Rasa
Coklat
Mataku tertuju ke luar
jendela, dimana aku dapat melihat rintik-rintik gerimis disana. Sesekali, aku
menyeruput coklat hangat di hadapanku. Aku mulai terhanyut dengan pikiranku.
Pikiran ketika orang-orang diluar sana memandangku aneh. Sehingga tak ada
seorang priapun yang cocok denganku. Beberapa kali aku sempat pacaran, namun
satupun tak ada yang cocok. Biasanya alasanku putus tidaklah jelas. Namun di
balik semua itu, aku hanya merasa bosan, tak nyaman dengan mantan-mantanku itu.
Anak kuliahan
sepertiku, sewajarnya punya teman dekat lawan jenis. Seperti teman-temanku yang
lain. Yang setiap malam minggu pergi nge-date dengan teman spesialnya. Sangat
berbeda denganku yang malam minggunya dihabiskan di depan layar komputer.
Setiap hari, aku berpikir. Pria seperti apa yang sebenarnya ku cari? Selama
bertahun-tahun aku berusaha menemukan jawabannya. Namun hasilnya nihil. Usiaku
terus bertambah. Sebentar lagi aku menginjak usia 22 tahun. Tapi belum juga ada
laki-laki yang ku kenalkan pada ibu dan ayah.
Melihat hujan yang
semakin deras di luar, aku teringat kenangan tujuh tahun silam. Saat aku duduk
di bangku kelas satu SMA. Saat itu, aku cukup dekat dengan pria bernama,
Morgan. Dia berbeda kelas denganku. Aku kelas 10B, dan dia 10D. Selain Morgan,
aku punya sahabat dekat sejak kecil, Bisma yang sampai saat itu selalu satu
kelas denganku. Namun yang ku tahu, Morgan tidak begitu dekat dengan Bisma.
Sabtu sore, Morgan
menghubungiku. Kami berbincang cukup lama di telepon. Hingga Morgan berpamitan
untuk pergi bersama teman-temannya. Tentu saja aku mengizinkannya. Hubunganku
dan Morganpun kian dekat. Beberapa kali, Morgan mengantarku pulang. Bahkan aku
ingat, di suatu hari, Morgan rela kehujanan demi mengantarku pulang. Bahkan
jaketnya ia pinjamkan padaku agar aku tidak kedinginan. Beberapa temanku sempat
bertanya, apa hubunganku dengan Morgan. Namun aku hanya menjawab singkat
"Teman", karena itu kenyataannya.
Setiap malam, aku
selalu berbincang dengan Morgan lewat telepon. Dia selalu membuat hari-hariku
lebih berwarna. Aku tak tahu bagaimana awalnya hingga kami bisa sedekat itu.
Tapi aku merasa nyaman saat dia disisiku.
Saat kenaikan kelas
dua, aku dan Morgan menjadi satu kelas. Morgan duduk di bangku paling belakang,
sementara aku nomor dua dari depan. Tapi, di sekolah Morgan lebih menjaga jarak
dariku. Kami jarang mengobrol kecuali membicarakan tugas kelompok. Tapi
terkadang, ia juga mengingatkanku untuk makan saat jam istirahat. Meski ia tak
pernah mengajakku ke kantin bersama.
Di suatu hari, Morgan
mengirimiku pesan untuk ke perpustakaan. Akupun berlari kecil agar segera
sampai ke perpustakaan.
"Ada apa?"tanyaku
"Vera ngajak kamu keluar besok
malam?"tanya Morgan
Aku mengangguk.
"Jangan pergi sama dia!"larang Morgan
Aku mengerutkan keningku. Aku sama sekali tak
mengerti maksudnya. Vera adalah teman sebangkuku, dan kami memang cukup akrab.
"Nggak usah bantah. Pokoknya kamu nggak boleh
pergi sama Vera besok malam"ujar Morgan kemudian pergi
Seperti yang Morgan
perintahkan, aku membatalkan janjiku dengan Vera. Lagi pula, malam ini Bisma
main ke rumahku. Kami bermain PS hingga larut malam. Pukul 22.00, Bisma baru
pamit pulang. Itupun karena dia kesal, selalu kalah saat bermain denganku.
Setelah kepergian Bisma, aku mengecek hand phoneku. Terdapat dua pesan baru
disana. Ketika ku buka, isinya sama,
"Kamu tidak jadi pergi dengan Vera kan?"
