Silent
Love
Aku terus berlari
ketika mendengar suara bel masuk sekolah. Lorong sekolahpun dipenuhi
siswa-siswi yang hendak masuk ke kelas masing-masing. Dian. Itulah namaku. Nama
sederhana yang melambangkan kelembutan bagi seorang wanita. Mungkin karena terlalu
cepatnya aku berlari, hingga aku tak sadar jika ada sebuah buku ku yang jatuh.
Aku menyadarinya ketika terdengar suara seseorang memanggilku.
"Hey! Hey yang pakai tas biru!"panggilnya
Aku menghentikan langkahku. Kemudian terdengar suara
langkah kaki mendekat, hingga sebuah tangan menyentuh bahuku.
"Ini bukumu kan? Tadi aku lihat buku ini jatuh
waktu kamu lari"ujar pria itu
Aku mengambil buku
ditangan pria yang memanggilku itu. Mataku menatap ke arah sepatu pria di
hadapanku. Sebisa mungkin, aku harus bisa menahan sesuatu dalam hatiku.
"Hey, kamu nggak mau berterima kasih
gitu?"tanyanya
Perlahan aku menatapnya. Beberapa kali, aku
mengangguk.
"Kamu bisu?"tanyanya lagi
Detik berikutnya, aku menunduk dalam. Benar apa yang
ia katakan. Aku memang tak bisa bicara. Aku sungguh malu. Sebab, dia adalah
Reza. Pria yang aku sukai.
Selama ini aku hanya
memperhatikan Reza dari jauh. Aku tak berani mendekatinya, bahkan sebatas
tersenyum padanya. Aku merasa tidak pantas. Dia adalah pria yang tampan, banyak
disukai siswi sekolahku. Sedangkan aku hanyalah seorang gadis tuna wicara.
Jelas, aku tak pantas berteman dengannya.
"Dian Arfandini"panggilnya setelah mengeja
namaku
Aku kembali menatapnya. Aku memberinya isyarat jika
aku harus segera pergi. Namun sepertinya ia tak mengerti. Kemudian aku berjalan
cepat menuju kelasku. Untung saja saat itu guru yang seharusnya mengajar belum
datang.
Ketika jam istirahat,
aku bergegas ke perpustakaan. Aku mengambil sebuah novel karya penulis idolaku,
lalu duduk di dekat jendela perpustakaan. Dari sana aku dapat melihat Reza yang
sedang bermain gitar di belakang sekolah. Itulah kegiatan keseharianku. Melihat
pria itu dari kejauhan. Ku rasa itu cukup. Karena tak mungkin ku dapatkan
sesuatu yang lebih dari ini. Setiap habis satu halaman aku baca, mataku beralih
menatap Reza yang asyik dengan gitarnya itu. Dia terlihat sangat tampan di
mataku. Hingga tak jarang bibirkupun mengukir senyum.
Namun ternyata,
akhirnya Reza mengetahui keberadaanku yang tengah memperhatikannya. Dia
menatapku cukup lama. Kemudian ia berdiri dan berjalan cepat menghampiriku.
Dengan segera, aku berlari kembali ke kelas. Sungguh, aku sangat malu jika
harus berhadapan langsung dengannya. Karena hal itu selalu membuatku sadar
tentang kekuranganku yang membuat aku tak pantas untuknya.
Dua bulan berlalu. Hari
ini sebuah turnamen basket diadakan di sekolahku. Dan Reza adalah salah satu
anggotanya. Aku melihat dari atas lantai dua sekolahku. Saat istirahat babak
pertama, aku berlari kedalam kelas untuk mengambil sesuatu dari dalam tasku.
Kemudian aku berlari ke arah ruang istirahat anggota tim basket sekolahku.
