Sabtu, 21 November 2015

Cerpen-Silent Love



Silent Love

Aku terus berlari ketika mendengar suara bel masuk sekolah. Lorong sekolahpun dipenuhi siswa-siswi yang hendak masuk ke kelas masing-masing. Dian. Itulah namaku. Nama sederhana yang melambangkan kelembutan bagi seorang wanita. Mungkin karena terlalu cepatnya aku berlari, hingga aku tak sadar jika ada sebuah buku ku yang jatuh. Aku menyadarinya ketika terdengar suara seseorang memanggilku.
"Hey! Hey yang pakai tas biru!"panggilnya
Aku menghentikan langkahku. Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat, hingga sebuah tangan menyentuh bahuku.
"Ini bukumu kan? Tadi aku lihat buku ini jatuh waktu kamu lari"ujar pria itu
Aku mengambil buku ditangan pria yang memanggilku itu. Mataku menatap ke arah sepatu pria di hadapanku. Sebisa mungkin, aku harus bisa menahan sesuatu dalam hatiku.
"Hey, kamu nggak mau berterima kasih gitu?"tanyanya
Perlahan aku menatapnya. Beberapa kali, aku mengangguk.
"Kamu bisu?"tanyanya lagi
Detik berikutnya, aku menunduk dalam. Benar apa yang ia katakan. Aku memang tak bisa bicara. Aku sungguh malu. Sebab, dia adalah Reza. Pria yang aku sukai.
Selama ini aku hanya memperhatikan Reza dari jauh. Aku tak berani mendekatinya, bahkan sebatas tersenyum padanya. Aku merasa tidak pantas. Dia adalah pria yang tampan, banyak disukai siswi sekolahku. Sedangkan aku hanyalah seorang gadis tuna wicara. Jelas, aku tak pantas berteman dengannya.
"Dian Arfandini"panggilnya setelah mengeja namaku
Aku kembali menatapnya. Aku memberinya isyarat jika aku harus segera pergi. Namun sepertinya ia tak mengerti. Kemudian aku berjalan cepat menuju kelasku. Untung saja saat itu guru yang seharusnya mengajar belum datang.
Ketika jam istirahat, aku bergegas ke perpustakaan. Aku mengambil sebuah novel karya penulis idolaku, lalu duduk di dekat jendela perpustakaan. Dari sana aku dapat melihat Reza yang sedang bermain gitar di belakang sekolah. Itulah kegiatan keseharianku. Melihat pria itu dari kejauhan. Ku rasa itu cukup. Karena tak mungkin ku dapatkan sesuatu yang lebih dari ini. Setiap habis satu halaman aku baca, mataku beralih menatap Reza yang asyik dengan gitarnya itu. Dia terlihat sangat tampan di mataku. Hingga tak jarang bibirkupun mengukir senyum.
Namun ternyata, akhirnya Reza mengetahui keberadaanku yang tengah memperhatikannya. Dia menatapku cukup lama. Kemudian ia berdiri dan berjalan cepat menghampiriku. Dengan segera, aku berlari kembali ke kelas. Sungguh, aku sangat malu jika harus berhadapan langsung dengannya. Karena hal itu selalu membuatku sadar tentang kekuranganku yang membuat aku tak pantas untuknya.
Dua bulan berlalu. Hari ini sebuah turnamen basket diadakan di sekolahku. Dan Reza adalah salah satu anggotanya. Aku melihat dari atas lantai dua sekolahku. Saat istirahat babak pertama, aku berlari kedalam kelas untuk mengambil sesuatu dari dalam tasku. Kemudian aku berlari ke arah ruang istirahat anggota tim basket sekolahku. Terlihat Reza dan teman-temannya sedang beristirahat dan menyusun strategi untuk babak selanjutnya. Ingin sekali aku masuk dan menghampiri Reza. Tapi aku malu. Barulah setelah mereka pergi aku masuk. Aku meletakan sebuah kotak makan berisi kue buatanku di samping tas Reza. Awalnya aku berniat memberikannya secara langsung. Namun kemudian aku sadar, itu hanya akan mempermalukan Reza dan diriku sendiri.
