Sabtu, 03 Desember 2016

cerpen-STAY WITH ME



STAY WITH ME

Sebatas aku yang mencintainya
Ya, aku mencintainya dan dia tidak
Dia hanya memandangku remeh
Dan aku menundukkan kepala saat kami bertemu
Aku menatapnya ketika ia sudah jauh
Selalu begitu dan aku tak bosan
Aku terus memetik senar gitarku sembari mencurahkan sepenggal kisah hidupku sebagai liriknya. Suasana sekitar cukup ramai. Dan aku yakin tak banyak yang mendengar suaraku itu. Namun aku terus bernyanyi, seolah aku menyanyi untuk diriku sendiri. Namun....
Tap. Aku berhenti bernyanyi. Beberapa orang yang tadinya mendengar nyanyianku kini menatapku aneh. Dan aku sadar akan hal itu. Tapi, aku masih membeku. Melihat seseorang yang membuatku mampu menciptakan lagu ini, kini tengah duduk tak jauh dari panggung tempatku bernyanyi. Yang ku tahu, dia kuliah di Prancis sejak tiga tahun lalu. Rafael. Namun sekarang aku melihatnya disini. Dan dia bersama seorang gadis yang sepertinya ku kenali. Mereka tengah asyik bercanda. Ku lihat Rafael menggenggam jemari gadis itu. Dan tak lama kemudian, gadis itu melepas genggaman tangan Rafael lalu memeluk tangannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Rafael seakan mempertegas jika Rafael adalah miliknya.
Namun bukan hal itu saja yang membuatku terkejut. Tapi keberadaan gadis itu. Bukankah dia Dina? Setahuku, Dina adalah kekasih Bisma, temanku di bangku kuliah. Dan setahuku, sampai sekarang mereka masih menjalin hubungan itu.
"Sstt...April!"suara itu membuyarkanku
Aku menatap ke arah sumber suara. Terlihat sahabatku, Ayu memberiku kode untuk melanjutkan nyanyianku.
Dua hari berlalu. Aku terus memikirkan kejadian dua hari lalu. Dina? Ya, aku sudah memastikan jika ia masih berstatus kekasih Bisma. Tapi kenapa ia terlihat begitu mesra dengan Rafael? Entahlah. Aku harus segera tersadar. Sebentar lagi rapat tahunan organisasi akan di mulai. Bisma selaku ketua dari organisasi pecinta seni pun memasuki ruang rapat. Aku menatapnya cukup lama. Namun sepertinya ia tak menyadari hal itu.
Setelah rapat selesai, aku bergegas mengemasi barang-barangku. Kemudian aku bangkit berdiri.
"April!"panggil Bisma
Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya seolah bertanya 'Ada apa?'
"Ada yang mau kamu bicarakan?"tanyanya
Ku rasa ia sadar jika tadi aku sempat memperhatikannya cukup lama. Aku menggeleng ragu.
"Aku duluan ya Bis. Aku ada kelas"pamitku
Dia mengangguk. Kemudian akupun segera pergi.
Sepulang kuliah, aku mendapati sahabatku semasa SMA, Vicky di depan gerbang. Akupun berlari kecil ke arahnya.
"Miss you April"ujar sahabat terbaikku itu sembari memelukku
"Miss you more"balasku
Kami memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Seorang pelayan mencatat pesanan kami sebelum akhirya dia pergi.
"Vick, kamu ingat Rafael?"tanyaku
"Ya. Kenapa? Kamu masih belum bisa move on?"Vicky
Aku mengangguk lesu. Sesaat kemudian aku tersadar.
"Tapi bukan itu masalahnya"ujarku cepat
Dia menatapku penuh tanda tanya.
"Dua hari lalu, aku mengisi acara di pesta Ayu, teman kita dulu. Dan aku melihat Rafael. Dan...dia bersama Dina"terangku
"Bukannya Rafael kuliah di luar negeri?"Vicky
Aku mengangguk.
"Tapi...tunggu! Dina? Bukan Dina pacar Bisma kan?"tanya Vicky tiba-tiba
"Aku rasa dia Dina pacar Bisma deh"jawabku
Vicky terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali bersuara.
