Selasa, 28 Juni 2016

Cerpen-Bukan Sekedar Mimpi



Bukan Sekedar Mimpi

Sudah lebih dari lima buku yang ku baca hari ini. Semuanya sama, berhubungan dengan "Kanker". Kanker apapun itu, sepertinya menarik bagiku. Bukan karena aku, atau orang yang ku cintai mengidap penyakit mematikan itu. Namun entah apa dan kenapa sehingga aku sangat tertarik untuk mempelajarinya.
Aku adalah siswi kelas 2 SMK. Aku mengambil salah satu cabang ilmu kesehatan untuk ku pelajari, yaitu Analis Kesehatan. Di perpustakaan sekolah tak cukup banyak buku yang membahas tentang kanker. Karena memang, hal-hal seperti itu terlalu rumit untuk di pelajari siswa bangku SMK. Namun, sedikit-sedikit aku juga dapat pelajaran tentang kanker. Terutama di mata pelajaran Immunologi dan Biologi.
Hampir setiap hari, aku membaca artikel tentang kanker yang hingga saat ini sulit disembuhkan. Banyak manusia yang meninggal karenanya. Faktornya, tak hanya berasal dari kebiasaan manusia tersebut. Namun juga bisa karena keturunan, atau bahkan paparan zat luar yang di tularkan orang di sekelilingnya, misal asap rokok. Tak adil memang, jika seseorang mengidap penyakit seperti itu karena kesalahan orang lain. Apalagi, jika korban itu merupakan orang yang baik hati dan cerdas.
Telah banyak film ataupun novel yang menggambarkan tentang penderitaan yang diakibatkan penyakit itu. "Surat Kecil Untuk Tuhan" misalnya. Film yang diangkat dari novel best seller karya Agnes Davonar itu mampu membuatku berderai air mata setiap melihatnya. Hingga kini, ku rasa aku sudah menontonnya lebih dari sepuluh kali. Tak ada rasa bosan yang menghinggapiku. Rasa simpatiku tehadap Keke, tokoh dalam cerita itu tak dapat ku gambarkan dengan kata-kata. Seorang gadis muda, cantik, pintar, baik hati dengan ribuan mimpi diangannya harus menghadapi musibah seberat itu. Bagiku itu sungguh tidak adil. Seharusnya ia dapat menggapai semua mimpinya dan menjadi seseorang yang hebat sekarang. Namun penyakit itu telah merenggut mimpi-mimpinya.
Bukan aku menyalahkan takdir. Memang, setiap orang memiliki jalannya sendiri-sendiri. Tapi bukankah kata "Kanker" itu sangat mengerikan? Tak bisakah aku menjadi seseorang yang dapat mengalahkannya dan menyelamatkan jutaan jiwa?
Aku pernah menonton kisah Terry Fox. Seorang pemuda Canada idaman para wanita yang kaya dan merupakan atlet basket di kampusnya. Pria itu mengidap kanker tulang yang mengharuskannya kehilangan setengah dari salah satu kakinya. Untung saja, ia tak patah semangat saat semua ujian itu tiba. Dan ketika ia bertemu dengan anak-anak yang senasib dengannya, hatinya tersentuh. Ia berpikir untuk membuat orang lain tak bernasip sama dengannya. Semua hartanya ia sumbangkan dalam sebuah penelitian untuk menemukan obat kanker. Karena dirasa kurang, ia melakukan marathon untuk mendapat simpati masyarakat Canada untuk ikut menyumbangkan dana. Namun sayang, di tengah perjalanan ia harus mengalah dengan penyakitnya. Kanker yang ia derita telah sampai di paru-parunya. Namun dana yang ia hasilkan dalam kegiatan itu tak sedikit jumlahnya. Ia berhasil. Meski ia tak sempat merasakan keberhasilannya, namun jutaan orang akan selalu mengingatnya atas kerja kerasnya itu.
Namun yang aku tahu, hingga kini kanker masih banyak menelan korban. Bahkan tak sedikit anak-anak yang mengidapnya. Ada dorongan di hatiku untuk menghentikan penderitaan mereka. Ada keinginan di hatiku untuk melanjutkan perjuangan Terry Fox. Tapi apakah aku bisa? Bahkan aku tak punya apapun. Yang ku tahu hanya terus mempelajarinya, bersekolah di jalurnya, dan mendapat kepercayaan orang-orang bahwa aku mampu menemukan obat untuk kanker.
Akhirnya, aku sampai di kelas terakhir pendidikan SMK ku. Ya, aku naik ke bangku kelas 3. Aku mulai mengikuti les mata pelajaran ujian, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dan Allhamdulillah, tak mengecewakan hasilnya. Meski tak sempurna, tapi aku tetap sangat mensyukurinya.
Kini waktunya bagiku mencari tempat kuliah. Yang ku tahu, Biomedik adalah salah satu program studi yang dapat membantuku untuk menemukan obat kanker. Tapi, hanya ada di strata dua dan tiga saja. Dan untuk melanjutkan kesana, aku harus masuk program strata satu yang berhubungan dekat dengan Biologi dan Kimia.
Biologi Murni? Sepertinya menarik. Dengan masuk Biologi pula, aku dapat mengejar ketertinggalan materiku dari anak-anak SMA IPA. Dan setelah itu, aku bisa melanjutkan studi ke strata dua Biomedik.
Aku mulai mendaftarkan diriku ke dua universitas negeri dengan jalur SBMPTN. Keduanya, aku mengambil program studi Biologi. Aku sudah yakin dengan pilihanku. Menurutku Biologi adalah cabang ilmu yang paling mampu membantuku untuk menjadi seorang Biomedik.
Jelang beberapa hari sebelum tes SBMPTN diadakan, aku mendapat kabar bahwa program strata satu Biologi dan program lain Fakultas MIPA hanya bisa diikuti oleh lulusan SMA IPA saja. Rasanya, aku benar-benar terjatuh. Aku tidak tahu, apa yang bisa ku lakukan. Kemudian aku mencari informasi tentang diploma empat Analis Kesehatan di wilayahku. Aku dapat informasi jika untuk masuk kesana, aku harus mengerjakan tes dengan materi anak SMA IPA pula.
Keluarga serta teman-temanku menyarankanku untuk mundur. Aku bisa saja kuliah di universitas swasta yang cukup baik di kotaku. Tapi, tidak di Biologi Murni. Mereka semua juga memintaku untuk mengganti impianku, bukan lagi untuk menjadi Biomedik. Jelas aku menolaknya. Bagiku, Biomedik bukan sekedar cita-cita. Biomedik adalah kekuatan dan sumber semangatku untuk terus melangkah. Lalu aku memutuskan untuk melanjutkan usahaku untuk masuk Biologi dan Analis Kesehatan.
Hari demi hari, ku lalui dengan tumpukan buku dan latihan soal SMA IPA milik tetanggaku. Rasanya sangat susah. Terlalu banyak materi yang asing bagiku. Di tambah lagi, aku sudah terlalu down untuk menyerap ilmu. Aku sudah terlanjur jatuh, kalah sebelum berperang. Aku tak yakin aku bisa melakukannya dengan baik. Bahkan disetiap aku menemukan soal yang susah, rasa sesak kembali menyelimutiku. Ketakutanku datang lagi dan membuatku seolah seperti orang hampir gila.