Setelah meletakkan kue itu, aku berjalan ke arah lapangan basket. Aku duduk di bangku belakang. Histeria para suporter memenuhi area lapangan basket hingga babak terakhir. Begitu pertandingan usai dan di tetapkan sekolahku sebagai juaranya, seluruh siswa sekolahku berdiri dan berteriak heboh menggambarkan kebahagiaan mereka. Akupun ikut berdiri. Namun mataku terarah pada tim basket sekolahku yang hendak memasuki ruang istirahat. Tiba-tiba, anggota tim cheers sekolah menghadang mereka. Nayla, salah satu diantaranya bersalaman dan mengucapkan selamat pada Reza. Aku merasa ada sesuatu di antara keduanya. Dan, aku akui, itu berhasil membuat hatiku sesak. Mereka sempat berbincang cukup lama. Hingga siswi lain turut mengerubungi anggota tim basket sekolahku. Beberapa saat kemudian, mereka pergi. Ruangan itu kini sepi. Aku berjalan memaskukinya. Namun, betapa kecewanya aku saat melihat kotak makan yang tadi ku letakkan di samping tas Reza itu terjatuh, bahkan isinya terinjak-injak. Beberapa tetes air mataku jatuh. Rasanya sungguh perih. Ternyata sebegitu tak pantasnya aku untuk Reza. Bahkan sampai sesuap masakankupun tak pantas Reza makan. Aku hanya seperti sebuah sampah diantara tumpukan berlian. Apalagi jika dibandingkan dengan Nayla. Anggota tim cheers sekaligus jawara Olimpiade Bahasa Inggris tahun ini.
Saat pulang sekolah, aku berdiri di depan gerbang menunggu taxi. Tiba-tiba sebuah mobil melintas kencang di depanku hingga membuat genangan air di jalan menyiprat ke pakaianku. Dengan segera, pengendara mobil itu turun dan menghampiriku. Dia adalah Nayla.
"Maaf maaf, aku tidak sengaja"ujarnya penuh penyesalan
Nayla membersihkan bajuku dengan beberapa lembar tissue.
"Ada apa ini?"tanya seseorang. Reza
"Aku nggak sengaja basahin baju dia, Za"Nayla
Aku memberi isyarat jika aku tak apa. Aku baik-baik saja.
"Tapi aku benar-benar merasa bersalah. Maaf"Nayla
Aku tersenyum padanya.
"Sudahlah, dia juga nggak papa kok"Reza
"Ya sudah, aku duluan ya!"pamit Nayla
"Nay!"panggil Reza
Nayla menoleh. Menatap Reza penuh tanya.
"Emh...nanti sajalah"Reza
Nayla mengangguk lalu pergi.
Jujur, saat itu hatiku kembali sakit. Disana seperti aku mendapat sebuah bukti tentang kedekatan mereka.
Kini tinggal aku dan Reza. Aku masih terus menunggu taxi yang lewat. Namun aku berharap aku dapat berdiri lebih lama disini, bersama Reza.
"Hey, kamu yang dulu bukunya jatuh itukan?"Reza
Aku menatapnya, lalu mengangguk.
"Kamu juga yang ngelihatin aku waktu di taman belakang kan? Aku beberapa kali lihat kamu di perpus ngelihatin aku"Reza
Aku terkejut mendengarnya.
'Bukan. Aku tak bermaksud begitu'aku berusaha mengucapkan kalimat itu dengan menggelengkan kepalaku
"Ah...sudahlah, aku duluan ya!"pamit Reza kemudian pergi
Aku menghela napas panjang.
Hari berikutnya, saat jam istirahat, aku tak melihat Reza di taman belakang. Aku berjalan malas keluar dari perpustakaan. Namun pandanganku segera tertuju ke lapangan upacara sekolahku. Disana terlihat ramai. Di tengah keramaian itu aku melihat Reza bersama Nayla. Terdengar sorak-sorai para siswa yang meminta Nayla untuk menerima Reza. Aku tak tahu apa kelanjutannya. Aku segera pergi menjauh. Aku mencari tempat sepi dan tenang untuk meluapkan sakit hatiku. Di taman belakang, aku menangis. Hanya terdengar isak tangisku di taman itu. Aku benar-benar kecewa dengan keadaan. Andai saja aku bisa berbicara. Andai saja aku tak merasa malu saat harus berhadapan dengan Reza. Mungkin aku akan punya sebuah kesempatan untuk bersama Reza. Namun nyatanya, aku tak pernah pantas untuknya.