"Maksud kamu, Dina selingkuh sama Rafael?"Vicky
"Aku nggak tahu Vick. Aku juga bingung"aku
"Ya kamu selidiki saja! Sekalian ajak Bisma. Dia juga harus tahu"Vicky
Aku memikirkan saran sahabatku itu. Haruskah aku memberi tahu Bisma? Tapi, bahkan aku tidak dekat dengannya. Bagaimana jika ia malah menuduhku berbohong nantinya?
Hari Minggu tiba. Sudah saatnya aku berkunjung ke orang tua keduaku, dokter Rinda. Seorang dokter yang telah merawat ku sejak aku bayi. Aku memasuki ruangannya. Dan beliau tersenyum ramah padaku.
"Bagaimana keadaan kamu sayang?"tanya beliau
Akupun menceritakan beberapa keluhanku pada beliau. Kemudian beliau mulai memeriksaku.
"Apa kamu sedang banyak masalah?"tanya beliau
Aku mengangguk ragu.
"Beberapa hari ini, saya banyak pikiran dok"aku
"Kamu tahu keadaan jantung kamu kan April? Kendalikan diri kamu, pikiran dan emosi kamu! Kamu harus memperpanjang usia jantung kamu"dokter Rinda
Aku tersenyum miris.
"Memang ada apa dok? Apa kondisi jantung saya memburuk?"tanyaku
Dokter Rinda mengangguk.
Sejak lahir aku mempunyai kelainan jantung. Dan kondisi itu semakin buruk saat aku mengalami kecelakaan, dan jantungku rusak. Namun aku tak memberitahukan hal ini pada siapapun. Hanya aku dan dokter Rinda yang mengetahui tentang kondisi jantungku pasca kecelakaan empat tahun lalu.
Dokter Rinda menuliskan resep obat untukku. Kemudian ia menyerahkan selembar kertas itu padaku. Begitu banyak obat yang harus aku tebus. Dan memang selalu begini sejak empat tahun terakhir.
"Sampai kapan saya harus meminum obat ini? Bahkan tak pernah ada kemajuan meski saya terus meminumnya"ujarku lirih
"Setidaknya obat itu mampu memperpanjang usia jantungmu, April"dokter Rinda
Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berpamitan untuk pergi. Saat di apotek, aku melihat Rafael. Dan sepertinya dia juga melihatku. Dia menghampiriku.
"Siapa yang sakit?"tanyanya
"Hah? Oh aku cuma mau nebus obat mama yang lagi flu"dustaku
Dia mengangguk kemudian berlalu.
"Raf"panggilku
Dia menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kamu...ada hubungan apa dengan Dina?"tanyaku hati-hati
"Dina? Dia kekasihku. Ada apa?"dia menjawabnya sembari tersenyum
"Tidak. Sudahlah"ujarku kemudian berlalu
Ya. Aku sadar. Aku tak ada artinya bagi Rafael. Dia bisa mengucapkannya seenteng itu meski ia tahu jika aku mencintainya. Aku rasa itu haknya. Dia memang terlalu jujur meski kadang terasa menyakitkan bagiku.
Aku duduk di bangku paling pojok sebuah restoran. Setelah memesan makanan, aku memainkan hand phoneku untuk menghapus pikiran negatifku tentang Dina. Karena itu hanya akan memperpendek usiaku.
"Kamu kok sendiri Pril?"ujar seseorang
Aku menoleh ke arah sumber suara. Dia mengambil posisi duduk di hadapanku tanpa meminta persetujuanku. Dia adalah Bisma.
"Ya memang aku harus pergi dengan siapa?"tanyaku cuek
"Oh iya. Kamu kan gagal move on ya? Mana mungkin mau pergi sama cowok lain?"ejeknya
Aku menatapnya kesal.
"Siapa namanya? Rafael? Ya Rafael"lanjutnya masih dengan nada ejekan
"Apaan sih? Lagian dia udah punya cewek"ujarku spontan
Ya. Aku baru ingat. Kekasihnya adalah kekasih Bisma juga. Aku harus menutup mulutku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh meskipun aku memang masih mencintai Rafael. Aku tidak ingin ia membenciku.
"Oh ya? Siapa? Jangan bilang kamu jealous?"Bisma
"Sudahlah Bis!"kesalku
Dia tertawa renyah kemudian mengacak-acak poniku.