Kemudian aku membalasnya,
"Tidak"
Ya. Pesan itu dari Morgan. Pria itu memang aneh. Dia
menjauhiku perlahan saat aku mulai merasa nyaman dengannya. Tapi, dia tetap
memperhatikanku. Dia selalu mengawasiku meski dari jauh.
Pagi harinya, aku
dihukum guru piket gara-gara telat. Aku tidak diizinkan mengikuti jam pertama.
Dan aku diperintahkan untuk membersihkan toilet. Huft. Rasanya sangat
melelahkan. Jam pertama tak kunjung usai. Padahal pekerjaanku sudah selesai
sejak tadi. Aku memutuskan untuk ke taman belakang sekolah. Melihat hijaunya
rerumputan sembari menunggu bel berakhirnya pelajaran pertama.
Saat memasuki jam
pelajaran kedua, aku masuk kelas. Terlihat Morgan yang tengah asyik membaca
buku tebalnya. Ia seolah tak melihatku. Sepertinya ia juga tak berminat untuk
bertanya, darimana saja aku tadi. Hanya Vera, teman sebangkuku yang menanyaiku.
Dan dia hanya tertawa saat aku menceritakan kejadian tadi pagi.
Malam harinya, aku
bermain games di komputerku. Tiba-tiba, hand phone ku berbunyi. Aku segera
membuka pesan masuk yang isinya,
"Kemana kamu jam pertama tadi?"
Aku sedikit menyunggingkan senyum saat membaca pesan
dari Morgan itu.
"Tadi aku telat. Terus dihukum deh"balasku
Tak lama kemudian, Morgan membalas,
"Besok aku nggak mau lagi lihat kamu
telat"
Meski terkesan angkuh, aku tetap senang membacanya.
Aku menganggap, ia mengirimiku pesan itu karena dia peduli padaku.
Dua hari berlalu.
Lagi-lagi, aku mendapat hukuman dari guru piket. Kali ini bukan karena telat,
melainkan sepatuku yang berwarna coklat.
"Fathin, kamu tahu aturan sekolah
inikan?"tanya bu Dina
"Tahu kok bu. Tapi masalahnya sepatu saya yang
hitam basah. Kan kemarin hujan"elakku
"Alasan kamu. Sekarang kamu ke ruang
BP!"perintah bu Dina
"Tapi bentar lagi masuk bu"ujarku
"Saya tidak perduli. Cepat ke ruang
BP!"balas bu Dina dengan nada meninggi
Aku berjalan malas ke arah ruang BP. Jujur, aku malu
dimarah-marahi seperti tadi. Apa lagi, masih banyak siswa yang berlalu lalang.
"Makanya, aturan sekolah ditaati! Seminggu udah
ngelanggar aturan dua kali"ejek seseorang dari belakangku, Morgan
Aku hanya meliriknya sekilas kemudian berjalan cepat
agar tak mendengar ejekannya lagi.
Malam harinya, aku menunggu
pesan dari Morgan. Aku berharap dia akan mengirimiku pesan seperti dua hari
lalu. Tapi ternyata tidak. Morgan sepertinya telah benar-benar tak perduli
denganku. Kemudian, aku mulai mengiriminya pesan,
"Kamu kenapa sih Gan, kayak menjauh gitu dari
aku?"
Tak lama kemudian, Morgan membalas.
"Perasaan kamu aja"
"Enggak deh. Kamu emang ngejauh"balasku
"Biasa aja tuh. Kamu aneh"balas Morgan
Mungkin Morgan sedang malas membahas tentang itu.
Akupun memutuskan untuk tak membalas lagi pesannya.
Seminggu setelah itu,
aku melihat pertandingan basket Morgan. Beberapa kali Morgan berhasil
memasukkan bola, membuat para gadis bersorak sorai. Saat istirahat babak
pertama, aku menyiapkan minum untuknya. Aku berlari kecil ke arahnya lalu
memberikan botol air minum itu.
"Nggak perlu. Aku udah ada kok"ujarnya
Aku sangat kecewa dengan jawabannya. Harusnya dia
menghargaiku. Dia harusnya menerima minumanku meski tidak diminum.
"Kamu berubah Gan"lirihku kemudian pergi
Morgan mengejarku, lalu menahan tanganku. Namun aku
masih enggan menoleh ke arahnya.
"Lalu kamu maunya aku gimana?"tanya Morgan
Aku masih enggan menjawab.
"Fathin"panggil Morgan
Aku menggeleng. Setetes air mataku jatuh.
