Suasana tenang dapat membantuku mengumpulkan konsentrasi sehingga membuatku dapat menyerap ilmu secara maksimal dari bacaanku. Saat aku asyik membaca, seseorang datang. Dia duduk di sampingku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menoleh ke arahnya. Oh...ternyata dia Bisma.
Aku melanjutkan kembali bacaanku. Suasana tetap sama, senyap. Tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Bisma. Hingga lama kelamaan aku merasa aneh. Perlahan, aku menoleh ke arahnya. Tatapan mataku seolah bertanya, "ada apa?"
"Aku pengen cerita sama kamu"ujar Bisma
Belum sempat aku menjawab, ia kembali berkata,
"Selesaikan saja bacaanmu! Aku akan menunggu"
Perlahan, ku tutup buku bacaanku kemudian aku taruh di dalam tas.
"Kamu mau cerita apa?"tanyaku
Dia menatapku sendu. Sepertinya, ia tengah terhimpit masalah.
"Papaku mau menikah lagi. Padahal, mama pergi baru setahunan yang lalu"ujarnya lirih
Aku mengerutkan keningku. Bagaimana bisa, dia menceritakan hal seperti itu padaku? Bahkan kami tak pernah dekat sebelumnya.
Belum terjawab pertanyaan di otakku, ia kembali berkecerita. Tentang papanya, calon ibu tirinya, bahkan yang membuatku paling terhanyut adalah cerita mengenai mendiang ibunya.
Aku menepuk bahunya beberapa kali, seakan memberi semangat untuk tabah.
"Bis"panggilku
Ia kembali menoleh. Kali ini, aku melihat matanya yang memerah berkaca-kaca.
"Kenapa kamu cerita padaku? Kita bahkan tak dekat. Dan aku rasa aku tidak mempunyai jalan keluar untuk masalah kamu"ujarmu
Bisma tersenyum, kemudian berdiri.
"Karena aku percaya sama kamu. Kamu tidak akan membuat curhatanku tadi jadi bahan pergunjingan di sekolah"jawab Bisma
Jelas saja. Bisa apa aku? Aku hanyalah gadis cuek yang nyaris tak bisa bergaul. Dan aku bahkan tidak suka beradu gosip dengan teman-teman. Aku lebih suka membaca buku baik itu fiksi maupun non fiksi.
"Lagi pula, dengan sekedar bercerita denganmu tadi, bebabku sudah terasa banyak berkurang. Thanks ya"lanjutnya kemudian pergi begitu saja
Sejak hari itu, pandanganku terhadap Bisma berubah. Sikapnya padakupun berubah. Setidaknya kami sering pergi ke kantin bersama. Dia juga sering menjemputku ke sekolah. Ya. Mulai hari itu kami bersahabat.
Ujian Nasional telah kami lalui. Aku dan Bisma bersepeda menikmati liburan pasca ujian. Sampai di sebuah telaga, kami beristirahat. Bisma memberikan sebotol air mineral padaku.
"Dian"panggil Bisma
Aku menoleh ke arahnya.
"Aku bakal di terima di universitas itukan?"tanya Bisma
Aku mengangguk mantap.
"Ya. Harus. Dan aku juga harus di terima"jawabku
Bisma tersenyum.
Memang, aku dan Bisma mendaftar di universitas yang sama. Bahkan fakultasnya pun sama.
"Bis, kita akan selalu bersama kan? Kamu nggak akan pernah tinggalin aku walaupun kita nanti beda kuliahan kan?"tanyaku
Bisma menoleh ke arahku. Tanpa menjawab, ia mengacak-acak poniku.
"Aku serius Bisma"kesalku melihat tanggapannya
"Aku janji nggak bakal tinggalin kamu. Lagi pula, bagiku kamu adalah tempat sandaranku ketika beban-beban hidupku berdatangan"jawab Bisma meyakinkan
Ya. Aku yakin, kami akan selalu bersama. Aku dan Bisma, sahabat sejati. Tak hanya kamu Bisma, bagikupun, kamu adalah seseorang yang sangat berarti.
Alhamdulillah. Kami di terima di universitas yang sama. Dan Bisma tetap menjemputku ketika hendak ke kampus. Bahkan di bulan pertama masuk kuliah Bisma sering mentraktirku makan di kantin. Mungkin karena senangnya dia ketika uang jajannya di tambah.
Tapi aku tak dapat berbahagia sepenuhnya. Ya. Aku ingat, aku hanyalah putri seorang petani kecil pinggiran. Dan masa kuliah adalah masa dimana aku mengenal orang-orang dari berbagai golongan, khususnya golongan atas. Dan tak semua dari mereka mau bersahabat denganku. Kebanyakan dari mereka malah memusuhiku. Mereka memperlakukanku seperti hama yang harus di basmi.