"Kamu itu sudah seperti adikku sendiri. Jangan kebanyakan sedih ya! Nanti kakaknya ikut sedih"ujarnya
Aku menatapnya bingung. Ku rasa, selama ini kami tak pernah dekat. Dan dia malah menganggapku seperti adiknya? Bodoh.
Aku berbincang cukup lama dengan Bisma. Pesanan kamipun sudah datang. Dan kami masih asyik membicarakan banyak hal.
"Memang kamu pikir aku dekat dengan siapa? Aku tidak pernah menceritakan hal pribadi pada siapapun, kecuali kamu dan Dina. Dina kan pacar aku, jadi lebih baik aku anggap kamu adikku. Jadi adik kesayangan yang baik ya!"ujarnya sembari mencubit pipiku
"Berhenti membuatku kesal Bis!"protesku
Dia malah kembali tertawa.
"Bis, memang kamu cinta banget sama Dina?"tanyaku hati-hati
"Iya dong. Aku ini tipe cowok setia"Bisma
Sayangnya pacarmu enggak Bis. Entah mengapa, aku menaruh simpati padanya setelah ia mengatakan jika ia menganggapku seperti adiknya sendiri.
"Udah selesai kan? Biar aku yang traktir. Aku duluan ya"pamit Bisma kemudian pergi
Aku kembali terngiang kata-kata Bisma, 'Aku anggap kamu adikku. Jadi adik yang baik ya!'
"Bis!"panggilku
Aku berlari kecil ke arahnya. Kemudian berdiri di hadapannya.
"Ada apa?"tanyanya
"Ak...aku.. Aku...maaf Bis"gugupku
"Ada apa sih?"bingung Bisma namun masih mengukir senyumnya
"Seminggu lalu aku melihat Dina bersama Rafael. Kata Rafael, Dina pacarnya"ucapku cepat
Maaf. Maaf jika aku terlalu ikut campur urusan kalian. Hanya saja, mendadak aku tak ingin melihat Bisma terkhianati. Aku merasa tak rela, dan itu bukan karena Rafael, melainkan Bisma.
"Mungkin yang kamu lihat Dina yang lain. Lagipula kamu tak begitu mengenalnya bukan?"Bisma
"Enggak Bis. Aku yakin itu Dina pacar kamu"balasku
Bisma menatapku dingin.
"Aku akan memastikannya sendiri"ujar Bisma kemudian pergi
Astaga....apakah ia tidak mempercayaiku? Dan dia menganggapku berbohong? Bodohnya aku. Harusnya aku tidak ikut campur masalah itu.
Hari berganti. Aku duduk di sebuah kursi di dalam cafe dekat kampusku. Aku menyeruput cappucinoku perlahan. Namun seseorang berhasil membuatku tersedak. Dia adalah Bisma. Dan dia langsung duduk di hadapanku.
"Ada apa?"tanyaku
"Kamu benar. Aku salah menilai Dina"ujarnya dengan raut wajah kecewa
Ku rasa Bisma sudah mengetahui kebenarannya.
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan?"tanyaku
"Aku sudah membuka gedoknya. Aku yakin Rafael akan segera ke sisimu"Bisma
Aku menggeleng cepat.
"Maksudku bukan itu"aku
Dia menatapku sendu.
"Aku nggak bisa sama Rafael lagi, Bis. Aku...aku akan segera pergi"lanjutku
"Kamu mau kemana?"tanya Bisma cepat
"Bisakah kamu membawaku pergi?"tanyaku
Dia menyeritkan alisnya.
"Aku sakit Bis. Usiaku tak panjang lagi. Aku tidak mau orang tua dan mereka yang menyayangiku sedih ketika aku pergi nanti"lirihku
"Sakit? Sakit apa? Kamu jangan bercanda deh!"Bisma dengan nada khawatir
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
"Tapi kenapa aku?"Bisma
"Aku tidak tahu harus pada siapa aku minta tolong. Aku cuma percaya sama kamu. Aku yakin kamu juga akan menjaga rahasia ini"jawabku
Bisma terdiam. Ia nampak berpikir. Sesaat kemudian ia bangkit berdiri dan pergi.