"Fathin"panggil Morgan sembari menarik
tanganku agar menghadap ke arahnya
"Gan, ayo pertandingannya udah mau
dilanjut"ujar salah satu teman Morgan
"Kamu jangan pulang dulu, nanti pulangnya aku
antar"kata Morgan yang kemudian pergi
Aku tak mengindahkan ucapannya. Aku segera pulang
setelah ia pergi. Aku tak perduli jika ia marah nantinya. Yang jelas, aku
sangat kecewa dengan perbuatannya akhir-akhir ini.
Sore harinya, saat aku
baru saja selesai mandi, hand phoneku berbunyi pertanda pesan masuk. Aku
membukanya. Ternyata dari Morgan.
"Mau kamu apa sih? Aku cuekin salah, aku baikin
salah"Morgan
"Maksud kamu?"tanyaku
"Kenapa tadi pulang duluan? Aku kan sudah
bilang, biar aku antar kamu pulang"Morgan
"Sorry, aku capek"elakku
"Alasan"balas Morgan
Aku malas menanggapinya. Aku masih terlalu kecewa
dengannya. Aku lebih memilih bersepeda ke rumah Reza dan mengajaknya bermain
catur.
Saat di sekolah, Morgan
menatapku dengan tatapan kesal. Padahal biasanya ia tak pernah mau menatapku.
Tapi aku berusaha bersikap se-normal mungkin. Pura-pura tidak tahu jika Morgan
melihatku. Saat jam istirahat, Morgan menghampiriku.
"Ayo ke kantin!"ajaknya dengan nada cuek
Aku hanya diam, memandangnya aneh.
"Ayo!"ajak Morgan lagi
"Kamu kesambet apa sih?"tanyaku
Tanpa menjawab pertanyaanku, Morgan menarik tanganku
dan membawaku ke kantin.
Sampainya di kantin,
Morgan memesankan makanan untukku. Setelah makanannya datang, Morgan segera
menyantapnya. Tak ada pembicaraan antara kami. Aku menatap Morgan dengan
tatapan penuh tanda tanya, hingga seseorang mengagetkanku.
"Fathin, kamu kok ninggalin aku sih? Kan aku
bilang tunggu bentar"ujar Vera mengagetkanku
"Maaf. Ya udah sini!"aku menepuk bangku
sebelahku yang kosong
"Bangku sebelah sana masih kosong. Kamu bisa
kesana saja kan?"ujar Morgan mengagetkanku
"Gan..."lirihku
Morgan menatapku tajam seolah memintaku untuk diam.
"Oh..oke. Sorry udah buat kalian
keganggu"ucap Vera kemudian pergi
Aku menatap hampa
kepergian Vera. Mataku kembali tertuju pada Morgan yang seolah tak merasa
bersalah.
"Morgan"panggilku
Morgan meletakkan sendok dan garpunya lalu
menatapku.
"Mulai besok kamu pindah tempat duduk!"suruh
Morgan
"Hah?"kagetku
"Terserah mau duduk dimana, yang penting nggak
sama cewek itu"Morgan menunjuk Vera
Aku menatap kesal kearah Morgan.
"Kamu ada masalah apa sih sama Vera? Kayaknya
kamu nggak suka banget sama dia"tanyaku
Morgan tak menjawab. Aku yang kesalpun memilih untuk
pergi. Morgan benar-benar gila, itu yang ku tahu.
Sore saat pulang
sekolah, hujan turun dengan lebatnya. Aku berteduh di pintu gerbang sembari
menunggu angkutan umum yang lewat.
"Fathin, ayo bareng aku aja!"ajak
seseorang
Ternyata itu adalah Vera. Aku menggeleng.
"Nggak usah Ver, rumah kita kan beda
arah"tolakku
"Nggak papa, ntar kita main dulu bentar. Boring
nih"Vera
Aku menatap mata sahabatku itu. Terlihat harapan
disana. Kemudian, aku menganggukkan kepalaku. Verapun mempersilahkan aku masuk
ke dalam mobilnya.
"Fathin!"panggil seseorang
Aku menoleh. Orang itu turun dari motornya lalu
berlari kecil ke arahku.
"Mau kemana?"tanyanya
Dia adalah Morgan.
"Main sama Vera"jawabku
Morgan melihat Vera yang kini berada di dalam mobil.
Sementara Vera menatapnya penuh kekesalan.
