Pria itu terus melempar
senyum ke arahku. Bisma. Namanya adalah Bisma. Dia adalah seorang lelaki yang
ku kenal lebih dari sepuluh tahun lalu. Dan kini ia di hadapanku. Ia tersenyum
ke arahku seakan mengisyaratkan kerinduan yang sangat mendalam.
Kembali ke masa
lalu......
Dian Amira Putri. Nama
itu terkesan sederhana. Namun sangat bermakna bagi kedua orang tuaku yang
bermata pencaharian sebagai petani. Nama itu mereka berikan padaku. Di dalamnya
terkadung harapan mereka terhadapku. Artinya, "Penerang dan Pemimpin dari
Kaum Wanita". Karena mereka sangat ingin, aku akan menjadi orang hebat
suatu saat nanti. Aku akan menjadi
seorang yang berarti bagi yang lain. Aku sangat menyukai arti nama itu.
Kembali pada Bisma. Dia
adalah teman dekatku saat SMA. Awalnya kami tak saling mengenal. Hanya sebatas
aku yang penasaran dengan sifatnya yang tenang, pendiam, dan terkesan tertutup.
Di suatu siang, aku duduk
di bangku taman belakang yang cukup sepi. Tempat seperti inilah yang menjadi
favoritku ketika membaca buku. Suasana tenang dapat membantuku mengumpulkan
konsentrasi sehingga membuatku dapat menyerap ilmu secara maksimal dari
bacaanku. Saat aku asyik membaca, seseorang datang. Dia duduk di sampingku
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menoleh ke arahnya. Oh...ternyata dia
Bisma.
Aku melanjutkan kembali
bacaanku. Suasana tetap sama, senyap. Tak ada yang memulai pembicaraan antara
aku dan Bisma. Hingga lama kelamaan aku merasa aneh. Perlahan, aku menoleh ke
arahnya. Tatapan mataku seolah bertanya, "ada apa?"
"Aku pengen cerita sama kamu"ujar Bisma
Belum sempat aku menjawab, ia kembali berkata,
"Selesaikan saja bacaanmu! Aku akan
menunggu"
Perlahan, ku tutup buku bacaanku kemudian aku taruh
di dalam tas.
"Kamu mau cerita apa?"tanyaku
Dia menatapku sendu. Sepertinya, ia tengah terhimpit
masalah.
"Papaku mau menikah lagi. Padahal, mama pergi
baru setahunan yang lalu"ujarnya lirih
Aku mengerutkan keningku. Bagaimana bisa, dia
menceritakan hal seperti itu padaku? Bahkan kami tak pernah dekat sebelumnya.
Belum terjawab pertanyaan di otakku, ia kembali
berkecerita. Tentang papanya, calon ibu tirinya, bahkan yang membuatku paling
terhanyut adalah cerita mengenai mendiang ibunya.
Aku menepuk bahunya
beberapa kali, seakan memberi semangat untuk tabah.
"Bis"panggilku
Ia kembali menoleh. Kali ini, aku melihat matanya
yang memerah berkaca-kaca.
"Kenapa kamu cerita padaku? Kita bahkan tak
dekat. Dan aku rasa aku tidak mempunyai jalan keluar untuk masalah
kamu"ujarmu
Bisma tersenyum, kemudian berdiri.
"Karena aku percaya sama kamu. Kamu tidak akan
membuat curhatanku tadi jadi bahan pergunjingan di sekolah"jawab Bisma
Jelas saja. Bisa apa aku? Aku hanyalah gadis cuek
yang nyaris tak bisa bergaul. Dan aku bahkan tidak suka beradu gosip dengan
teman-teman. Aku lebih suka membaca buku baik itu fiksi maupun non fiksi.
"Lagi pula, dengan sekedar bercerita denganmu
tadi, bebabku sudah terasa banyak berkurang. Thanks ya"lanjutnya kemudian
pergi begitu saja
Sejak hari itu,
pandanganku terhadap Bisma berubah. Sikapnya padakupun berubah. Setidaknya kami
sering pergi ke kantin bersama. Dia juga sering menjemputku ke sekolah. Ya.
Mulai hari itu kami bersahabat.