Dua minggu berlalu. Rasa sakit itu kian menyiksaku. Aku masih terus meminum obat itu. Namun sepertinya semakin lama obat itu semakin tak berpengaruh padaku. Sinar matahari yang terik menusuk kulitku. Cahayanya minyilaukan mataku. Aku menahan rasa sakit itu sebisa mungkin, aku tak ingin seorangpun tahu tentang rasa sakit ini. Tubuhku terasa semakin ringan. Dan aku menghentikan langkahku. Aku terpenjat saat ku rasa tubuhku di angkat oleh seseorang. Dia adalah Bisma. Aku menatapnya bingung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Perlahan, aku membuka mataku. Ku lihat Bisma masih setia di sampingku. Ia tengah membaca buku hingga tak menyadari jika aku sudah bangun.
"Bis..."panggilku pelan
"Lusa kita akan berangkat ke Bandung"ujarnya singkat
Aku tercengang dengan ucapannya.
"Semua sudah aku urus. Kamu hanya perlu menahan rasa sakit itu hingga lusa. Dan setelah itu kamu tidak perlu lagi merahasiakannya"lanjut Bisma
Dua hari berlalu. Aku dan Bisma baru saja sampai di sebuah villa di Bandung. Dia membawakan barang-barangku dan masuk ke dalam villa itu. Aku terkejut saat melihat Vicky disana.
"Vicky?"kagetku
"April!"ujar Vicky kemudian memelukku sangat erat
Ku rasakan sahabatku itu menjatuhkan air matanya di bahuku. Aku menatap Bisma penuh tanya.
"Dia sudah tahu semuanya. Maaf. Aku cuma ingin kamu tak merasa kesepian. Dia juga sangat menyayangimu Pril"Bisma
Aku mengangguk kemudian membalas pelukan sahabatku itu.
Waktu makan malam telah tiba. Bisma duduk di sampingku. Ia mengambilkanku makanan. Sepertinya, dia tahu betul apa yang boleh ku makan dan apa yang tak boleh ku makan. Kedua sahabatku ini berusaha menyesuaikan diri dengan keadaanku.
"Makannya pelan-pelan aja!"ujar Bisma sembari tersenyum
Aku mengangguk.
Baru beberapa suap aku makan, rasa sakit itu kembali menjalar di dadaku. Aku berusaha menahannya. Aku tak mau mengganggu makan malam Bisma dan Vicky. Ku rasakan keringat mulai menetes dari keningku.
"Pril, kamu kenapa?"tanya Vicky khawatir
Bisma segera mengalihkan pandangannya padaku. Lalu ia berdiri dan berlari mencari obatku. Kemudian ia kembali dan membantuku meminum obat.
"Aku tidak papa. Lanjutkan saja makan malamnya!"ujarku
Vicky mendekatiku dan menghapus keringatku.
"Vick, bantu April ke kamar, biar aku panggilkan dokter"Bisma
Aku menahan lengannya.
"Aku nggak papa Bis. Kamu cuma belum terbiasa melihatku seperti ini"ujarku
Bisma menatapku sendu kemudian mengangkat tubuhku dan membaringkanku ke tempat tidur.
"Sudah ku bilang, kamu tidak perlu menahannya lagi"Bisma
Vicky dengan setia menemaniku. Bahkan ia membantuku melakukan apapun yang tak bisa ku lakukan sendiri.
Tiga hari kemudian, aku memainkan gitarku sembari duduk di halaman belakang villa. Aku mencatat beberapa not hingga menjadi nada dan menyusun nada itu hingga menjadi sebuah lagu.
"Lagu yang indah"puji Bisma yang tiba-tiba datang
"Bantu aku membuat liriknya"ujarku
"Kamu kan tahu, aku tidak tahu soal musik"Bisma
"Tapi kamu adalah ketua organisasi pecinta seni. Setidaknya kamu harus belajar"aku
Bisma menatapku dalam. Aku tersenyum kemudian menyerahkan gitarku padanya. Ia menatapku penuh tanya. Namun ia segera mengerti setelah aku memberikan buku catatanku padanya.
"Aku nggak bisa"keluhnya
Kemudian aku mulai mengajarinya memainkan gitar. Aku tersenyum melihat kegigihan Bisma belajar. Namun rasa sakit itu kembali muncul. Dan aku tidak mau mengganggu Bisma.