"Aku antar saja pulangnya"ujar Morgan
sembari menarik tanganku
"Kamu apaan sih?"kesalku
Morgan tak menghiraukan pertanyaanku. Dia memaksaku
segera naik ke motornya.
Sampainya di halaman
rumahku, aku segera turun dari motor Morgan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Fathin!"panggil Morgan
Aku menghentikan langkahku.
"Sudah aku bilangkan, jangan mau diajak pergi
Vera"ujar Morgan
Aku tak menghiraukannya. Aku memilih untuk segera
masuk ke rumah. Sampainya di dalam rumah, aku melihat kepergian Morgan dari
jendela ruang tamu. Andai saja dia tahu, sebenarnya aku ingin selalu dekat
dengannya. Tapi juga terkadang aku bingung dengan sifatnya. Terkadang dia baik
dan berbuat manis denganku. Tapi terkadang ia juga membuatku kesal.
Satu bulan kemudian,
hubunganku dengan Morgan mulai membaik. Meski kami tetap jarang tegur sapa saat
di kelas. Pagi ini aku mengikuti kegiatan memasak di sekolah. Selesai memasak,
aku menemui Morgan di kelas. Aku memberikan sepotong kue yang ku masak padanya.
Ia menatapku bingung, namun sesaat kemudian ia menerimanya lalu mulai
menyantapnya.
"Kurang matang"komentarnya
"Rasanya juga terlalu manis"tambahnya
Aku mengerutkan bibirku. Bisakah setidaknya dia
sedikit berbohong untuk menghargaiku? Aku rasa dia terlalu jujur dan
kejujurannya itu sangat menyebalkan.
"Kenapa? Memang rasanya begitu. Nih, habisin!
Aku nggak mau makan"ujar Morgan mengembalikan kue itu padaku
Aku mendengus kesal, kemudian pergi meninggalkannya.
Aku duduk di bangkuku, hingga tiba-tiba Bisma datang.
"Wah...kue tuh. Minta dong, Thin"ujar Bisma
Aku memberikan kue itu pada Bisma. Bismapun
mencicipinya.
"Hmm....enak banget. Ini kamu yang
masak?"tanya Bisma
"Masak sih? Bukannya kurang matang sama
kemanisan ya?"bingungku
"Sedikit. Tapi enak kok"Bisma
Aku tersenyum. Aku menoleh ke arah Morgan yang
terlihat asyik membaca bukunya.
"Kenapa sih lihatin Morgan mulu?"Bisma
Aku menatap Bisma, lalu menggeleng.
Saat jam istirahat, aku
membaca novel karya idolaku . Novel-novel buatannya selalu berhasil membuatku menangis
haru.
"Kamu baru baca novel itu? Di bioskop udah ada
loh filmnya"ujar Vera
Aku menatapnya serius.
"Oh ya?"tanyaku
Vera mengangguk.
"Bagaimana kalau nanti pulang sekolah kita
nonton filmnya?"ajak Vera
Aku berpikir sejenak.
"Eh bentar ya Thin, aku ke kamar mandi
dulu"pamit Vera
Aku mengangguk. Aku menoleh ke belakang, dimana
Morgan berada. Dia terlihat cuek, tak melihatku sama sekali. Aku menghela napas
panjang lalu melihat ke depan lagi.
Saat jam pulang
sekolah, Morgan menghampiriku. Dia menarik tanganku untuk pulang bersamanya.
Beberapa kali aku berontak dan mengatakan bahwa aku sudah ada janji, tapi
Morgan tak memperdulikanku. Dia tetap menarikku ke parkiran. Sampainya di
parkiran, dia memberikan sebuah helm padaku. Aku menatapnya kesal. Tidak bisakah
dia bersikap sedikit manis padaku? Dia selalu saja bertingkah semaunya sendiri.
Dia pikir dia siapa?
"Mau nonton kan?"tanya Morgan
Kini aku menatapnya bingung. Memberi kode jika aku
minta penjelasan.
"Film yang novelnya kamu baca tadi kan?"tanya
Morgan lagi
Aku masih tak menjawab. Kemudian, Morgan melirik
sekilas arlojinya.
"Empat puluh menit lagi filmnya
dimulai"ujar Morgan
Aku menganga melihat pria di hadapanku itu. Apakah
artinya dia mengajakku nonton bersama? Dengan segera, aku menerima helm itu
kemudian duduk dibelakang Morgan.