Hari dimana tes SBMPTN dilaksanakan telah datang. Aku berusaha mengerjakannya semaksimal mungkin. Aku tahu, syaratnyapun tak dapat ku penuhi. Materi ujianpun banyak yang tak dapat ku kuasai. Tapi yang ku tahu hanya terus berusaha mendapatkan mimpiku, Biomedik.
Beberapa hari kemudian, aku mengikuti tes masuk program diploma empat Analis Kesehatan. Sama halnya dengan tes SBMPTN, soalnyapun sangat sulit bagiku. Tapi aku tetap menyelesaikannya semampuku.
Setiap hari, aku berdoa agar ada keajaiban dan agar aku tak kehilangan mimpiku. Aku memohon pada Tuhan untuk mengabulkan mimpi besarku itu. Aku tahu, aku bukanlah orang yang cerdas, rajin, atau kaya. Aku hanya orang biasa, dengan kemampuan standar dan anak dari keluarga sederhana. Kekuatanku hanya niat, doa, dan keberanian untuk terus melangkah. Aku yakin, Tuhan akan membantuku dalam setiap langkahku ini.
Hasil tes yang ku ikuti beberapa minggu lalu telah keluar. Sayang, aku gagal di keduanya. Aku pulang dengan air mata yang terus menetes dipipiku. Sampainya di rumah, aku masuk ke dalam kamar dan meluapkan kekecewaanku. Inikah hasil yang harus ku terima? Apa aku kurang maksimal dalam berusaha? Lalu apa yang harus aku lakukan kini?
Seperti yang ku bilang, Biomedik bukan sekedar cita-cita bagiku. Aku tak mengejar dan tak peduli berapa penghasilanku kelak. Yang aku pedulikan hanya suatu saat aku bisa menemukan obat kanker. Banyak orang akan mempercayaiku dan membantuku jika aku mempunyai ilmu yang mumpuni dan gelar yang tinggi. Tapi nyatanya, aku telah kalah di langkah pertamaku.
Hampir seminggu, aku nyaris tak keluar dari kamarku. Selama itu aku keluar kamar hanya untuk sekedar mandi, wudhu, dan makan. Selebihnya, aku memilih mengurung diri di dalam kamar. Suatu hari, ibuku datang dan memberikan brosur universitas swasta yang tempo hati beliau sarankan. Aku hanya membacanya sekilas lalu menggeleng. Aku belum siap dengan kegagalan lagi. Aku masih terlalu takut untuk melangkah. Tapi ibu terus meyakinkanku jika aku mampu. Hingga aku memutuskan keluar dari kamarku.
Aku melangkahkan kakiku melewati deretan buku yang tertata rapi. Aku memilih beberapa referensi yang dapat ku pelajari untuk masuk universitas rekomendasi ibu. Setelah mendapat dua buah buku yang sesuai, aku pergi ke ruang membaca. Tak ada bangku kosong disana. Kemudian aku melihat pojok ruangan. Ada sebuah kursi kosong. Aku berjalan kesana, kemudian duduk dan mulai membaca bukuku.
"Mau masuk universitas ya?"tanya seseorang
Aku menoleh kemudian tersenyum ramah padanya
"Kenapa?"tanyanya
"Kenapa apanya?"tanyaku dengan bahasa tidak formal, karena ku rasa ia seumuran denganku
"Kenapa kamu nangis sampai mata kamu sembam seperti itu? Diputusin pacar ya? Atau...ditinggal pacarnya? Atau..."tebaknya terpotong
"Maaf. Bukan itu alasannya"potongku
Pria dihadapanku mengangguk ragu. Dia meletakkan buku bacaannya di meja, kemudian menatapku.
"Sepertinya saat ujian SBMPTN kemarin aku melihatmu"ujarnya
Huft...lagi-lagi aku harus mengingatnya. Moodku hilang begitu saja. Aku menutup buku bacaanku dengan kasar kemudian berdiri, hendak pergi.
"Tunggu! Apa aku salah lagi?"tanya pria itu
Dia menghampiriku. Dia menatapku yang hendak menangis.
"Aku, berbicara tidak sopan ya?"tanyanya ragu
Aku menggeleng.
"Tidak. Hanya saja seharusnya kamu tak membahas itu di hadapanku"ujarku lirih
Dari matanya, terpancar penyesalan yang mendalam. Ia memberikan sebuah sapu tangan untukku setelah kami berbincang cukup lama di taman.
"Kamu tidak gagal, hanya kurang beruntung saja. Lagi pula, Allah tidak pernah salah menentukan takdir seseorang. Jika kamu tidak di terima di universitas yang kamu mau, berarti itu bukan jalan kamu"ujarnya
Aku menghentikan tangisanku, kemudian menatapnya. Bisma. Namanya adalah Bisma. Dia memiliki mata yang indah dan senyum tipisnya meluluhkan.
"Masih banyak jalan untuk kamu bisa jadi Biomedik. Tugas kamu sekarang mencarinya"Bisma
Aku mengangguk paham.
"Makasih ya Bis, udah bikin aku baikan"ujarku
Bisma mengangguk. Kemudian Bisma mengajakku ke sebuah mini market. Ia membelikan ice cream coklat untukku.
"Dinginnya ice bisa mendinginkan otakmu dan membuatnya kembali rileks"ujarnya memberikan ice itu
"Dan rasa coklat bisa sedikit memperbaiki mood kamu yang hancur"lanjutnya
Aku tersenyum kemudian memakan ice cream coklat itu.
Hari itu, aku mendapat sahabat baru. Bisma. Dia mampu menenangkan hatiku. Membuat kekacauan di hatiku membaik. Dan aku tak perlu merasa kesepian lagi karenanya.
Satu tahun berlalu. Aku berhasil di terima di universitas swasta yang disarankan ibuku. Aku juga mulai menikmatinya. Lagi pula, ini sejalur dengan jurusanku saat SMK. Ya. Aku mengambil diploma empat Analis Kesehatan. Kurasa, dari Analis Kesehatan pun aku dapat melanjurkan cita-citaku sebagai Biomedik.
Siang ini aku dan Bisma bertemu di perpustakaan. Kami duduk di tempat pertama kali kami bertemu. Kami sama-sama asyik dengan bacaan masing-masing.
"Kamu sudah berubah dari Arini yang ku kenal saat pertama kali dulu"ujar Bisma
Aku tersenyum mendengarnya.
"Berubah gimana?"tanyaku
"Kamu Arini yang periang dan penuh semangat. Kalau dulu aku ragu kamu bisa jadi Biomedik. Tapi sekarang? Bagaimana bisa orang sepertimu gagal?"Bisma
"Berkat kamu juga Bis. Jangan terlalu menyanjungku! Nanti kalau aku terbang ketinggian sakit kalau jatuh"jawabku
"Tenang saja, aku selalu ada saat kamu jatuh. Dan sebisa mungkin, aku akan mengobati lukamu"Bisma
Lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum. Dia memang sahabat terbaik yang pernah ku miliki.
Di suatu sore, Bisma mengajakku bertemu di sebuah cafe. Dia memberiku sebuah buku tentang Kanker Darah atau Leukemia.