Di hari-hari berikutnya, aku malas pergi ke perpustakaan. Sebab, dari sana aku tak lagi dapat mencuri pandangan pada Reza. Malahan yang aku lihat hanyalah sesuatu yang dapat semakin menyakitiku. Kebersamaan Reza dengan Nayla. Hingga aku sadar, bahwa apa yang aku harapkan tak selalu aku dapatkan. Semua yang aku perjuangkan tak selalu mendapatkan hasil seperti yang aku idamkan. Setidaknya, dengan kisah ini aku mengenal cinta. Tentang apa itu kesabaran dan keikhlasan.
Saat hari kelulusanku, aku memberikan sebuah surat untuk Reza. Rezapun menerimanya. Setelah itu aku berjalan keluar area sekolah. Di setiap langkahku, aku kembali mengenang kisah cinta rahasiaku pada Reza. Hingga seseorang memanggilku. Aku menoleh. Ternyata dia adalah Reza. Reza berlari ke arahku. Dia menggenggam tanganku.
"Kenapa kamu tak bilang dari awal? Kenapa harus aku? Dan kenapa kamu baru bilang sekarang?"tanya Reza bertubi-tubi
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Maaf, Dian. Aku tak bermaksud menyakiti gadis sebaik kamu. Tapi aku yakin, di luar sana kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku"Reza
Aku mengangguk.
'Semoga kamu bahagia dengan Nayla. Dia gadis yang baik'aku berusaha mengucapkan kata-kata itu, meski aku tahu Reza tak sepenuhnya mengerti apa yang aku sampaikan
"Semoga kamu juga bahagia"ujar Reza
Setetes air mataku jatuh. Namun dengan segera Reza menghapusnya.
'Aku pulang dulu, Za'pamitku
Reza mengangguk mengerti.
Kemudian aku kembali berjalan tanpa sekalipun menoleh ke arah Reza.
Reza adalah sebagian dari kisah hidupku. Reza adalah seseorang yang telah menyadarkanku tentang sebuah keberanian. Tanpa keberanian, aku tak akan mendapat apa yang aku inginkan. Harusnya kekurangan tak ku jadikan alasan untuk menjadi lemah dan merasa tak pantas. Harusnya sejak dulu aku ada di dekat Reza. Setidaknya, menjadi seseorang yang selalu ada untuknya. Seharusnya aku memberanikan diriku untuk menjadi temannya, bukannya selalu menghindar karena merasa tak pantas. Namun, bukankah penyesalan memang selalu datang di akhir? Dan kini, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Tapi aku percaya, Tuhan selalu ada untukku. Tuhan tak akan membiarkan aku terlarut dalam luka ini.


Minggu, 01 November 2015

Tak Ada Artinya



Tak Ada Artinya


Aku berlari kecil memasuki gerbang setelah turun dari bus. Kemudian langkahku kembali tenang setelah melihat area kampus yang masih ramai. Beberapa temanku masih berkeliaran di area kampus. Lalu, aku bertemu Feby, sahabatku. Kami berjalan menuju kelas bersama.
"Intan!"seseorang memanggilku
Akupun menoleh ke sumber suara. Terlihat Reza, teman sekelasku saat SMA tersenyum ke arahku. Ia melambaikan tangan padaku, kemudian berlalu.
'Apa yang dia lakukan disini? Yang ku tahu dia tidak kuliah disini'pikirku
Sampainya di kelas, aku dan Feby duduk di bangku nomor dua dari depan. Tak lama kemudian, Pak Anas selaku dosen Parasitologi datang. Semua mahasiswa duduk di bangku masing-masing dan menyiapkan buku mereka. Parasitologi adalah salah satu pelajaran kesukaanku. Jadi, selama jam pelajaran aku menyimaknya dengan seksama. Selesai pelajaran, Pak Anas keluar kelas.
"Teman-teman, tugas dari Pak Aman kemarin suruh di kumpulin sekarang. Kumpulin di depan ya! Biar nanti aku yang ngasihin ke Pak Aman"teriak temanku, Fira
"Kamu udah ngerjain?"tanya Feby
"Udah kok"jawabku
"Ya udah, nitip kumpulin di depan ya!"ujar Feby sembari memberikan lembar kerjanya padaku
Aku mengangguk lalu mengumpulkannya di depan.