Terlihat Reza dan teman-temannya sedang beristirahat dan menyusun strategi
untuk babak selanjutnya. Ingin sekali aku masuk dan menghampiri Reza. Tapi aku
malu. Barulah setelah mereka pergi aku masuk. Aku meletakan sebuah kotak makan
berisi kue buatanku di samping tas Reza. Awalnya aku berniat memberikannya
secara langsung. Namun kemudian aku sadar, itu hanya akan mempermalukan Reza
dan diriku sendiri.
Setelah meletakkan kue
itu, aku berjalan ke arah lapangan basket. Aku duduk di bangku belakang.
Histeria para suporter memenuhi area lapangan basket hingga babak terakhir.
Begitu pertandingan usai dan di tetapkan sekolahku sebagai juaranya, seluruh
siswa sekolahku berdiri dan berteriak heboh menggambarkan kebahagiaan mereka.
Akupun ikut berdiri. Namun mataku terarah pada tim basket sekolahku yang hendak
memasuki ruang istirahat. Tiba-tiba, anggota tim cheers sekolah menghadang
mereka. Nayla, salah satu diantaranya bersalaman dan mengucapkan selamat pada
Reza. Aku merasa ada sesuatu di antara keduanya. Dan, aku akui, itu berhasil
membuat hatiku sesak. Mereka sempat berbincang cukup lama. Hingga siswi lain
turut mengerubungi anggota tim basket sekolahku. Beberapa saat kemudian, mereka
pergi. Ruangan itu kini sepi. Aku berjalan memaskukinya. Namun, betapa
kecewanya aku saat melihat kotak makan yang tadi ku letakkan di samping tas
Reza itu terjatuh, bahkan isinya terinjak-injak. Beberapa tetes air mataku
jatuh. Rasanya sungguh perih. Ternyata sebegitu tak pantasnya aku untuk Reza.
Bahkan sampai sesuap masakankupun tak pantas Reza makan. Aku hanya seperti
sebuah sampah diantara tumpukan berlian. Apalagi jika dibandingkan dengan
Nayla. Anggota tim cheers sekaligus jawara Olimpiade Bahasa Inggris tahun ini.
Saat pulang sekolah,
aku berdiri di depan gerbang menunggu taxi. Tiba-tiba sebuah mobil melintas
kencang di depanku hingga membuat genangan air di jalan menyiprat ke pakaianku.
Dengan segera, pengendara mobil itu turun dan menghampiriku. Dia adalah Nayla.
"Maaf maaf, aku tidak sengaja"ujarnya
penuh penyesalan
Nayla membersihkan bajuku dengan beberapa lembar
tissue.
"Ada apa ini?"tanya seseorang. Reza
"Aku nggak sengaja basahin baju dia,
Za"Nayla
Aku memberi isyarat jika aku tak apa. Aku baik-baik
saja.
"Tapi aku benar-benar merasa bersalah.
Maaf"Nayla
Aku tersenyum padanya.
"Sudahlah, dia juga nggak papa kok"Reza
"Ya sudah, aku duluan ya!"pamit Nayla
"Nay!"panggil Reza
Nayla menoleh. Menatap Reza penuh tanya.
"Emh...nanti sajalah"Reza
Nayla mengangguk lalu pergi.
Jujur, saat itu hatiku kembali sakit. Disana seperti
aku mendapat sebuah bukti tentang kedekatan mereka.
Kini tinggal aku dan
Reza. Aku masih terus menunggu taxi yang lewat. Namun aku berharap aku dapat
berdiri lebih lama disini, bersama Reza.
"Hey, kamu yang dulu bukunya jatuh
itukan?"Reza
Aku menatapnya, lalu mengangguk.
"Kamu juga yang ngelihatin aku waktu di taman
belakang kan? Aku beberapa kali lihat kamu di perpus ngelihatin aku"Reza
Aku terkejut mendengarnya.
'Bukan. Aku tak bermaksud begitu'aku berusaha
mengucapkan kalimat itu dengan menggelengkan kepalaku
"Ah...sudahlah, aku duluan ya!"pamit Reza
kemudian pergi
Aku menghela napas panjang.