"Semoga bisa bantu kamu ya"Bisma
"Makasih Bis. Kamu memang bisa mengerti apa yang ku inginkan tanpa aku bilang. Dan kepedulianmu membuatku yakin jika aku tidak sendiri"ujarku
Kemudian kami meminum kopi yang tersedia.
"Ini juga buat kamu"Bisma
Aku membukanya.
"Wah...kue coklat. Kamu kok sering banget ngasih aku sesuatu yang berbau coklat? Kamu tahu saja jika aku suka coklat"aku
Bisma tersenyum manis padaku.
Bisma masih setia menungguku membaca. Aku duduk santai bersandar di pohon. Dan tentu saja, Bisma berada di sampingku. Sesaat kemudian, Bisma pamit padaku untuk pergi sebentar. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan bacaanku. Beberapa saat kemudian, Bisma datang membawa ice cream coklat untukku.
"Istirahatin dulu otak kamu!"suruh Bisma sembari kembali duduk di sampingku
Kami mulai memakan ice cream masing-masing.
"Sekarang, apa yang ada di pikiran kamu?"Bisma
Aku menatapnya bingung.
"Maksudnya?"aku
"Yang kamu pengen"Bisma
"Aku pengennya sih bisa lanjut S2 ke luar negeri"ujarku
Bisma menatapku. Matanya menatap dalam manik mataku.
"Kenapa? Kamu nggak harus nurutin itu kok. Kamu bantu dan menemaniku belajar saja sudah lebih dari cukup"lanjutku
Bisma tersenyum kemudian mengacak-acak poniku.
"Aku yakin kamu bisa"Bisma
Tiga tahun berlalu. Acara wisuda baru saja selesai ku lewati. Allhamdulillah, aku berhasil meraih peringkat dua. Kedua orang tuaku sangat bangga terhadapku. Ibu mengajakku segera pulang, tapi aku menolak.
"Sebentar Bu, Arini lagi nunggu temen"tolakku
Tapi karena didesak terus-menerus, akhirnya aku mau pulang. Di sepanjang perjalanan pulang mataku terus mencari sosok Bisma. Dia sudah berjanji untuk datang ke wisudaku. Tapi nyatanya ia tak juga datang.
Sekarang waktunya bagiku untuk mencari jenjang pendidikan lanjutan. Strata 2 Biomedik. Aku mulai mencari informasi tentang jurusan itu. Syarat-syaratpun mulai ku kumpulkan. Tak hanya itu, aku juga harus mencari kerja. Tak mungkin aku menyia-nyiakan gelar sarjana ini begitu saja. Bagaimanapun, aku juga ingin segera membahagiakan kedua orang tuaku.
Tiga hari pasca wisudaku, Bisma mengajakku bertemu di sebuah cafe. Awalnya aku menolak karena hari ini aku akan mendaftarkan diri di suatu Perguruan Tinggi Negeri. Tapi Bisma mendesakku. Lagi pula, aku juga sangat merindukan sahabatku itu. Aku bisa seperti ini juga karena dia. Kemudian, aku menerima ajakannya.
Hampir setengah jam aku menunggu, Bisma tak kunjung datang. Awalnya aku berniat untuk pulang. Tapi tiba-tiba Bisma datang. Ia meminta maaf padaku karena datang terlambat.
"Ada apa?"tanyaku
"Ini, kado atas kelulusan kamu"Bisma memberiku bingkisan
Aku mengerutkan keningku, bingung dengan tingkah anehnya. Sementara ia masih terus tersenyum padaku.
"Kemana kamu waktu aku wisuda? Katanya mau datang. Tapi, nyatanya kamu tidak ada"kesalku
Senyum tipisnya pudar melihat kekecewaanku.
"Maaf deh soal itu. Yang penting, sekarang kamu buka dulu ya kadonya!"suruh Bisma halus
Aku menghela napas berat. Aku begitu penasaran, apa isi bingkisan ini.
"Buruan! Aku yakin kamu bakal suka"ujar Bisma
Perlahan, aku membukanya. Isinya sebuah coklat besar berbentuk hati dan bingkai foto yang masih kosong. Lagi-lagi, aku mengerutkan keningku.
"Itu di dalam masih ada lagi"Bisma
Kemudian tanganku meraih sebuah amplop besar dan membukanya. Mataku membolat sempurna. Aku sungguh tak percaya dengan isi amplop itu.
"Bagaimana bisa? Ini palsu ya?"tanyaku
Bisma tertawa.
"Itu asli, Arini. Setahun lalu aku dapat info kalau ada beasiswa di universitas itu. Dan aku coba daftarin kamu. Dan Allhamdulillah hasilnya..."terang Bisma terpotong karena aku sudah lebih dulu memeluknya erat
Ia pun membalas pelukanku sembari terus tersenyum.
"Terima kasih Bis. Kamu memang sahabatku yang paling baik"ujarku
Bisma hanya membalasnya dengan anggukan.
Hadiah dari Bisma adalah kado terindah untukku. Aku di terima di salah satu universitas terbaik di Singapura, program studi Biomedik. Dia selalu saja tahu apa mauku, dan selalu berusaha mendapatkannya. Padahal, kami kenal baru empat tahun terakhir. Apa mungkin dia menyukaiku? Yang ku tahu, dia adalah tempat ternyaman untukku. Dia adalah orang yang paling mengerti aku. Tapi untuk cinta, aku ragu jika memilikinya.
Satu hari menjelang keberangkatanku ke Singapura, Bisma menemuiku di cafe. Aku tersenyum menyambutnya.
"Arini, aku datang karena besok aku tidak bisa mengantarmu. Aku harus daftar kuliah juga"Bisma
"Padahal, aku pengen kenalin kamu ke orang tua ku"ujarku
Dia tersenyum.
"Oh iya. Aku mau kasih alasan, kenapa aku kasih kamu bingkai kosong"Bisma
Aku menatapnya serius seolah menunggu ucapannya.
"Saat aku ulang tahun yang ke-9, adikku memberikan bingkai foto itu. Dia membuatnya sendiri untukku. Dia bilang, bingkai itu hanya boleh diisi fotoku dengan orang yang paling aku sayang"terang Bisma
"Tapi kenapa kamu kasih bingkai itu padaku? Bagaimana jika adik kamu marah?"bingungku
Bisma tersenyum manis.
"Kamu kan tahu, aku tidak suka foto. Jadi aku berikan saja padamu. Aku juga minta ke kamu, buat isi bingkai itu dengan fotomu dan orang yang paling kamu sayang. Terserah, mau foto dengan orang tuamu, sahabatmu, suamimu kelak, atau saudaramu. Adikku sangat baik. Dia tidak mungkin marah aku memberikannya padamu. Dia akan mengerti"Bisma
"Sahabat terbaikku adalah kamu. Kamu tidak suka foto. Terus, aku anak tunggal, nggak punya saudara"bingungku
Bisma kembali tersenyum dan mengacak-acak poniku.
"Kamu mirip sekali dengan adikku"ujarnya
Beberapa saat kemudian, Bisma naik ke atas panggung dia memainkan jarinya di atas piano antik itu. Kemudian, ia mulai bernyanyi,
There's A Place, InYour Heart And I Know That It Is Love
And This Place, Could Be Much Brighter Than Tomorrow
And If You, Really Try You'll Find There's No Need To Cry
In This Place, You'll Feel There's No Hurt Or Sorrow