Sampainya di bioskop,
Morgan segera mengantri tiket. Beberapa menit kemudian, Morgan kembali membawa
dua tiket dan dua pop corn. Dia mengisyaratkanku untuk segera berdiri dan
berjalan bersamanya. Kami duduk di bangku nomor dua dari belakang. Morgan
memberikan satu pop corn itu untukku.
"Thanks"ujarku
Morgan membalasnya dengan senyuman. Beberapa saat
kemudian, film dimulai. Aku asyik menonton film itu. Beberapa kali, air mataku
terjatuh karenanya. Selesai menonton film, Morgan mengajakku makan di salah
satu restoran dekat gedung bioskop. Pukul 18.00, Morgan mengantarku pulang.
"Makasih ya Gan, buat hari ini"ucapku saat
kami sampai di halaman rumahku
Morgan mengangguk. Lalu pergi.
Malam harinya, aku
duduk di balkon kamarku. Aku melihat ke arah ribuan bintang di langit sembari
tersenyum, seakan tengah bercerita pada mereka. Bercerita tentang sikap manis
Morgan hari ini. Pria itu benar-benar membuatku gila. Sangat sulit untukku
sedetik saja menghapus bayangannya. Rasa apa ini sebenarnya? Aku belum pernah
merasa seperti ini. Terkadang, dia menyebalkan. Membuatku kesal dan malas
bertemu dengannya. Tapi sedetik kemudian ia bersikap sangat manis padaku.
Tiga bulan berlalu. Aku
dan Morgan masih berteman seperti dulu. Sore ini, Morgan mengajakku menonton
perlombaan basket. Morgan membawakanku cukup banyak makanan, lalu duduk di
sampingku. Aku mulai membuka cemilan-cemilan yang Morgan bawakan, dan
memakannya. Aku menengok kesamping. Terlihat seorang pria memberikan sebatang
coklat untuk gadisnya. Kebetulan, coklat adalah makanan kesukaanku.
"Gan"panggilku
Morgan menoleh ke arahku.
"Kamu nggak beliin aku coklat?"tanyaku
"Itu makanannya udah banyak kan?"tanya
Morgan
"Tapi, aku mau coklat"ujarku
"Aku nggak beli"Morgan
Aku mengerutkan bibirku.
"Sudah, makan saja yang ada!"suruh Morgan
Beberapa hari kemudian,
Morgan mengajakku makan siang. Dan kini, aku sudah sampai di restoran tempat
Morgan mengajakku bertemu. Tapi, setelah satu jam menunggu, Morgan tak kunjung
datang. Harusnya dia tahu, aku paling tidak suka menunggu. Apalagi dia cowok.
Harusnya dia yang datang lebih dulu. Hand phonenya juga tidak aktif. Aku
memutuskan untuk bangkit dari dudukku, berniat untuk pulang. Aku berjalan cepat
melewati pintu utama hingga,
"Fathin tunggu!"teriak seseorang
Aku menoleh. Terlihat Morgan berlari ke arahku.
"Maaf aku telat. Ayo masuk!"ajaknya
Tanpa menunggu jawabanku, dia menarik tanganku dan
duduk di tempatku menunggunya tadi.
"Maaf tadi aku ada urusan. Cepat pesan makanan!"Morgan
Aku menatapnya kesal.
"Aku capek ya nunggu kamu"kesalku
"Aku kan sudah minta maaf"ujar Morgan
tanpa merasa bersalah
Aku tak menjawabnya.
"Tadi aku ada urusan mendadak"tambah
Morgan
Aku melirik arlojiku.
"Maaf gan, aku ada janji sama
mamaku"pamitku kemudian berjalan cepat meninggalkan Morgan
Hari selanjutnya,
Morgan datang ke rumahku. Dia membawakanku kue keju yang cukup besar.
"Maaf kemarin aku buat kamu kesal"ujar
Morgan
Aku tersenyum lalu mengajaknya masuk ke dalam
rumahku.
"Kenapa pakai bawa kue sebesar ini sih
Gan?"tanyaku
"Ya kamu kan suka makan. Dari pada aku bawain
bunga nanti kamu malah ngamuk lagi"Morgan
"Kenapa nggak bawain coklat aja? Kan lebih
simple. Lagian, aku lebih suka coklat"aku
Morgan tak menjawabnya.
"Mmh...sorry Gan"ucapku meminta maaf
Kemudian aku dan Morgan berbincang cukup lama.
Satu tahun berlalu.
