Please,
Don’t Cry
Cahaya matahari masuk
melalui celah kamarku. Memaksaku untuk segera membuka mata, dan siap menjalani
hari. Satu jam kemudian, aku sudah siap. Aku berlari kecil menuju parkiran
untuk mengambil mobilku.
"Putri, ingat pulang lebih awal ya! Nanti malam
kita di undang makan malam oleh calon mertuamu"teriak mamaku
"Iya ma"balasku
Aku segera memasuki mobilku kemudian melaju kencang
ke kantor.
Sampainya di kantor,
aku langsung di suguhi beberapa naskah yang harus ku perbaiki hari ini. Memang,
tugas sebagai editor tidaklah sedikit. Di tambah lagi dua hari kemarin aku
tidak masuk kerja. Berjam-jam aku berkutat dengan tulisan-tulisan itu, hingga
akhirnya aku merasa lelah. Aku membuka laci mejaku, mencari sesuatu yang
mungkin dapat menghiburku. Fotoku dan Bisma. Setidaknya, aku masih punya satu
lembar di ruangan ini. Aku tersenyum melihat foto dimana Bisma tengah
merangkulku itu. Dia terlihat sangat tampan. Dialah, laki-laki yang sangat ku
cintai. Pria yang meninggalkanku dua tahun lalu dan berhasil membuatku hancur.
Hampir setiap malam, aku menangis karenanya.
Tak terasa, tumpukan
naskah di hadapanku semakin menipis. Aku melirik arlojiku. Ternyata sudah pukul
17.00. Tak lama kemudian, hand phone ku berbunyi. Ternyata panggilan masuk dari
mama yang menyuruhku segera pulang. Dengan terpaksa, aku mengakhiri kegiatanku
saat itu. Aku segera menuju ke parkiran untuk mengambil mobil kemudian pulang.
Kumandang adzan maghrib mulai terdengar. Beberapa kali hand phoneku berbunyi.
Namun, keramaian jalan ibu kota sepertinya tak memberiku kesempatan untuk
mengangkat telepon itu. Kepalaku sampai pusing di buatnya.
Beberapa saat kemudian,
aku tiba di sebuah jalanan yang sukup sepi. Tiba-tiba, mobilku macet. Akupun
mencoba untuk menyalakan kembali, namun tidak bisa. Kemudian, dari arah samping
terlihat seorang pria yang sangat ku kenali berjalan melewati mobilku. Aku mempertajam
pengelihatanku.
"Bisma?"gumamku lirih
Tanpa berpikir panjang,
aku segera turun dari mobil. Aku berlari mengejar Bisma yang kian lama kian
menjauh. Beberapa kali aku memanggilnya, namun sepertinya ia tak mendengarku.
Aku terus berlari. Tak peduli dengan hari yang semakin gelap. Bahkan salah satu
hak sepatuku patah. Membuatku terpaksa harus melepas keduanya. Aku terus
berlari, hingga mataku tertuju pada sebuah tempat yang sangat terang. Aku
berjalan mendekat. Hingga aku sampai di tengah-tengah ratusan lampu
berwarna-warni yang sangat indah. Saat aku menoleh ke belakang, puluhan lampu
berwarna merah menyala, membentuk bentuk hati yang membuatku sangat terkesima.
"Putri"panggil seseorang
Aku menoleh. Aku terkejut dengan kehadiran pria yang
kini berada di hadapanku. Aku berhambur memeluk pria yang sangat ku rindukan
itu. Aku memeluknya sangat erat, seakan tak ingin kehilangannya lagi.
Bisma. Pria itu adalah
Bisma. Dia membalas pelukan hangatku. Membuatku semakin ingin meluapkan
kerinduanku padanya. Beberapa saat kemudian, Bisma melepas pelukanku. Dia
menatap mataku yang memerah. Kedua tangannya memegang bahuku.
"Aku kangen sama kamu"ujarku dengan mata
berkaca-kaca
Bisma tersenyum.
"Bukankah aku sudah bilang, bahwa kamu harus
bahagia? Aku juga memintamu untuk tidak larut dalam kesedihan"Bisma
"Aku nggak bisa. Aku mau kamu selalu disisiku,
Bis"aku
"Sedetikpun, aku tak pernah meninggalkanmu. Aku
selalu disisimu. Meski aku tak bisa memeluk dan menghapus air matamu
lagi"Bisma
Aku terdiam. Setetes air mataku terjatuh. Namun
dengan cepat, Bisma menghapusnya.
Bisma menarikku ke
dalam dekapan hangatnya. Dekapan yang dua tahun ini tak ku rasakan. Dekapan
yang mempu membuatku nyaman dan tenang.
"Maaf, aku mengingkari janjiku. Aku
membiarkanmu menjalani kesendirian dua tahun ini"ujar Bisma sembari
mencium puncak kepalaku kemudian melepas pelukannya
"Mulai detik ini, aku akan membayar semuanya.
Tapi kamu harus janji, nggak boleh sedih-sedih lagi! Kamu harus selalu
tersenyum. Selalu bahagia"lanjutnya
Aku mengangguk sembari tersenyum.
Bisma meraih tangan
kiriku. Ia melepas sebuah cincin yang terpasang indah di jari manisku. Bisma
meletakkan cincin itu di tangan kananku, lalu memintaku untuk menggenggamnya.
"Sekarang, kamu simpan cincin ini dan semua
kenangan kita. Biarkan jarimu terisi cincin lain dari calon suamimu"ujar
Bisma yang membuatku tercengang
"Kenapa? Bukannya kamu baru saja bilang kalau
kamu akan menebus semuanya?"teriakku dengan linangan air mata
Bisma tersenyum.