There Are Ways To Get There
If You Care Enough For The Living
Make A Little Space
Make A Better Place...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

If You Want, To Know Why
There's A Love That Cannot Lie
Love Is Strong, It Only Cares For Joyful Giving

If We Try, We Shall See
In This Bliss We Cannot Feel
Fear Or Dread We Stop Existing And Start Living

Then It Feels That Always
Love's Enough For Us Growing
So Make A Better World
Make A Better World...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

And The Dream We Were Conceived In Will Reveal A Joyful Face
And The World We Once Believed In Will Shine Again In Grace
Then Why Do We Keep Strangling Life Wound This Earth Crucify Its Soul
Though It's Plain To See This World Is Heavenly Be God's Glow

We Could Fly, So High Let Our Spirits Never Die
In My Heart, I Feel You Are All My Brothers
Create A World With No Fear Together We'll Cry Happy Tears
See The Nations Turn Their Swords Into Plowshares

We Could Really Get There
If You Cared Enough For The Living
Make A Little Space
To Make A Better Place...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

Lagu Michael Jackson, Heal The World. Bisma menyanyikannya dengan sangat sempurna. Semua orang bertepuk tangan untuknya. Kemudian ia kembali ke hadapanku.
"Cita-citamu adalah membuat dunia menjadi lebih baik. Aku akan selalu mendukungmu. Dan aku percaya kamu bisa. Yang harus kamu lakukan adalah menjadi Arini yang selalu ceria dan penuh semangat. Jangan biarkan kegagalan menjatuhkanmu lagi!"ujar Bisma
Aku tersenyum dan mengangguk.
Dua tahun berlalu. Aku pulang tepat di hari ulang tahunku yang ke 24. Aku sudah berjanji dengan Bisma untuk bertemu dengannya sore ini. Setelah beristirahat beberapa jam di rumah, aku segera pergi ke taman tempatku belajar bersama Bisma bertahun-tahun lalu.
Tak ku sangka. Impianku terwujud. Aku telah berhasil menyabet gelas Master Science di salah satu universitas terbaik di Singapura. Dan dua bulan lagi, aku harus berangkat ke Canada untuk bekerja disana. Ya. Di pusat penelitian kanker di Canada. Bagiku, ini adalah awal perjuangan baruku.
Saat dalam perjalanan menemui Bisma, mobilku mengalami kecelakaan. Aku pun tak sadarkan diri. Dalam mimpiku, terlintas sosok pria kecil yang sepertinya sangat familiyar bagiku. Aku dan dia tengah berada di taman. Ia menenangkan aku yang tengah menangis.
"Nanti kakak bantu bilang ke ibu ya, biar kamu sekolah di tempat kakak"ujarnya
"Tapi kakak janji ya! Arini nggak mau jauh-jauh dari kakak"balasku
Anak itu menautkan kelingkingnya denganku.
Kemudian bayangan lain datang. Saat itu usiaku 9 tahun. Ayah baru saja menjemputku dari sekolah. Kemudian aku mendengar tangisan dari kamar atas. Aku berlari kesana. Dan terlihat ibu yang tengah menangis di samping tubuh kaku kakakku. Aku mendekat dan menangis di samping ibu. Setelah pemakaman kakak, aku menjadi pendiam. Hanya kakak yang selalu bisa membuatku tersenyum. Bagiku, kakak adalah malaikat yang di kirim Tuhan untuk selalu membuatku bahagia. Tanpanya, jiwaku serasa hilang. Hingga suatu hari, aku berlari keluar rumah karena frustasinya. Aku ingin bertemu dengan kakakku. Hingga tanpa sadar, sebuah mobil menabrakku hingga terpental. Aku hilang ingatan sejak saat itu. Dan dengan kesempatan itu, orang tuaku membuang semua foto dan kenanganku bersama kakak, agar aku tak lagi larut dalam duka.
Saat aku sadar, aku melihat kedua orang tuaku disisiku. Aku menangis begitu saja.
"Aku kangen kakak"lirihku
Kedua orang tuaku terkejut. Mungkin aneh bagi mereka jika aku mengingat semuanya setelah 15 tahun aku lupa. Tapi bayangan itu, sosok itu kini kembali. Aku dapat kembali mengingatnya. Dan kini, aku sangat merindukannya.
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit. Dokter mengizinkanku pulang. Sore itu juga, aku pergi ke taman tempat janjianku dengan Bisma. Terlihat Bisma membelakangiku. Aku berlari ke arahnya kemudian memeluknya.
"Arini?"kagetnya
"Aku kangen kakak. Kenapa selama ini kakak hanya diam dan membiarkanku seperti orang bodoh?"tanyaku
Ya. Dia adalah Bisma, kakakku. Kak Bisma meninggal saat usianya 12 tahun karena mengidap Leukemia. Mungkin itu sebabnya aku sangat ingin menemukan obat kanker. Walau aku sempat lupa dengannya, tapi luka di hatiku yang bicara dan menuntunku ke jalan ini.
Pria itu melepaskan pelukanku. Ia berbalik ke arahku dan menghapus air mataku dengan jemarinya.
"Adik udah ingat semua?"tanyanya
Aku mengangguk pasti.
"Jangan lagi menyiksa kakak dengan keterpurukanmu! Kamu harus jadi Arini yang ceria dan penuh semangat. Selangkah lagi, mimpimu terwujud"ujar kak Bisma
Aku mengangguk.
"Allah memberi waktu kakak untuk bertemu denganmu, untuk menguatkanmu dan mengembalikan senyumanmu. Dan, kakak berhasil. Kakak sangat senang"lanjutnya
Aku kembali memeluknya erat.
"Jangan tinggalin Arini lagi! Arini sayang kak Bisma"lirihku
Kak Bisma membalas pelukanku.
"Kamu selalu tahu kalau kakak menyayangimu bukan?"tanyanya
Aku terdiam, kemudian ia kembali melepas pelukannya.
"Mulai dari sini, kamu akan melangkah sendirian. Kakak tidak bisa membantumu lagi. Tapi kamu harus percaya kalau hati kakak ada sama kamu meski kamu tidak dapat melihat kakak"kak Bisma
Ia masih terus tersenyum padaku.
"Terima kasih kak. Aku percaya kakak tidak akan meninggalkanku walaupun hanya sedetik saja"ujarku
"Pasti"balasnya
Sedikit demi sedikit, bayangnya hilang. Tanganku tak dapat lagi menggenggam tangannya. Hingga mataku yang dapat lagi melihat senyumnya.
Dua bulan berlalu. Pagi ini aku berangkat ke Canada untuk melanjutkan cita-citaku. Ada sebuah barang yang tak mungkin lupa ku bawa. Bingkai foto yang ku buat belasan tahun lalu. Kini bingkai itu tak lagi kosong. Ada fotoku dengan kak Bisma waktu kami masih kecil disana. Ya. Orang itu adalah kak Bisma. Dia adalah orang yang paling mengerti aku, orang yang paling berharga untukku. Aku yakin, saat ini dia masih setia disisiku. Hanya saja, aku yang tak bisa melihatnya.