Saat hendak kembali duduk di bangku ku, mataku tertuju ke arah jendela. Terlihat Ilham tersenyum ke arahku. Namun aku cuek saja. Aku tetap berjalan ke arah bangku ku tanpa berniat menyapanya. Ilham tak lain adalah teman sekelasku saat SMA. Dia adalah sohib Reza. Bagian dari genk yang terkenal cool di  sekolah.
Jujur saja, ada yang aneh menurutku. Tadi pagi aku melihat Reza, dan sekarang Ilham. Apa yang mereka lakukan disini? Keduanya tidak kuliah disini.
"Intan, kamu kenapa sih?"tanya Feby
"Lagi mikir aja"jawabku
"Mikir apa?"Feby
Aku menatap Feby bingung, lalu menggeleng.
"Ke kantin yuk! Bu Nisa nggak ngajar kok"ajak Feby
"Nggak ah...malas"aku
"Ya sudahlah, aku mau baca novel aja"Feby
Aku mengangguk.
"Eh...bentar deh"Feby
"Apa?"aku
"Tadi aku kayak lihat cowok yang fotonya ada di hand phonemu deh"Feby
"Cowok yang mana? Siapa?"aku
"Itu. Bisma kalau nggak salah. Eh tapi nggak tahu juga sih. Aku nggak yakin"Feby
"Kamu serius? Memang kamu ingat wajahnya?"tanyaku antusias
"Nggak begitu ingat sih"Feby
Aku terdiam. Entah mengapa, di setiap langkah aku mencoba pergi, bayangannya selalu datang. Selalu ada hal yang mengingatkanku tentangnya. Bisma. Ya. Entah apa yang membuatku tak bisa melupakannya. Nyaris tak ada kenangan indah antara kami. Semua menyakitkan. Tapi, bayangnya tak pernah mampu ku usir dari ingatanku.
"Intan, kok bengong sih?"Feby
Aku menatapnya malas.
"Intan! Itu...itu"ucap Feby sambil menujuk ke arah pintu dengan suara gemas
Dengan malas, aku melihat ke arah pintu. Mataku membolat sempurna melihat Bisma berjalan memasuki kelasku. Dia sempat tersenyum padaku. Namun kemudian ia kembali berjalan menuju depan kelas, dimana dosenku biasa menjelaskan materi pada para mahasiswa.
"Itu Bisma kan? Itu Bisma yang kamu ceritakan dulu kan?"tanya Feby
Aku berdiri lalu berjalan cepat, berpindah ke bangku belakang. Lalu aku bersembunyi di bawah meja. Aku tak ingin dia melihatku. Aku tak ingin dia melihat aku yang semakin lemah saat berhadapan dengannya. Aku tak ingin sampai ia melihat air mataku lagi.
Bisma berhenti berjalan. Dia melihat ke arah teman-temanku. Aku mengintipnya dari celah-celah kecil yang ada. Tanganku berpegangan erat pada bangku di dekatku.
Sebenarnya apa yang ia lakukan disini? Apa dia akan jadi mahasiswa baru disini? Tapi kenapa harus disini? Kenapa harus di kelas ini? Aku kembali ingat apa itu 'bahagia' saat melihat senyumannya. Tapi aku juga kembali ingat apa itu 'luka' saat mengingat masa lalu kami.
"Selamat siang, maaf mengganggu. Namaku Bisma. Aku disini cuma mau sedikit bercerita tentang suatu hal. Aku harap kalian mau mendengarnya"ujar Bisma
Teman-temanku terdiam. Beberapa dari mereka mulai berbisik tentang Bisma.
"Lima tahun lalu, aku bertemu dengan seseorang. Dia adalah seorang perempuan. Di awal pertemuan, aku menganggapnya sebagai gadis aneh, gila, tidak normal. Tapi dari sana aku baru sadar, kalau aku memperhatikannya lebih dari gadis lain. Ternyata aku menyukainya"terang Bisma
Aku terdiam. Sebisa mungkin aku menenangkan hatiku yang semakin kacau. Aku merasa Bisma tengah menceritakan tentang aku. Namun, aku tak mau kecewa lagi. Mungkin itu hanya harapanku semata. Sesaat kemudian, Bisma melanjutkan kisahnya.