"Kita kini berbeda dunia. Aku tidak bisa
menjagamu lagi. Tapi aku yakin, calon suamimu akan dapat menggantikan tugasku
dengan baik. Dia akan menjaga dan mencintai kamu sepenuh hatinya"jawab
Bisma lembut
Lagi-lagi, air mataku terjatuh. Bisma segera meredam
tangisanku dengan memelukku sangat erat. Beberapa kali ia mencium puncak
kepalaku.
"Berbahagialah! Dan please, jangan menangisiku
lagi!"bisiknya
Aku mengangguk dalam pelukannya.
Aku kembali membuka
mataku. Terlihat disekitarku semua berwarna putih. Kepalaku terasa sangat
pusing.
"Putri, kamu sudah bangun?"girang mama
Aku merasa sangat bingung. Dimana aku kini? Bukannya
tadi aku tengah bersama Bisma di sebuah tempat yang sangat indah? Kemudian aku
melihat tangan kananku yang di infus. Aku membuka genggaman tangan itu. Dan
terdapat cincin pemberian Bisma tiga tahun silam disana.
Lima hari berlalu.
Kini, aku telah diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Satu minggu lalu, aku
mengalami kecelakaan. Kata mama, aku menabrak pembatas jalan dan mobilku
terserempet bus saat aku dalam perjalanan pulang dari kantor. Selama aku di
rawat di rumah sakit, Morgan tak pernah absen menjengukku. Morgan adalah anak
teman papa yang di jodohkan denganku. Awalnya aku menolak. Tapi aku teringat
ucapan Bisma. Bisma percaya, jika pria ini akan menggantikan tugas Bisma dengan
baik. Maka, aku berusaha untuk mulai menerimanya. Lagi pula, dia pria yang
baik.
Dua hari kemudian,
Morgan mengajakku ke rumahnya. Dia hanya di rumah sendirian karena papanya
sedang berada di luar kota.
"Aku mau ganti baju dulu. Kamu kalau mau
lihat-lihat, silahlan!"ucap Morgan kemudian menuju lantai atas
Aku berjalan menyusuri rumah Morgan. Sampainya di
dekat tangga, aku melihat barisan foto keluarga yang sangat harmonis. Aku
melihatnya satu per satu. Di foto pertama, terlihat keluarga Morgan yang masih
lengkap. Mungkin foto itu diambil lima belasan tahun yang lalu saat kedua orang
tuanya belum bercerai. Di foto kedua, terlihat foto Morgan dengan adik
laki-lakinya saat masih kecil tengah asyik bermain.
Dan foto ketiga adalah,
foto yang diambil pada saat wisuda Morgan. Dalam foto itu, terlihat Morgan
merangkul seorang lelaki yang sangat aku kenali.
"Bisma?"kagetku
Sesaat kemudian, ada yang menyentuh bahuku. Aku
menoleh. Ternyata dia adalah Morgan.
"Biar aku jelaskan"ujar Morgan kemudian
menarikku ke ruang tamu
Morgan memperlihatkan
sebuah album foto berisi fotonya dengan adik laki-lakinya sejak mereka kecil
hingga dewasa. Akupun menyimak dengan seksama isi album itu.
"Pertama kali aku melihatmu adalah saat aku dan
Bisma bermain basket. Aku suka sama kamu sejak saat itu. Awalnya, Bisma mau
mengenalkanmu padaku. Tapi aku takut, aku tidak bisa mengendalikan perasaanku.
Bagaimanapun, kamu pacar Bisma"terang Morgan
"Jadi kamu kakak kandung Bisma?"tanyaku
Morgan mengangguk.
"Saat perceraian itu, kami berpisah. Aku ikut
papa, sementara Bisma ikut mama. Tapi kami tetap dekat. Apalagi setelah Bisma
SMA. Dia sering mengunjungiku dan papa"Morgan
"Dan kamu tahu, betapa terpukulnya aku saat
Bisma pergi? Saat itu aku tengah menyelesaikan study S2-ku di Belanda. Aku
tidak ada di sisa-sisa hidupnya. Aku bisa pulang dua minggu setelah
kepergiannya"lanjut Morgan dengan mata mulai berkaca-kaca
"Kamu sayang banget ya sama Bisma? Ternyata tidak
cuma aku yang merasa gila karena kehilangannya?"lirihku
Kini, Morgan beralih menatapku.
"Putri, izinkan aku menggantikan posisi Bisma
di hati kamu. Biarkan aku menggantikan tugasnya untuk menjagamu"pinta
Morgan
Aku menangis mendengarnya.
"Gan, kamu tidak akan bisa menggantikan posisi
Bisma meski kamu kakak kandungnya. Bisma memiliki tempat tersendiri di
hatiku"jawabku
Terlihat kekecewaan di mata Morgan.
"Tapi kamu tenang saja, aku akan berusaha
membuka hatiku untuk kamu. Aku menerima perjodohan ini"lanjutku
Satu tahun kemudian,
aku menikah dengan Morgan. Pesta yang cukup sederhana. Hanya orang-orang
terdekat saja yang datang di pesta pernikahan kami. Setelah pesta di laksanakan,
aku dan Morgan pergi ke makam Bisma. Aku membawakan mawar putih untuknya. Aku
bersimpuh di samping batu nisan Bisma sembari berbisik,
"Aku akan bahagia buat kamu. Aku akan bahagia
bersama orang yang kamu percayai untuk menggantikan tugasmu untuk melindungiku.
Tapi berjanjilah, kamu juga harus bahagia disana"