Rabu, 01 Juni 2016

Cerpen-Kekasih Kedua



Kekasih Kedua

Sampai juga gadis itu di tempat tujuannya. Ibu Kota Jakarta, dimana sahabatnya tinggal. Rafael. Pria itu kini bekerja di sebuah perusahaan besar warisan kakeknya. Dia harus pergi dari tanah kelahirannya, Bali saat usia 18 tahun. Dan setelah enam tahun berlalu, kini Dinar berusaha menemukan sahabatnya itu.
Dinar pergi ke alamat Rafael yang diberikan oleh ibu Rafael yang kini masih berada di Bali. Siang itu, kediaman Rafael terlihat sepi. Perlahan, Dinar mengetuk pintu rumah itu, namun tak ada jawaban. Dia juga beberapa kali memencet bel rumah itu. Tapi ternyata tak ada orang di dalam. Kemudian, Dinar berbalik badan, hendak pergi. Namun di lihatnya sosok perempuan cantik di hadapannya.
Dinar memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Gadis itu begitu modis, cantik dan terlihat cerdas.
"Kamu siapa?"tanya gadis itu
"Aku Dinar. Aku cari Rafael. Ini rumah Rafael kan?"tanya Dinar hati-hati
"Iya ini rumah Rafael. Tapi dia lagi pergi. Aku aja di suruh nunggu disini"ujar gadis itu
"Oh iya, kenalin aku Marina pacar Rafael"lanjutnya
Dinar menyambut uluran tangannya.
Pacar? Apakah benar gadis ini kekasih Rafael? Enam tahun lalu, Rafael berkata jika ia menyukai Dinar. Dia bilang ingin menikahi Dinar setelah nanti ia berhasil mempunyai jabatan di perusahaan kakeknya. Tapi ternyata, sekarang semua telah berubah. Dan maksud Dinar datang ke Jakarta sebenarnya adalah untuk memberi jawaban atas permintaan Rafael dahulu. Namun sepertinya semua sia-sia.
Gadis bernama Marina itu mengajak Dinar masuk dan duduk di ruang tamu. Dia juga membawakan minum untuk Dinar.
"Oh iya. Kamu ada hubungan apa sama Rafael?"tanya Marina
"Ap..apa?"kaget Dinar gelagapan
"Aku belum pernah bertemu kamu sebelumnya. Dan Rafaelpun tak bernah menceritakan tentangmu"Marina
"Ak..aku Dinar. Aku sahabat Rafael saat masih di Bali"jawab Dinar
Marina tersenyum.
"Wah...kamu datang jauh-jauh dari Bali hanya untuk Rafael? Pasti dulu kalian dekat sekali ya?"Marina
Dinar mengangguk ragu.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki dari belakang Dinar.
"Sayang kamu sudah sampai?"tanya orang itu
"Hay Raf!"ujar Marina
Perlahan Dinar menengok ke arah suara pria itu.
Detik berikutnya, Dinar berdiri karena saking terkejutnya. Pria itupun ikut terkejut melihat keberadaan Dinar di rumahnya. Dia adalah Rafael.
"Hay Raf!"sapa Dinar kikuk
" Dinar!"kaget Rafael
Ia menoleh ke arah Dinar dan Marina secara bergantian. Bagaimanapun ia ingat akan janjinya terhadap Dinar enam tahun silam. Tapi sekarang, dia juga sudah punya Marina disisinya.
Setelah cukup lama berbincang dengan Rafael dan Marina, Dinar pamit pulang.
"Tunggu! Kamu mau pulang kemana?"tanya Rafael
Oh iya. Benar saja. Dinar tak punya tempat tinggal di Jakarta. Dan satu-satunya orang yang ia kenal disini hanyalah Rafael.
"Aku bisa sewa apartemen"ujar Dinar
"Kamu mau cari apartemen sendirian?"tanya Rafael yang tak rela jika Dinar pergi begitu saja
Dinar mengangguk ragu. Bahkan sebenarnya ia tak tahu daerah Jakarta. Yang ia tahu hanya untuk segera pergi sebelum ia menyerah menahan air matanya itu.
"Biar aku antar kamu"Rafael
"Tidak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kan banyak taxi"tolak Dinar
"Tidak apa, Dinar. Kamu sudah jauh-jauh pergi ke Jakarta untuk bertemu Rafael kan? Berarti kalian sangat dekat. Dan wajar jika Rafael mengantarmu mencari apartemen"sambung Marina
Akhirnya Dinar menyerah. Ia menerima tawaran Rafael.
Suasana di dalam mobil sangat hening. Tak ada pembicaraan antara Dinar dan Rafael. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang ingin Dinar sampaikan, namun sepertinya ia tak mampu mendengar jawaban-jawaban yang akan terlontar dari mulut Rafael.
"Kamu tadi bicara apa saja dengan Marina?"tanya Rafael tiba-tiba
Dinar menoleh ke arah Rafael. Namun Rafael masih enggan menatap balik gadis itu.
"Nggak banyak. Cuma kenalan aja"jawab Dinar kemudian kembali menatap ke luar jendela
Setelah cukup lama berkutat dengan jalanan ibu kota, akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen.
"Sampai sini saja Raf. Terima kasih atas tumpangannya"ujar Dinar kemudian turun dari mobil Rafael
Ketika Dinar hendak melangkah, seseorang menahan tangannya. Tentu saja itu adalah Rafael.
"Untuk apa kamu kesini? Kapan kamu sampai? Kenapa tidak memberi tahu aku dulu?"tanya Rafael bertubi-tubi
Dinar enggan menjawab.
"Apa kabar kamu? Bagaimana kehidupanmu setelah aku pergi? Apakah kamu sudah memiliki cowok lain?"tanya Rafael kian lirih
Jangankan menjawab, menatap Rafaelpun Dinar tidak mau.
"Aku berharap, kamu datang kesini untukku. Untuk mengingatkan janjiku enam tahun silam. Dan aku berharap kamu kesini untuk memberi tahuku jika kamu mau menikah denganku. Aku mencintaimu Dinar"lanjut Rafael sembari memeluk Dinar dari belakang
Dinar tak sanggup lagi menahan air matanya. Ingin rasanya ia berbalik dan membalas pelukan Rafael. Pria yang sangat dicintainya. Tapi, sekarang semua telah berbeda. Ada Marina di tengah-tengah mereka. Marina adalah kekasih Rafael. Dan bagaimanapun, dia adalah gadis yang cantik dan sangat sempurna. Dinar tak akan mampu menyakitinya.
"Maaf Raf, aku nggak bisa sama kamu"jawab Dinar
Rafael melepas pelukannya lalu memutar tubuh Dinar agar menghadap ke arahnya.
"Aku nggak cinta sama kamu. Aku kesini karena aku kangen sama kamu. Kangen sebagai sahabat, nggak lebih"dusta Dinar
Rafael menggelengkan kepala. Apa yang dilihatnya kini membuatnya yakin jika Dinar juga mencintainya. Ucapan Dinar hanyalah bualan semata.
"Aku tahu Dinar, kamu cinta sama aku. Mata kamu tidak akan pernah bisa membohongiku. Kamu juga mencintaiku, sama seperti aku mencintaimu"ujar Rafael kemudian menarik Dinar ke dalam dekapannya
"Aku nggak bisa Raf, kamu sudah menjadi milik Marina" Dinar
"Aku punya alasan kenapa aku bersama dengan Marina. Beri waktu aku buat buktiin kalau aku cinta sama kamu Din!"Rafael
Dinar menggeleng.