Seluruh siswa di sekolahku dinyatakan lulus. Begitupun aku, Morgan dan Bisma.
Tapi beberapa hari lalu, aku kehilangan Vera, sahabatku. Dia meninggal akibat
over dosis. Aku sempat shock saat mengetahui sahabatku itu pemakai narkoba. Aku
cukup terpukul dengan kepergiannya. Tapi kemudian, Morgan datang.
"Itu sebabnya selama ini aku larang kamu dekat
dengannya. Kamu tahu, dia pacarku saat SMP. Dan setelah aku telusuri, ternyata
dia pemakai narkoba dan miras. Jadi aku memutuskan hubungan kami"ujar
Morgan
Untuk merayakan
kelulusan kami, Morgan mengajakku makan siang di cafe kesukaanku. Lagi-lagi,
aku datang lebih dulu darinya. Aku memesan secangkir coklat hangat untuk diriku
sendiri. Beberapa menit kemudian, Morgan datang. Dia duduk di hadapanku
kemudian memesan minum.
"Maaf nunggu lama"Morgan
Aku tersenyum.
Setelah pesananku datang, aku menyeruput coklat
hangat itu sedikit kemudian menatap Morgan. Kami bercanda gurau cukup lama.
Hingga,
"Aku ngajakin kamu kesini bukan hanya untuk
merayakan kelulusan kita"ujar Morgan
Aku terdiam. Menunggu lanjutan ucapannya.
"Tapi juga....aku mau pamitan sama kamu. Lusa
aku berangkat ke Jerman dan kuliah disana"lanjut Morgan
"Kamu serius?"kagetku
Morgan mengangguk mantab.
"Tapi kenapa mendadak sih Gan?"tanyaku
"Maaf. Ini juga bukan pilihanku. Ini keputusan
orang tuaku"Morgan
"Dan satu lagi, aku dijodohkan dengan anak
sahabat mama ku di Jerman. Jadi, kemungkinan aku akan menetap
disana"lanjut Morgan
Entah kenapa, rasanya
sangat sakit mengetahui Morgan telah di jodohkan dan akan meninggalkanku
selamanya. Seperti ada yang mengganjal di hatiku. Tapi entah apa ini.
"Fathin, jaga diri kamu baik-baik ya! Aku
sayang banget sama kamu"ujar Morgan
Aku tak menjawab. Aku hanya berusaha tegar di
hadapannya. Sebisa mungkin, aku menyimpan air mataku. Agar ia tak tahu,
seberapa terlukanya aku saat ini.
......
Aku hanya tersenyum meningat memori masa SMA itu.
Tak lama kemudian Bisma duduk di hadapanku. Aku tersenyum kearahnya.
"Lagi mikirin apa sih? Morgan?"tanya Bisma
Aku mengangguk.
"Selama ini aku bertanya-tanya, sosok seperti
apa yang aku cari. Kisah cinta seperti apa yang ingin ku jalani. Tapi, apa
mungkin sosok itu adalah Morgan? Dan apa mungkin kisah yang ingin ku lalui itu
bersama Morgan?"tanyaku
Bisma tersenyum.
"Morgan tak pernah memberimu coklat seperti
yang kamu harapkan. Tapi dia memberi kamu sekelumit kisah rasa coklat yang akan
selalu kamu kenang"ujar Bisma
Aku mengerutkan dahiku, bingung atas ucapannya.
"Bukankah coklat memiliki rasa pahit di samping
kemanisannya? Sama halnya dengan Morgan. Kisahmu dengannya tak sepenuhnya
manis, namun juga tak semuanya buruk. Tapi memang coklat yang lezat itu yang
memiliki keduanya. Coklat yang terlalu manispun akan membuat penikmatnya merasa
enek memakannya"terang Bisma
Aku mulai memahami
kata-kata Bisma. Aku rasa, dia benar. Memang seperti itulah kenanganku bersama
Morgan dulu. Dan begitupun yang aku rasakan dengan secangkir coklat hangat di
hadapanku. Ada rasa pahit di samping rasa manisnya.
Terima kasih atas
kenangan rasa coklat yang kamu lukiskan di hidupku, Morgan. Semoga disana, kamu
bahagia dengan kehidupan barumu. Jangan lupakan aku, karena disini akupun
selalu mengenangmu. Karena kamulah, yang paling melekat di hatiku. Meski aku
tahu, aku tak akan dapat memilikimu untuk menemani hidupku.