"Bis aku ambil minun dulu ya!"pamitku
Ia mengangguk dan tersenyum.
Kemudian aku berjalan masuk ke dalam villa.
Rasanya sangat sakit. Jauh lebih sakit dari sebelumnya. Rasa sakit itu menjalar hampir ke seluruh tubuhku. Kaki dan tanganku gemetar. Aku merasa seperti terbang, tubuhku ringan dan....
"Prang......."
Tak sengaja, aku menjatuhkan guci dan terjatuh.
"April!"pekik Bisma
Ia berlari ke arahku dan mengangkatku menuju sofa. Ia bergegas mengambil obat dan kotak P3K. Lalu ia membantuku minum obat. Selesai membantuku minum obat, ia membersihkan luka di tanganku akibat terkena pecahan guci. Astaga! Banyak sekali darahnya. Dan aku baru sadar karena sedari tadi hanya memikirkan jantungku.
"Sudah ku bilang berulang kali, jangan tahan rasa sakit itu! Biarkan aku tahu jika kamu sedang kesakitan!"ujar Bisma
Ku lihat matanya memerah. Apakah dia sedang menahan tangis?
"April! Apa yang terjadi?"kaget Vicky
Bisma segera pergi setelah Vicky datang. Aku tak tahu, mau kemana ia pergi. Dan ku rasakan setetes air mataku terjatuh ketika melihat Bisma yang melangkah menjauh.
Hari menjelang sore. Aku merasa bosan. Aku duduk sendirian di balkon kamar. Vicky tengah memasak makan malam untuk kami, dan aku tidak boleh membantunya akibat kejadian tadi siang.
"Aku minta maaf"ujar seseorang mengagetkanku
"Bisma?"kagetku
Dia duduk di sampingku.
"Bis.. Aku mau jalan-jalan. Antarkan aku ke tempat yang indah"pintaku
Bisma menatapku sendu. Nampaknya ia ragu. Namun tak lama kemudian ia membantuku berdiri dan menggandeng tanganku.
Bisma membawaku ke sebuah air tejun. Ia membantuku duduk di atas rerumputan.
"Kamu suka?"tanyanya
Aku mengangguk mantab.
Ia tersenyum. Kemudian memberiku sebuah kerikil.
“Kumpulkan semua beban hidupmu pada kerikil itu lalu lempar sejauh mungkin!"ujarnya
Aku menutup mataku, seakan memberikan semua beban yang ku rasakan pada kerikil itu. Lalu aku membuka mata dan melemparkan kerikil itu sejauh mungkin. Bisma kembali tersenyum.
"Bis...makasih ya"ujarku
Bisma menoleh ke arahku.
"Berkat kamu dan Vicky, semua jadi tak terlalu berat. Aku bisa menjalaninya"lanjutku
Ia menggenggam tanganku.
"Kamu jangan takut, kamu tak pernah sendiri. Aku akan selalu ada untuk kamu"Bisma
Aku tersenyum dan menatap manik matanya dalam. Dia terkejut melihatku.
"Ka..kamu sakit? Ayo kita pulang!"ajaknya
Baru saja ia hendak mengangkat tubuhku, aku menahannya.
"Aku ingin disini. Terima kasih sudah mengantarkanku ke tempat yang indah. Terima kasih sudah memberiku cerita yang indah. Terima kasih sudah meluangkan waktumu dan mengubah waktu-waktuku menjadi indah"lirihku
Bisma menghapus keringat di keningku. Sepertinya ia tahu, apa yang kini tengah ku rasakan meski aku tak memberi tahunya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Aku tidak ingin menahannya. Sekali saja, aku ingin membaginya. Rasanya sakit Bis. Sakit sekali. Rasanya jantungku mau meledak"ungkapku
Bisma menggenggam erat jemariku.
"Terus! Teruslah salurkan rasa sakitmu itu! Jangan kamu menahannya sendiri!"ku rasakan suaranya bergetar
Aku hendak mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya, namun ia menahannya.