Ujian Nasional telah
kami lalui. Aku dan Bisma bersepeda menikmati liburan pasca ujian. Sampai di
sebuah telaga, kami beristirahat. Bisma memberikan sebotol air mineral padaku.
"Dian"panggil Bisma
Aku menoleh ke arahnya.
"Aku bakal di terima di universitas
itukan?"tanya Bisma
Aku mengangguk mantap.
"Ya. Harus. Dan aku juga harus di
terima"jawabku
Bisma tersenyum.
Memang, aku dan Bisma mendaftar di universitas yang
sama. Bahkan fakultasnya pun sama.
"Bis, kita akan selalu bersama kan? Kamu nggak
akan pernah tinggalin aku walaupun kita nanti beda kuliahan kan?"tanyaku
Bisma menoleh ke arahku. Tanpa menjawab, ia
mengacak-acak poniku.
"Aku serius Bisma"kesalku melihat
tanggapannya
"Aku janji nggak bakal tinggalin kamu. Lagi
pula, bagiku kamu adalah tempat sandaranku ketika beban-beban hidupku
berdatangan"jawab Bisma meyakinkan
Ya. Aku yakin, kami akan selalu bersama. Aku dan
Bisma, sahabat sejati. Tak hanya kamu Bisma, bagikupun, kamu adalah seseorang
yang sangat berarti.
Alhamdulillah. Kami di
terima di universitas yang sama. Dan Bisma tetap menjemputku ketika hendak ke kampus.
Bahkan di bulan pertama masuk kuliah Bisma sering mentraktirku makan di kantin.
Mungkin karena senangnya dia ketika uang jajannya di tambah.
Tapi aku tak dapat
berbahagia sepenuhnya. Ya. Aku ingat, aku hanyalah putri seorang petani kecil
pinggiran. Dan masa kuliah adalah masa dimana aku mengenal orang-orang dari
berbagai golongan, khususnya golongan atas. Dan tak semua dari mereka mau
bersahabat denganku. Kebanyakan dari mereka malah memusuhiku. Mereka
memperlakukanku seperti hama yang harus di basmi.
Di suatu ketika, aku
pernah di siram dengan air kamar mandi dan mereka hanya berkata,"Aku kira
nggak ada orang disitu"
Tanpa meminta maaf sekalipun. Dan dari gelagatnya,
aku yakin mereka sengaja. Aku juga pernah mendapati bangkuku yang rusak. Karena
jam pelajaran akan segera di mulai, aku terpaksa tetap duduk disana. Dan
ternyata, kursi itu patah.
"Belum bayar SPP ya, sampai kursi aja nggak
dapat"ejek teman sekelasku
Dan aku merasa, teman-teman yang lain ikut
menertawaiku. Aku merasa sangat malu. Bukan karena orang tuaku yang miskin.
Melainkan dengan keadaanku yang lemah dan tak bisa membela diri. Namun apa
daya, aku tidak boleh mencari masalah dengan mereka. Karena sekalinya mereka
'menggigit' nama orang tua mereka, aku dan keluargaku akan terkena masalah yang
lebih besar.
Beberapa hari setelah
kejadian itu, aku diserempet mobil mewah temanku hingga terjatuh ke got. Mereka
keluar dari mobil. Namun jangan harap mereka membantuku. Mereka malah
menertawaiku habis-habisan.
"Memang alam akan selalu mendukung jika kita
menempatkan sesuatu pada tempat asalnya"ujar Sarah, teman yang menabrakku
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan
amarahku. Sesabar apapun aku, namun hatiku cukup sesak mendengar ucapan Sarah.
"Tidak ada sejarahnya sampah di taruh
berdampingan dengan emas. Sampah ya harus di musnahkan, paling tidak di buang
jauh-jauh"sambung Meli, teman Sarah
Hatiku semakin sesak.
Namun sebisa mungkin, aku tetap harus sabar. Aku berusaha pergi dari mereka.
Tapi lagi-lagi Sarah mendorongku hingga masuk ke dalam got kembali.
"Sampah itu adalah kamu. Jadi lebih baik kamu
menjauh dari aku dan teman-temanku! Karena sampah tiap hari akan semakin
bau"ejek Sarah diiringi tawa teman-temannya
Beberapa kali aku mengucap istighfar. Berusaha sabar
dengan setajam apapun ucapan Sarah.