Di suatu ketika, aku pernah di siram dengan air kamar mandi dan mereka hanya berkata,"Aku kira nggak ada orang disitu"
Tanpa meminta maaf sekalipun. Dan dari gelagatnya, aku yakin mereka sengaja. Aku juga pernah mendapati bangkuku yang rusak. Karena jam pelajaran akan segera di mulai, aku terpaksa tetap duduk disana. Dan ternyata, kursi itu patah.
"Belum bayar SPP ya, sampai kursi aja nggak dapat"ejek teman sekelasku
Dan aku merasa, teman-teman yang lain ikut menertawaiku. Aku merasa sangat malu. Bukan karena orang tuaku yang miskin. Melainkan dengan keadaanku yang lemah dan tak bisa membela diri. Namun apa daya, aku tidak boleh mencari masalah dengan mereka. Karena sekalinya mereka 'menggigit' nama orang tua mereka, aku dan keluargaku akan terkena masalah yang lebih besar.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku diserempet mobil mewah temanku hingga terjatuh ke got. Mereka keluar dari mobil. Namun jangan harap mereka membantuku. Mereka malah menertawaiku habis-habisan.
"Memang alam akan selalu mendukung jika kita menempatkan sesuatu pada tempat asalnya"ujar Sarah, teman yang menabrakku
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan amarahku. Sesabar apapun aku, namun hatiku cukup sesak mendengar ucapan Sarah.
"Tidak ada sejarahnya sampah di taruh berdampingan dengan emas. Sampah ya harus di musnahkan, paling tidak di buang jauh-jauh"sambung Meli, teman Sarah
Hatiku semakin sesak. Namun sebisa mungkin, aku tetap harus sabar. Aku berusaha pergi dari mereka. Tapi lagi-lagi Sarah mendorongku hingga masuk ke dalam got kembali.
"Sampah itu adalah kamu. Jadi lebih baik kamu menjauh dari aku dan teman-temanku! Karena sampah tiap hari akan semakin bau"ejek Sarah diiringi tawa teman-temannya
Beberapa kali aku mengucap istighfar. Berusaha sabar dengan setajam apapun ucapan Sarah.
"Kamu dengarkan? Dikasih tahu fungsi telinga kan sama orang tuamu? Atau jangan-jangan mereka juga nggak tahu lagi"lanjut Sarah
Okay. Dia mulai menjelek-jelekan orang tuaku. Bagaimana aku bisa terima?
Aku menatap Sarah remeh. Kini tak ada lagi ketakutan di hatiku terhadapnya. Tentang masalah apa yang akan ku terima nantinya, entahlah.
"Aku takut. Sangat takut. Aku tak bisa membayangkan jika suatu saat keadaan berbalik. Aku tidak akan tega melihat emas sepertimu berkubang di dalam got"ujarku enteng kemudian pergi
Aku tahu, Sarah dan teman-temannya mengumpat tak jelas setelah kepergianku.
Itulah awal masalahku. Benar saja, Sarah mengadukanku pada ayahnya yang merupakan donatur di kampusku. Sejak saat itu, aku sering menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Semakin hari aku semakin tak nyaman. Tapi, aku akan bertahan selama masih ada Bisma. Ya. Dia sahabat terbaikku. Dia adalah kekuatan yang ku miliki kini.
Beberapa waktu kemudian, aku baru sadar. Ternyata Bisma juga kian menjauhiku. Dia bahkan sudah tak pernah menjemputku ke kampus bersama. Aku pernah menghampirinya ketika di kantin. Namun ia seakan tak menyadari kehadiranku. Aku juga pernah duduk bersebelahan dengannya di perpustakaan, namun ia malah pergi begitu saja.
Setelah ku telusuri, ternyata kini Bisma tengah dekat dengan seorang gadis bernama Dhea. Dia juga merupakan anak donatur di kampusku. Berbeda dengan Sarah, dia lebih mandiri dan tidak suka aneh-aneh. Entah perasaan apa itu, namun hatiku tiba-tiba sesak jika melihat Bisma tengah bersama Dhea. Apakah karena aku merindukan sikap hangatnya dulu? Ataukah mungkin, aku telah menganggapnya lebih dari sekedar teman?
Masalah demi masalah selalu bermunculan. Kini tentang biaya kuliahku. Keluargaku menunggak biaya kuliah hingga aku mendapat teguran keras dari kampus. Aku sangat mengerti posisi orang tuaku. Aku tak dapat menyalahkan mereka sedikitpun. Bagaimanapun aku percaya, mereka telah melakukan yang terbaik untukku. Dan ‘usaha’ adalah hal yang lebih utama untuk dipertimbangkan daripada ‘hasil’
Ketakutan terbesarku datang setelah aku menyelesaikan tahun kedua kuliahku. Aku di keluarkan dari kampus. Ya. Masalahnya adalah biaya. Dan aku rasa, ada campur tangan pihak di dalamnya yang membuatku bisa dikeluarkan begitu saja. Orang tuaku selalu meminta maaf padaku karena masalah itu. Namun, apanya yang harus ku maafkan? Mereka telah berjuang keras. Dan ini bukanlah akhir. Tak ada usaha yang bernilai nol. Jika nilainya nol, berarti kamu belum berusaha. Dan jika kamu sudah berusaha tapi nilainya nol, berarti hal itu tidak baik untukmu. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untukmu?