Hari berikutnya, saat
jam istirahat, aku tak melihat Reza di taman belakang. Aku berjalan malas
keluar dari perpustakaan. Namun pandanganku segera tertuju ke lapangan upacara
sekolahku. Disana terlihat ramai. Di tengah keramaian itu aku melihat Reza
bersama Nayla. Terdengar sorak-sorai para siswa yang meminta Nayla untuk
menerima Reza. Aku tak tahu apa kelanjutannya. Aku segera pergi menjauh. Aku
mencari tempat sepi dan tenang untuk meluapkan sakit hatiku. Di taman belakang,
aku menangis. Hanya terdengar isak tangisku di taman itu. Aku benar-benar
kecewa dengan keadaan. Andai saja aku bisa berbicara. Andai saja aku tak merasa
malu saat harus berhadapan dengan Reza. Mungkin aku akan punya sebuah
kesempatan untuk bersama Reza. Namun nyatanya, aku tak pernah pantas untuknya.
Di hari-hari
berikutnya, aku malas pergi ke perpustakaan. Sebab, dari sana aku tak lagi
dapat mencuri pandangan pada Reza. Malahan yang aku lihat hanyalah sesuatu yang
dapat semakin menyakitiku. Kebersamaan Reza dengan Nayla. Hingga aku sadar,
bahwa apa yang aku harapkan tak selalu aku dapatkan. Semua yang aku perjuangkan
tak selalu mendapatkan hasil seperti yang aku idamkan. Setidaknya, dengan kisah
ini aku mengenal cinta. Tentang apa itu kesabaran dan keikhlasan.
Saat hari kelulusanku,
aku memberikan sebuah surat untuk Reza. Rezapun menerimanya. Setelah itu aku
berjalan keluar area sekolah. Di setiap langkahku, aku kembali mengenang kisah
cinta rahasiaku pada Reza. Hingga seseorang memanggilku. Aku menoleh. Ternyata
dia adalah Reza. Reza berlari ke arahku. Dia menggenggam tanganku.
"Kenapa kamu tak bilang dari awal? Kenapa harus
aku? Dan kenapa kamu baru bilang sekarang?"tanya Reza bertubi-tubi
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Maaf, Dian. Aku tak bermaksud menyakiti gadis
sebaik kamu. Tapi aku yakin, di luar sana kamu akan menemukan seseorang yang
jauh lebih baik dariku"Reza
Aku mengangguk.
'Semoga kamu bahagia dengan Nayla. Dia gadis yang
baik'aku berusaha mengucapkan kata-kata itu, meski aku tahu Reza tak sepenuhnya
mengerti apa yang aku sampaikan
"Semoga kamu juga bahagia"ujar Reza
Setetes air mataku jatuh. Namun dengan segera Reza
menghapusnya.
'Aku pulang dulu, Za'pamitku
Reza mengangguk mengerti.
Kemudian aku kembali berjalan tanpa sekalipun
menoleh ke arah Reza.
Reza adalah sebagian
dari kisah hidupku. Reza adalah seseorang yang telah menyadarkanku tentang
sebuah keberanian. Tanpa keberanian, aku tak akan mendapat apa yang aku
inginkan. Harusnya kekurangan tak ku jadikan alasan untuk menjadi lemah dan
merasa tak pantas. Harusnya sejak dulu aku ada di dekat Reza. Setidaknya,
menjadi seseorang yang selalu ada untuknya. Seharusnya aku memberanikan diriku
untuk menjadi temannya, bukannya selalu menghindar karena merasa tak pantas.
Namun, bukankah penyesalan memang selalu datang di akhir? Dan kini, tak ada
lagi yang bisa aku lakukan. Tapi aku percaya, Tuhan selalu ada untukku. Tuhan
tak akan membiarkan aku terlarut dalam luka ini.