"Kamu dengarkan? Dikasih tahu fungsi telinga kan
sama orang tuamu? Atau jangan-jangan mereka juga nggak tahu lagi"lanjut
Sarah
Okay. Dia mulai menjelek-jelekan orang tuaku.
Bagaimana aku bisa terima?
Aku menatap Sarah
remeh. Kini tak ada lagi ketakutan di hatiku terhadapnya. Tentang masalah apa
yang akan ku terima nantinya, entahlah.
"Aku takut. Sangat takut. Aku tak bisa
membayangkan jika suatu saat keadaan berbalik. Aku tidak akan tega melihat emas
sepertimu berkubang di dalam got"ujarku enteng kemudian pergi
Aku tahu, Sarah dan teman-temannya mengumpat tak
jelas setelah kepergianku.
Itulah awal masalahku.
Benar saja, Sarah mengadukanku pada ayahnya yang merupakan donatur di kampusku.
Sejak saat itu, aku sering menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Semakin hari
aku semakin tak nyaman. Tapi, aku akan bertahan selama masih ada Bisma. Ya. Dia
sahabat terbaikku. Dia adalah kekuatan yang ku miliki kini.
Beberapa waktu
kemudian, aku baru sadar. Ternyata Bisma juga kian menjauhiku. Dia bahkan sudah
tak pernah menjemputku ke kampus bersama. Aku pernah menghampirinya ketika di
kantin. Namun ia seakan tak menyadari kehadiranku. Aku juga pernah duduk
bersebelahan dengannya di perpustakaan, namun ia malah pergi begitu saja.
Setelah ku telusuri,
ternyata kini Bisma tengah dekat dengan seorang gadis bernama Dhea. Dia juga
merupakan anak donatur di kampusku. Berbeda dengan Sarah, dia lebih mandiri dan
tidak suka aneh-aneh. Entah perasaan apa itu, namun hatiku tiba-tiba sesak jika
melihat Bisma tengah bersama Dhea. Apakah karena aku merindukan sikap hangatnya
dulu? Ataukah mungkin, aku telah menganggapnya lebih dari sekedar teman?
Masalah demi masalah
selalu bermunculan. Kini tentang biaya kuliahku. Keluargaku menunggak biaya
kuliah hingga aku mendapat teguran keras dari kampus. Aku sangat mengerti
posisi orang tuaku. Aku tak dapat menyalahkan mereka sedikitpun. Bagaimanapun
aku percaya, mereka telah melakukan yang terbaik untukku. Dan ‘usaha’ adalah
hal yang lebih utama untuk dipertimbangkan daripada ‘hasil’
Ketakutan terbesarku
datang setelah aku menyelesaikan tahun kedua kuliahku. Aku di keluarkan dari
kampus. Ya. Masalahnya adalah biaya. Dan aku rasa, ada campur tangan pihak di
dalamnya yang membuatku bisa dikeluarkan begitu saja. Orang tuaku selalu meminta
maaf padaku karena masalah itu. Namun, apanya yang harus ku maafkan? Mereka
telah berjuang keras. Dan ini bukanlah akhir. Tak ada usaha yang bernilai nol.
Jika nilainya nol, berarti kamu belum berusaha. Dan jika kamu sudah berusaha
tapi nilainya nol, berarti hal itu tidak baik untukmu. Bukankah Allah lebih
mengetahui apa yang terbaik untukmu?
Di hari terakhirku
kuliah, aku bertemu dengan Bisma. Dia terlihat biasa saja. Bahkan, mengucapkan
selamat tinggalpun tidak.
"Bisma"panggilku
"Rasanya baru kemarin kamu berkata tak akan
meninggalkanku. Tapi akhir-akhir ini aku merasa...."ujarku terhenti
"Kamu menjauh"lanjutku
Dia tersenyum miring.
"Sadarlah dengan tempatmu! Kamu dan aku sangat
jauh. Dan aku tidak mau terjatuh jika terlalu lama menunduk untuk menymaimu"ujar
Bisma dengan angkuhnya
Dia benar-benar berubah. Mungkin faktor lingkungan
pengaruh utamanya.