Di hari terakhirku kuliah, aku bertemu dengan Bisma. Dia terlihat biasa saja. Bahkan, mengucapkan selamat tinggalpun tidak.
"Bisma"panggilku
"Rasanya baru kemarin kamu berkata tak akan meninggalkanku. Tapi akhir-akhir ini aku merasa...."ujarku terhenti
"Kamu menjauh"lanjutku
Dia tersenyum miring.
"Sadarlah dengan tempatmu! Kamu dan aku sangat jauh. Dan aku tidak mau terjatuh jika terlalu lama menunduk untuk menymaimu"ujar Bisma dengan angkuhnya
Dia benar-benar berubah. Mungkin faktor lingkungan pengaruh utamanya.
Hatiku benar-benar sakit mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Bisma. Bagiku, dia adalah sumber kekuatan yang ku miliki. Tak apa jika aku tak memiliki banyak harta, selama aku masih memiliki kepeduliannya terhadapku. Tapi sekarang? Semua harapanku seakan hilang. Mimpi-mimpiku serasa berterbangan kian jauh setelah mendengar kata-kata Bisma.
Setelah sebulan berdiam diri di rumah, aku mendapat panggilan sebagai asisten kesehatan di sebuah klinik. Awalnya aku ragu. Tapi mungkin, dengan ini aku bisa kembali ke bangku kuliah. Pekerjaan sebagai asisten kesehatan tak mudah memang. Kuncinya ada pada ketelatenan, keuletan, dan kesabaran. Namun aku cukup nyaman di lingkungan ini.
Satu tahun berlalu. Pemilik klinik tempatku bekerja mengirimku ke Amerika untuk kuliah disana. Dia bilang, aku pantas mendapatkannya.
"Kamu jujur, ulet, dan cerdas"pujinya
Entah terbuat dari apa hati beliau. Sehingga beliau mau menunduk dan mengambil sampah sepertiku untuk di daur ulang. Dan tentu saja, aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku segera pergi ke Amerika dan berkuliah di salah satu universitas ternama disana.
Enam tahun berikutnya, aku kembali ke tanah kelahiranku. Aku kembali mengenang masa-masa remajaku. Kini aku bukanlah sampah yang dipandang sebelah mata. Semua orang berlomba-lomba tersenyum padaku di sepanjang perjalanan. Hingga langkah kakiku berhenti ketika berhadapan dengannya. Bisma.
Enam tahun kemudian...........
Bisma tersenyum kemudian menjabat tanganku. Aku membalas senyumannya.
"Aku yakin kamu akan kembali menjadi seperti ini"ujar Bisma
"Bagaimanapun, berkat doa kamu juga"balasku
Kemudian ia mengajakku ke sebuah cafe tak jauh dari tempat kami bertemu. Dia menceritakan banyak hal padaku. Ya. Inilah Bisma sahabat terbaikku sepuluh tahun yang lalu. Dia telah kembali menjadi Bisma sahabatku. Dia sekarang juga sudah sukses dengan usahanya. Dia memiliki sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di daerah kami.
"Lalu bagaimana, kamu akan tinggal disini lagi kan?"tanya Bisma
Aku menggeleng.
"Aku kesini hanya untuk menjemput orang tuaku. Aku akan menetap di Amerika. Aku sudah merasa nyaman di sana. Selama enam tahun di sana, aku nyaris tak mempunyai masalah yang berat"jawabku
Terlihat sedikit kekecewaan di wajah Bisma.
"Tapi, kita tetap sahabat kan?"tanya Bisma
Aku menyeruput cappucinoku sebelum menjawabnya.
"Tentu"jawabku
Bisma tersenyum.
"Aku pergi dulu ya. Aku tak sabar ingin bertemu kedua orang tuaku"pamitku
Bisma mengangguk.
Aku melangkahkan kaki keluar dari cafe itu.
Di setiap tempat yang aku lewati kini, terkubur jutaan cerita yang akan menjadi guruku. Masa-masa kecil yang indah, masa SMA yang berwarna, bahkan dua tahun terberat di masa hidupku. Namun, aku sadar, ini bukanlah tempat terbaik untukku. Mungkin aku akan sering merasa sedih jika tinggal disini. Semua cerita itu cukup ku simpan saja agar tak menyebabkan luka.
Terutama tentang Bisma. Aku pernah sangat terluka karenanya. Dan aku tak ingin kembali ke masa-masa itu. Yang ingin ku ingat hanyalah Bisma, sebagai sahabat sejatiku.
Dan begitulah akhirnya terbentuk pelangi setelah badai besar. Pelangi itu adalah harapanku, dan badai itu adalah ujianku untuk dapat mencapai harapanku.