"Teruslah membagi rasa sakit itu hingga kamu tidak lagi merasakan sakit!"lirihnya
Ku rasakan air mataku menetes. Terus menetes merasakan tangan Bisma yang menggenggamku bergetar. Baru kali ini aku membagi rasa sakitku. Baru kali ini aku tak sendirian dalam merasakan sakit ini. Air mataku masih terus menetes. Rasa sakit itu perlahan menghilang, dan aku tak dapat merasakan apapun lagi.

Satu tahun berlalu........

Aku selalu suka mendengarkan lagu itu. Lagu yang nadanya aku ciptakan dan kini liriknya telah Bisma isi. Dan dia juga yang kini menyanyikannya di sebuah cafe. Bisma baru saja di wisuda beberapa hari lalu. Tapi nampaknya ia enggan mencari pekerjaan. Ia lebih suka bernyanyi di cafe milik orang tuanya. Dan yang selalu ia nyanyikan adalah lagu-lagu yang ku ciptakan dan ku tulis di buku laguku. Dia kini telah pandai memainkan alat musik. Aku senang melihatnya seperti ini. Dapat menikmati hidup, dan bangkit dari keterpurukan setelah kepergianku setahun lalu. Aku senang dapat terus melihatnya meski ia tak kan dapat melihatku. Tapi aku yakin, dia juga merasakan keberadaanku. Terima kasih, Bisma. Kamu sudah bertahan disisiku hingga detik terakhir. Terima kasih kamu mau datang dan tetap tinggal di tengah kepedihanku.

END

Selasa, 28 Juni 2016

Cerpen-Bukan Sekedar Mimpi



Bukan Sekedar Mimpi

Sudah lebih dari lima buku yang ku baca hari ini. Semuanya sama, berhubungan dengan "Kanker". Kanker apapun itu, sepertinya menarik bagiku. Bukan karena aku, atau orang yang ku cintai mengidap penyakit mematikan itu. Namun entah apa dan kenapa sehingga aku sangat tertarik untuk mempelajarinya.
Aku adalah siswi kelas 2 SMK. Aku mengambil salah satu cabang ilmu kesehatan untuk ku pelajari, yaitu Analis Kesehatan. Di perpustakaan sekolah tak cukup banyak buku yang membahas tentang kanker. Karena memang, hal-hal seperti itu terlalu rumit untuk di pelajari siswa bangku SMK. Namun, sedikit-sedikit aku juga dapat pelajaran tentang kanker. Terutama di mata pelajaran Immunologi dan Biologi.
Hampir setiap hari, aku membaca artikel tentang kanker yang hingga saat ini sulit disembuhkan. Banyak manusia yang meninggal karenanya. Faktornya, tak hanya berasal dari kebiasaan manusia tersebut. Namun juga bisa karena keturunan, atau bahkan paparan zat luar yang di tularkan orang di sekelilingnya, misal asap rokok. Tak adil memang, jika seseorang mengidap penyakit seperti itu karena kesalahan orang lain. Apalagi, jika korban itu merupakan orang yang baik hati dan cerdas.
Telah banyak film ataupun novel yang menggambarkan tentang penderitaan yang diakibatkan penyakit itu. "Surat Kecil Untuk Tuhan" misalnya. Film yang diangkat dari novel best seller karya Agnes Davonar itu mampu membuatku berderai air mata setiap melihatnya. Hingga kini, ku rasa aku sudah menontonnya lebih dari sepuluh kali. Tak ada rasa bosan yang menghinggapiku. Rasa simpatiku tehadap Keke, tokoh dalam cerita itu tak dapat ku gambarkan dengan kata-kata. Seorang gadis muda, cantik, pintar, baik hati dengan ribuan mimpi diangannya harus menghadapi musibah seberat itu. Bagiku itu sungguh tidak adil. Seharusnya ia dapat menggapai semua mimpinya dan menjadi seseorang yang hebat sekarang. Namun penyakit itu telah merenggut mimpi-mimpinya.
Bukan aku menyalahkan takdir. Memang, setiap orang memiliki jalannya sendiri-sendiri. Tapi bukankah kata "Kanker" itu sangat mengerikan? Tak bisakah aku menjadi seseorang yang dapat mengalahkannya dan menyelamatkan jutaan jiwa?