"Tapi sayang. Sebelum aku mengerti tentang perasaan itu, aku sudah terlebih dahulu mencintai perempuan lain. Dia sangat cantik, pintar, baik. Namanya Fadila. Dan, akupun pacaran dengannya. Tanpa ku sadari, aku telah membuat gadis yang ku anggap aneh itu terluka. Dia mencintaiku. Dan aku malah berpacaran dengan orang lain. Sejak saat itu, hubungan kami merenggang. Tak ada lagi percakapan antara kami, bahkan sampai detik ini"Bisma
Beberapa temanku mulai tersentuh dengan cerita Bisma. Akupun semakin sulit mengatur perasaanku. Mataku mulai terasa pedih.
"Aku benar-benar sudah menyakitinya. Aku meninggalkannya dan membuatnya benar-benar rapuh. Aku telah membuat luka yang dalam di hatinya"ujar Bisma kian lirih
"Tapi sekarang, aku tahu, aku sadar semuanya. Aku sadar tentang betapa besar dan tulus cintanya. Cinta yang selama ini ku buang, tak ku hiraukan, tapi tetap hidup meski kini ia bersembunyi"lanjut Bisma sedikit tertawa
Feby menoleh ke arahku. Aku memberi kode padanya kalau aku baik-baik saja. Sebisa mungkin, aku menahan isak tangisku.
"Sekarang, aku ingin kalian menjadi saksi. Mulai hari ini, aku hanya akan mencintai satu orang. Aku akan menjaga cinta yang selama ini tak ku hiraukan. Aku akan menjaga hati pemiliknya. Memeluk hati itu selamanya. Membayar segala kesalahan yang telah ku lakukan"Bisma
Aku tak sanggup lagi membendung air mataku. Aku semakin erat menggenggam bangku di dekatku. Aku menunduk dalam, menahan suara isakkan dari mulutku. Hingga terasa sebuah tangan memegang punggung tangan kananku.
"Intan"panggilnya lembut
Aku menoleh ke arahnya, Bisma.
"Intan, maaf atas segalanya. Maaf aku telah meninggalkanmu demi Fadila dan membuatmu terluka sangat dalam. Tapi please, beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku sayang sama kamu. Aku ingin kamu kembali padaku? Aku janji akan menjaga hatimu sebaik mungkin"lanjut Bisma.
Air mataku mengalir kian deras. Dan kini Bisma menggenggam erat tangan kananku. Perlahan, tangan kiriku terangkat dan menyentuh tangan Bisma.
"Prang...."
Aku terduduk di atas tempat tidurku. Aku melihat kesisi kiriku.
"Maaf aku nggak sengaja"ujar Feby
Memang, semalam Feby menginap di rumahku.
"Intan, tadi aku lihat buku tahunanmu waktu SMA. Ternyata cowok yang namanya Bisma itu memang ganteng  ya?"Feby
"Tadi aku lagi mimpi tentang dia. Kamu sih, merusaknya"kesalku
"Intan!"panggil mama ku
"Iya ma"jawabku
Mama ku masuk ke kamarku. Ia memberikan sesuatu padaku.
"Itu undangan pertunangan teman SMA-mu, Bisma sama Fadila. Acaranya minggu depan"ujar mama ku
"Iya ma. Makasih"balasku
Kemudian mama ku keluar.
                Jujur saja, aku sangat terkejut
"Kamu mimpi apa tentang dia?"Feby
"Nggak penting. Bagiku mimpi hanyalah bunga tidur yang tak memiliki arti apapun. Mimpi tak kan merubah kenyataan tentang aku dan dia"jawabku
Feby tersenyum lalu merangkulku, seakan tahu, apa yang aku rasakan saat ini.
                Hari-hari berlalu. Malam nanti, aku akan menghadiri pertunangan Bisma dengan Fadila. Aku tak boleh terus berlari dan bersembunyi dari perasaanku sendiri. Bukan berarti aku sudah dapat merelakannya. Aku masih terus berusaha untuk bangkit darinya. Menerima kenyataan bahwa dia tak pernah untuk ku. Dia bukan jalanku. Dan aku bukan yang terbaik untuknya. Aku percaya, suatu saat nanti, aku akan bertemu dengan seseorang yang benar-benar pantas untukku. Seseorang yang mampu membalas cintaku. Dia yang akan menjaga hati dan jiwaku. Yang harus aku lakukan kini adalah terus berjalan. Terus maju menuju masa depan yang indah.