Hatiku benar-benar
sakit mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Bisma. Bagiku, dia adalah
sumber kekuatan yang ku miliki. Tak apa jika aku tak memiliki banyak harta,
selama aku masih memiliki kepeduliannya terhadapku. Tapi sekarang? Semua
harapanku seakan hilang. Mimpi-mimpiku serasa berterbangan kian jauh setelah
mendengar kata-kata Bisma.
Setelah sebulan berdiam
diri di rumah, aku mendapat panggilan sebagai asisten kesehatan di sebuah
klinik. Awalnya aku ragu. Tapi mungkin, dengan ini aku bisa kembali ke bangku
kuliah. Pekerjaan sebagai asisten kesehatan tak mudah memang. Kuncinya ada pada
ketelatenan, keuletan, dan kesabaran. Namun aku cukup nyaman di lingkungan ini.
Satu tahun berlalu.
Pemilik klinik tempatku bekerja mengirimku ke Amerika untuk kuliah disana. Dia
bilang, aku pantas mendapatkannya.
"Kamu jujur, ulet, dan cerdas"pujinya
Entah terbuat dari apa hati beliau. Sehingga beliau
mau menunduk dan mengambil sampah sepertiku untuk di daur ulang. Dan tentu
saja, aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku segera pergi ke Amerika dan
berkuliah di salah satu universitas ternama disana.
Enam tahun berikutnya,
aku kembali ke tanah kelahiranku. Aku kembali mengenang masa-masa remajaku.
Kini aku bukanlah sampah yang dipandang sebelah mata. Semua orang
berlomba-lomba tersenyum padaku di sepanjang perjalanan. Hingga langkah kakiku
berhenti ketika berhadapan dengannya. Bisma.
Enam tahun kemudian...........
Bisma tersenyum
kemudian menjabat tanganku. Aku membalas senyumannya.
"Aku yakin kamu akan kembali menjadi seperti
ini"ujar Bisma
"Bagaimanapun, berkat doa kamu
juga"balasku
Kemudian ia mengajakku ke sebuah cafe tak jauh dari
tempat kami bertemu. Dia menceritakan banyak hal padaku. Ya. Inilah Bisma
sahabat terbaikku sepuluh tahun yang lalu. Dia telah kembali menjadi Bisma
sahabatku. Dia sekarang juga sudah sukses dengan usahanya. Dia memiliki sebuah
rumah sakit yang cukup terkenal di daerah kami.
"Lalu bagaimana, kamu akan tinggal disini lagi
kan?"tanya Bisma
Aku menggeleng.
"Aku kesini hanya untuk menjemput orang tuaku.
Aku akan menetap di Amerika. Aku sudah merasa nyaman di sana. Selama enam tahun
di sana, aku nyaris tak mempunyai masalah yang berat"jawabku
Terlihat sedikit kekecewaan di wajah Bisma.
"Tapi, kita tetap sahabat kan?"tanya Bisma
Aku menyeruput cappucinoku sebelum menjawabnya.
"Tentu"jawabku
Bisma tersenyum.
"Aku pergi dulu ya. Aku tak sabar ingin bertemu
kedua orang tuaku"pamitku
Bisma mengangguk.
Aku melangkahkan kaki keluar dari cafe itu.
Di setiap tempat yang
aku lewati kini, terkubur jutaan cerita yang akan menjadi guruku. Masa-masa
kecil yang indah, masa SMA yang berwarna, bahkan dua tahun terberat di masa
hidupku. Namun, aku sadar, ini bukanlah tempat terbaik untukku. Mungkin aku
akan sering merasa sedih jika tinggal disini. Semua cerita itu cukup ku simpan
saja agar tak menyebabkan luka.
Terutama tentang Bisma.
Aku pernah sangat terluka karenanya. Dan aku tak ingin kembali ke masa-masa
itu. Yang ingin ku ingat hanyalah Bisma, sebagai sahabat sejatiku.
Dan begitulah akhirnya
terbentuk pelangi setelah badai besar. Pelangi itu adalah harapanku, dan badai
itu adalah ujianku untuk dapat mencapai harapanku.