"Nggak Raf. Kamu sama saja memintaku untuk menjadi selingkuhan kamu"tolak Dinar sembari melepas pelukan Rafael
Sebenarnya sulit. Ia sangat takut jika ia akan benar-benar kehilangan Rafael. Ia sangat mencintai Rafael. Sudah cukup lama ia memendam perasaannya karena jarak yang ada. Dan kini, setelah pria itu ada di hadapannya, akankah ia akan kehilangannya? Dinar tak akan sanggup kehilangannya.
"Tidak Dinar, aku tidak memintamu menjadi selingkuhanku. Aku ingin kamu jadi kekasih keduaku untuk sementara. Tapi aku janji, aku akan segera menikahimu. Hanya kamu yang aku cintai, Dinar "Rafael
"Kalau memang kamu cinta sama aku, kenapa kamu pacaran sama Marina? Kamu seolah-olah sudah melupakan janjimu enam tahun lalu Raf. Dan sekarang, apa aku harus mempercayaimu lagi? Nggak Raf, aku nggak mau"teriak Dinar
Rafael menahan tangan Dinar yang hendak meninggalkannya. Air matanyapun telah berjatuhan. Ia bersimpuh di kaki Dinar.
"Aku mohon Din, beri aku kesempatan sekali lagi! Aku nggak mau kehilangan kamu"Rafael
Hati Dinar membimbing Dinar untuk membantu Rafael berdiri. Kemudian Dinar menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.
"Hanya sekali Raf. Dan aku minta kamu akan menepati janjimu kali ini"lirih Dinar
Rafael mengangguk dan membalas pelukan Dinar.
Dinar tahu, jawabannya itu akan menyakiti Marina. Dinar juga tahu, tak seharusnya ia menyakiti gadis sebaik Marina. Tapi tak bolehkah jika ia sedikit egois dalam hal ini? Bagaimanapun, cintanya terhadap Rafael sungguh besar, begitupun sebaliknya. Dan Dinar juga tak akan melepas Rafael karena ia tahu, lebahagiaan Rafael hanyalah dirinya.
Satu bulan telah berlalu. Dinar duduk di sebuah kursi cafe tempat ia janjian dengan Rafael. Memang, sejak ia resmi menjadi kekasih kedua Rafael, mereka selalu makan siang bersama. Rafael selalu meluangkan waktu makan siangnya untuk di habiskan bersama Dinar, gadis yang paling di cintainya. Bahkan ia sering mengabaikan Marina, kekasihnya yang pertama. Dan sampai saat inipun, Marina belum tahu jika Rafael dan Dinar berpacaran di belakangnya.
Akhirnya sampai juga Rafael di hadapan Dinar. Mereka duduk berhadapan. Pria itu terus melempar senyum pada gadis cantik di hadapannya itu.
"Ini buat kamu"ujar Rafael memberikan buket mawar merah pada Dinar
"Makasih ya Raf"jawab Dinar setelah menerima buket itu
Mereka berbincang cukup lama, hingga seseorang mengagetkan mereka.
"Hey Raf!"sapa seorang gadis yang membuat Rafael segera melepas genggaman tangannya pada Dinar
"Novia?"kaget Rafael
Gadis yang di panggil Novia itu menatap sinis Dinar.
"Dia siapa Raf?"tanya Novia
Dinar menghela napas panjang. Ia tahu pasti, Rafael tak akan mengakuinya sebagai seorang kekasih. Memang begitulah nasib kekasih kedua.
"Dia pacarku. Namanya Dinar "jawab Rafael dengan santai
Dinar dan Novia membolatkan matanya. Dinar terkejut dengan pengakuan Rafael. Ia sangat takut jika fakta itu akan sampai ke telinga Marina. Sedangkan Novia terkejut karena yang ia tahu Rafael adalah kekasih Marina, teman SMA nya.
"Kamu putus sama Marina?"Novia
Rafael menggeleng. Kemudian ia kembali menggenggam tangan Dinar. Dinar yang masih terkejutpun hanya bisa pasrah.
" Dinar pacar keduaku. Tapi aku cinta sama dia"jawab Rafael kemudian mencium punggung tangan Dinar
"Kamu tega banget sih sama Marina? Kamu tahu kan, Marina nggak main-main sama perasaannya ke kamu Raf. Dia bener-bener cinta sama kamu"marah Novia
"Tapi aku cintanya cuma sama Dinar. Aku sangat mencintai Dinar. Nggak ada sedikitpun ruang di hati aku buat Marina. Dan aku berhak mendapat kebahagiaanku"balas Rafael
Novia hanya menggelengkan kepala lalu pergi dari hadapan temannya itu.
Hari mulai gelap. Rafael dan Dinar baru saja sampai di apartemen Dinar. Sedari tadi Dinar nampak gelisah. Rafael yang terlihat cuekpun sebenarnya menyadari perasaan gadis yang dicintainya itu.
"Ada apa sih?"tanya Rafael halus
"Raf, kamu kok bisa ngakuin aku kayak tadi sih? Gimana kalau Marina tahu?" Dinar
Tangan Rafael terangkat untuk menyentuh bahu kanan Dinar. Ia menepuknya pelan berkali-kali.
"Aku nggak mau kamu sakit kalau sampai aku nggak ngakuin kamu. Apapun resikonya, aku bakal tanggung asal kamu nggak sedih"Rafael
Dinar memeluk Rafael erat.
"Aku sayang banget Raf sama kamu. Jangan tinggalin aku lagi ya!" Dinar
"Iya sayang, aku janji"Rafael melepas pelukan Dinar
"Kamu yakin, nggak mau dinner sama aku malam ini?"tanya Rafael
Sebab, ini pertama kalinya Dinar menolak ajakan makan malamnya.
Dinar mengangguk mantab.
"Marina juga kangen makan malam sama kamu Raf"jawab Dinar tulus
"Sayang, aku bakal tolak ajakan makan malam Marina kok kalau kamu mau"Rafael
"Tidak perlu Raf. Nggak papa kok. Bagaimanapun, Marina juga pacar kamu. Kita juga harus menghargainya" Dinar
Rafael tersenyum lalu membelai rambung panjang Dinar.
Waktu menunjukan pukul 18.30. Kali ini Rafael tengah menikmati makan malam bersama kekasihnya, Marina. Ini makan malam pertama bagi mereka setelah kedatangan Dinar. Sebab, Rafael selalu menolak ajakan makan malam Marina meski ia punya waktu. Setiap waktunya kosong, Rafael memilih makan bersama Dinar dan mengabaikan Marina yang selalu menunggunya. Tapi ini semua juga bukan kesalahan Rafael. Ia berpacaran dengan Marina bukan karena cinta. Dari awal, semua terjadi karena keterpaksaan. Rafael hanya menganggap Marina sebagai teman, tidak pernah lebih dari itu.
"Kamu suka kan Raf?"tanya Marina
Rafael mengangguk sembari terus mengunyah makanannya.
"Raf, tahun depan, kita jadi nikah kan?"tanya Marina
"Aduh, maaf ya Rin, kerjaan aku di kantor lagi banyak. Banyak client di dari luar negeri juga datang. Jadi lain kali saja kita bahas itu, kalau kerjaanku lagi nggak begitu padet"Rafael
Marina menerawang bola mata pria yang ia cintai itu. Sikapnya akhir-akhir ini berubah.
"Kamu nggak lagi nyembunyiin apa-apa kan Raf, dari aku?"tanya Marina
"Nyembunyiin apa? Ya nggak lah. Ada-ada aja kamu"balas Rafael tembari tertawa kecil
Di suatu siang, Marina datang ke kantor Rafael. Ia membawakan bekal makan siang untuk Rafael. Karena memang, jika ia mengajaknya makan di luarpun, ia akan menolak dengan alasan sibuk.
"Hay Raf, ini aku bawain kamu bakal. Kita makan bareng ya!"ajak Marina
"Aduh Rin, maaf banget ya, aku ada janji sama client"dusta Rafael
"Tapi ini aku masak sendiri loh Raf. Sebentar aja ya!"desak Marina
"Huft..."Rafael menghela napas panjang kemudian mengangguk
Bagaimanapun, Marina sudah susah-susah memasak untuknya. Dia harus menghargainya.
Waktu menunjukan pukul 13.30. Rafael terus berlari hingga sampai di depan pintu cafe tempatnya janjian dengan Dinar. Ia berhenti sembari mengatur napasnya. Kemudian, matanya menyipit melihat dengan seksama gadisnya itu tengah berbincang dengan seorang pria yang membelakanginya. Dinar terlihat nyaman berbincang dengan pria itu hingga membuat hati Rafael panas. Rafael berjalan cepat menuju tempat pria itu lalu menariknya dengan kasar untuk berdiri.
"Siapa loe?"tanya Rafael dengan nada tinggi
"Rafael!"kaget Dinar yang ikut berdiri
Rafael sempat menengok ke arah Dinar sebelum akhirnya kembali menatap tajam pria di hadapannya.
"Gue tanya, loe siapa?"teriak Rafael
"Aku Morgan, teman kuliahnya Dinar "ujar pria itu memperkenalkan diri
Rafael semakin geram melihat ekspresi datar pria itu. Ia mencengkram erat krah pria itu dengan penuh emosi.
"Sorry, ada apa ya? Aku ada salah apa?"bingung Morgan mendapat perlakuan kasar dari Rafael
"Salah loe karena berani ngedeketin cewek gue"jawab Rafael penuh penekanan
Dinar menghampiri kekasihnya itu lalu menyentuh lengannya.
"Raf, lepasin Raf! Kamu apaan sih?"kesal Dinar
Namun Rafael tak menghiraukan Dinar.
"Raf! Malu di lihat orang"lanjut Dinar
Namun sepertinya emosi Rafael sudah naik ke ubun-ubun. Ia sama sekali tak mendengarkan ucapan kekasihnya itu.
"Rafael lepasin! Kamu jangan malu-maluin dong!"paksa Dinar sembari melepaskan tangan Rafael dari Morgan dengan paksa
Dinar menarik Rafael agar menghadap ke arahnya.
"Kamu apaan sih? Berlebihan banget tahu nggak?"kesal Dinar
"Kamu bilang berlebihan? Aku cuma nggak mau dia ngerayu kamu. Kamu itu pacar aku, Dinar "jawab Rafael dengan nada kesal pula
"Em...sorry sebelumnya. Tapi aku nggak ngerayu Dinar. Aku cuma..."ucap Morgan terputus
"Diam loe!"teriak Rafael menunjuk muka Morgan
"Rafael!"pekik Dinar kemudian menarik Rafael untuk pergi
Kini Rafael dan Dinar telah sampai di parkiran. Mereka berdiri di samping mobil Rafael. Keduanya masih menunjukan ekspresi kesalnya.
"Kamu ngapain sih ngomong sama cowok nggak jelas kayak tadi?"kesal Rafael
"Dia bukan cowok nggak jelas Raf. Dia Morgan, temen kuliahku"jawab Dinar
"Tapi nggak perlu sedekat itu! Dia tu mau ngedeketin kamu tahu nggak?"Rafael
"Cemburu kamu berlebihan Raf. Orang aku sama Morgan cuma ngobrolin hal biasa kok. Dan kamu tu nggak seharusnya bertindak seperti tadi. Aku nggak suka"kesal Dinar
"Oh...jadi seperti apa yang kamu suka? Seperti cowok tadi?"Rafael
"Raf...ah, terserah lah kamu mau ngomong apa juga"ujar Dinar pada akhirnya
Dinar memutuskan untuk pergi dari hadapan Rafael.
Rasa takut hadir di hati Rafael. Pikiran negatifpun mulai bermunculan di otaknya. Ia segera menyusul Dinar dan menahannya agar tidak pergi.
"Apa lagi?"tanya Dinar
Rafael menatap sendu kekasihnya itu. Detik berikutnya, Dinar telah berada dalam pelukan hangat Rafael.
"Maaf. Maafin aku"lirih Rafael
Dinar hendak melepas pelukan itu. Namun ternyata tak bisa.
"Please jangan pergi! Aku memang salah. Aku minta maaf. Tapi please jangan tinggalin aku, Din!"ujar Rafael
Akhirnya, Dinar membalas pelukan pria itu. Ia tersenyum tipis melihat tingkah kekasihnya itu.
Hari Minggu tiba. Rafael dan Dinar tengah menikmati hari libur mereka di sebuah tempat wisata. Setelah lama berkeliling, mereka beristirahat di sebuah ayunan yang teduh.
"Tunangan yuk!"ajak Rafael tiba-tiba
Dinar tertawa lebar mendengar ajakan Rafael. Itu candaan yang cukup lucu bagi Dinar.
"Kok ketawa? Aku serius. Ayo kita tunangan!"Rafael
Tawa Dinar berhenti begitu saja. Sebenarnya, ia senang, akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulut Rafael.
"Nggak ah. Orang kamu masih pacaran sama Marina. Harusnya kamu tunangannya sama Marina, pacar utama kamu"ujar Dinar setengah bercanda
"Bagus aku baru ngajak tunangan. Malah ngeledek lagi. Aku ajak nikah sekarang mau?"ancam Rafael
"Serius tahu. Kan kalau orang punya pacar dua, yang di ajak tunangan tu ya pacar yang pertama. Masak yang kedua sih?" Dinar
Sebenarnya hati Dinar sesak saat mengucapkan kata-kata itu. Namun ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Okey, aku akan ajak pacar pertamaku tunangan. Aku akan segera telfon Marina"ujar Rafael pasti
Seketika, wajah Dinar memucat. Akankah ini menjadi perpisahannya dengan Rafael? Bagaimanapun, Rafael tak pernah main-main dengan ucapannya. Tapi, ia juga belum siap jika harus kehilangan pria itu.
"Aku serius aku akan ajak Marina tunangan"ulang Rafael
Dinar masih terdiam. Karena memang hanya itu yang dapat ia lakukan.
"Asal kamu nikah sama aku sebelum pertunangan itu terlaksana"lanjut Rafael
Seketika, mata Dinar berkaca-kaca mendengar penuturan Rafael. Rafael yang melihatnya pun menjadi kebingungan.
"Hey, kok sedih sih? Kamu kenapa?"tanya Rafael khawatir
Dinar memeluk Rafael begitu erat. Rafael pun membalas pelukan kekasihnya itu.
"Aku bercanda kok. Aku tetap akan menunggu kamu sampai kamu siap. Aku nggak akan paksa kamu kok"ujar Rafael penuh rasa bersalah
"Kamu jahat tahu nggak Raf"lirih Dinar
"Maaf ya, maaf. Jangan nangis gini dong!"Rafael
"Aku kira kamu mau ninggalin aku. Aku takut Raf"lirih Dinar yang membuat hati Rafael tenang
Rafael tersenyum, kemudian melepas pelukannya.
"Aku sudah janji nggak akan ninggalin kamu kan? Aku juga sudah janji akan nikahin kamu. Aku nggak akan ngingkarin janji itu Dinar"ujar Rafael menghapus air mata Dinar
Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Rafael kembali membuka pembicaraan.
"Kamu mau tahu alasan aku pacaran sama Marina?"tanya Rafael
Dinar tersenyum.
"Kalau itu rahasia, aku nggak perlu tahu Raf" Dinar
"Kamu perlu tahu. Aku nggak mau kamu salah paham sama hubunganku dengan Marina"Rafael
Rafael menarik napas panjang, lalu menghembuskannya.
"Dua tahun lalu, Marina mengidap tumor otak. Dia sangat down. Dia sempat mencoba bunuh diri. Dan papanya meminta tolong padaku untuk menghiburnya. Dan akhirnya, dia malah jatuh cinta padaku"terang Rafael
"Kan dia yang cinta kamu. Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu punya aku?"tanya Dinar
" Marina pernah koma karena tidak mau di operasi karena resikonya tinggi. Dokterpun sudah memfonis usia Marina tak akan lebih dari tiga bulan. Kemudian ayahnya menyuruhku untuk membahagiakan dia di saat-saat terakhirnya"Rafael
"Tapi nggak harus dengan pacaran kan?"tanya Dinar
"Waktu itu Marina benar-benar down. Dia harus di operasi. Tapi dia tetap tidak mau. Akhirnya aku mendesaknya. Kemudian ia mau, dengan syarat aku akan segera menikahinya. Tak ada pilihan lain, akupun menerima permintaan itu. Tapi aku minta waktu tiga tahun padanya"Rafael
Dinar mulai mengerti. Namun otaknya terus berpikir dan menemukan sesuatu yang janggal.
"Waktu tiga tahun itu, bukankah tinggal tahun depan?"tanya Dinar
Rafael mengangguk.
Dinar mengalihkan pandangannya. Ia berusaha menahan air matanya.
"Tapi itu tidak akan terjadi. Aku hanya akan menikah denganmu"Rafael
"Raf, kamu sudah berjanji pada Marina"Rara
"Lalu kenapa? Aku sudah berjanji lebih dulu denganmu. Dan yang aku cintai adalah kamu"Rafael
Dua bulan berlalu. Dinar tengah berada di rumah Rafael. Mereka asyik berbincang dan bercanda. Kemudian, Marina datang. Ia duduk di samping Rafael.
"Raf, lihat deh! Ini undangan pernikahan kita. Kamu mau pilih yang mana?"tanya Marina
Senyum Rafael dan Dinar luntur begitu saja. Ingin rasanya Rafael memeluk Dinar saat itu juga. Namun sepertinya tak mungkin.
"Raf, pilih dong! Kita nggak bisa mengulur waktu lagi. Kata ayah, kita akan segera berangkat ke Bali untuk meminta restu orang tua kamu. Dan ayah minta kita segera menikah sebelum ayah pindah ke Singapura enam bulan lagi"Marina
Rafael masih terdiam. Matanya tak pernah berpaling dari Dinar.
"Dinar, kalau menurut kamu bagus yang mana?"tanya Marina
"Hah? Em...yang itu bagus"Dinar menunjuk undangan bersampul dua cincin yang saling mengikat
Rafael kesal dengan respon Dinar terhadap pertanyaan Marina. Menurutnya, itu sama saja Dinar mengizinkannya menikah dengan Marina. Dengan kesal, Rafael menarik tangan Dinar untuk pergi. Marina hanya melihatnya dengan penuh tanda tanya. Ia mulai ragu dengan perasaan Rafael terhadapnya.
Rafael dan Dinar telah sampai di sebuah taman yang dekat dengan rumah Rafael. Rafael melepas pegangan tangannya pada tangan Dinar.
"Kamu ngizinin aku menikah dengan Marina?"tanya Rafael
Dinar mengangguk ragu.
"Apa?"kaget Rafael
"Kamu jangan bercanda deh Din! Pernikahan bukan mainan. Aku cuma akan menikah dengan kamu. Nggak lucu tahu nggak sikap kamu tadi"kesal Rafael
"Aku nggak bercanda kok Raf. Aku serius"jawab Dinar dengan berat hati
Rafael mengacak-acak rambutnya.
"Okey, sekarang kita ke tempat Marina. Aku akan jelasin semuanya ke dia. Dan setelah itu kita urus pernikahan kita"ujar Rafael kemudian menarik tangan Dinar
Dinar menghempas kasar tangan Rafael. Rafaelpun melihatnya bingung.
"Lanjutin hidup kamu dengan Marina Raf! Kamu sudah janji sama dia!"lirih Dinar sembari meneteskan air mata
Sesaat kemudian, Dinar melangkah pergi. Namun dengan segera Rafael memeluknya dari belakang.
"Kamu sudah janji nggak akan tinggalin aku, Din! Kita akan terus bersama. Biarkan aku menyelesaikan hubunganku dengan Marina sekarang agar aku tidak kehilanganmu lagi"Rafael
Dinar melepaskan pelukan Rafael.
"Bukan Marina yang harus pergi. Tapi aku Raf. Aku cuma pengganggu dalam hubungan kalian. Tak peduli seberapa besar cinta kita, biarkan aku yang mengalah! Jangan biarkan gadis sebaik Marina kecewa! Dia sangat mencintai kamu" Dinar
"Dinar, please! Aku cuma cinta sama kamu. Please jangan seperti ini!"Rafael
Dinar mengangguk.
"Lusa aku akan berangkat ke London. Aku mendapat beasiswa S2 disana. Dan sepertinya aku akan menetap disana. Aku sudah membuat keputusan yang tak mudah Raf, jangan buat aku kembali bimbang!" Dinar
"Tapi Din..."ucap Rafael terpotong
"Aku yakin kamu akan lebih bahagia jika bersama Marina. Dia gadis yang baik. Dan aku yakin, kebahagiaanku ada di London, bukan di samping kamu. Kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di depan kita jika kita takut melangkah Raf. Dan langkah yang aku pilih adalah berpisah denganmu" Dinar
Dinar kembali melangkahkan kaki meninggalkan Rafael. Kemudian ia naik taxi untuk pulang ke apartemennya.
Beberapa saat kemudian, Rafael sampai di halaman apartemen Dinar. Dia segera masuk karena memang tidak terkunci. Namun semua kosong. Dan seorang ibu-ibu datang dan berkata,
"Non Dinar sudah pulang ke Bali untuk packing dan pamitan dengan keluarganya"
Rafael hanya dapat menangis. Ia bersimpuh di ruangan itu dengan air mata yang berlinang. Beberapa kali, ia menjambak rambutnya sendiri. Marah terhadap dirinya sendiri yang tak mampu menahan kepergian Dinar.
Satu tahun berlalu. Rafael telah merelakan kepergian Dinar. Bagaimanapun, itu demi kebaikan semua orang. Marina, Dinar, bahkan dirinya sendiri. Memang, apa yang menurut kita baik belum tentu yang terbaik di mata Tuhan. Rafael mulai menyadari itu. Dan Rafael mulai melanjutkan hidupnya bersama Marina, yang kini berstatus istrinya. Sementara di jauh London, Dinar mulai menjalani hari-harinya tanpa Rafael. Awalnya terasa sungguh berat dan sakit. Namun kehadiran Morgan dapat menghiburnya. Morgan, teman kuliahnya yang sempat ia temui di Jakarta. Dan kini mereka kembali di pertemukan di London. Apakah ini rencana Tuhan? Apakah ini tanda jika malaikat yang dikirim untuk Dinar adalah Morgan? Entahlah. Namun sampai sekarang belum ada kata cinta antara keduanya. Cukup nyaman dalam pertemanan, dan masih sama-sama fokus dengan studi masing-masing.