Aku pernah menonton kisah Terry Fox. Seorang pemuda Canada idaman para wanita yang kaya dan merupakan atlet basket di kampusnya. Pria itu mengidap kanker tulang yang mengharuskannya kehilangan setengah dari salah satu kakinya. Untung saja, ia tak patah semangat saat semua ujian itu tiba. Dan ketika ia bertemu dengan anak-anak yang senasib dengannya, hatinya tersentuh. Ia berpikir untuk membuat orang lain tak bernasip sama dengannya. Semua hartanya ia sumbangkan dalam sebuah penelitian untuk menemukan obat kanker. Karena dirasa kurang, ia melakukan marathon untuk mendapat simpati masyarakat Canada untuk ikut menyumbangkan dana. Namun sayang, di tengah perjalanan ia harus mengalah dengan penyakitnya. Kanker yang ia derita telah sampai di paru-parunya. Namun dana yang ia hasilkan dalam kegiatan itu tak sedikit jumlahnya. Ia berhasil. Meski ia tak sempat merasakan keberhasilannya, namun jutaan orang akan selalu mengingatnya atas kerja kerasnya itu.
Namun yang aku tahu, hingga kini kanker masih banyak menelan korban. Bahkan tak sedikit anak-anak yang mengidapnya. Ada dorongan di hatiku untuk menghentikan penderitaan mereka. Ada keinginan di hatiku untuk melanjutkan perjuangan Terry Fox. Tapi apakah aku bisa? Bahkan aku tak punya apapun. Yang ku tahu hanya terus mempelajarinya, bersekolah di jalurnya, dan mendapat kepercayaan orang-orang bahwa aku mampu menemukan obat untuk kanker.
Akhirnya, aku sampai di kelas terakhir pendidikan SMK ku. Ya, aku naik ke bangku kelas 3. Aku mulai mengikuti les mata pelajaran ujian, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dan Allhamdulillah, tak mengecewakan hasilnya. Meski tak sempurna, tapi aku tetap sangat mensyukurinya.
Kini waktunya bagiku mencari tempat kuliah. Yang ku tahu, Biomedik adalah salah satu program studi yang dapat membantuku untuk menemukan obat kanker. Tapi, hanya ada di strata dua dan tiga saja. Dan untuk melanjutkan kesana, aku harus masuk program strata satu yang berhubungan dekat dengan Biologi dan Kimia.
Biologi Murni? Sepertinya menarik. Dengan masuk Biologi pula, aku dapat mengejar ketertinggalan materiku dari anak-anak SMA IPA. Dan setelah itu, aku bisa melanjutkan studi ke strata dua Biomedik.
Aku mulai mendaftarkan diriku ke dua universitas negeri dengan jalur SBMPTN. Keduanya, aku mengambil program studi Biologi. Aku sudah yakin dengan pilihanku. Menurutku Biologi adalah cabang ilmu yang paling mampu membantuku untuk menjadi seorang Biomedik.
Jelang beberapa hari sebelum tes SBMPTN diadakan, aku mendapat kabar bahwa program strata satu Biologi dan program lain Fakultas MIPA hanya bisa diikuti oleh lulusan SMA IPA saja. Rasanya, aku benar-benar terjatuh. Aku tidak tahu, apa yang bisa ku lakukan. Kemudian aku mencari informasi tentang diploma empat Analis Kesehatan di wilayahku. Aku dapat informasi jika untuk masuk kesana, aku harus mengerjakan tes dengan materi anak SMA IPA pula.
Keluarga serta teman-temanku menyarankanku untuk mundur. Aku bisa saja kuliah di universitas swasta yang cukup baik di kotaku. Tapi, tidak di Biologi Murni. Mereka semua juga memintaku untuk mengganti impianku, bukan lagi untuk menjadi Biomedik. Jelas aku menolaknya. Bagiku, Biomedik bukan sekedar cita-cita. Biomedik adalah kekuatan dan sumber semangatku untuk terus melangkah. Lalu aku memutuskan untuk melanjutkan usahaku untuk masuk Biologi dan Analis Kesehatan.
Hari demi hari, ku lalui dengan tumpukan buku dan latihan soal SMA IPA milik tetanggaku. Rasanya sangat susah. Terlalu banyak materi yang asing bagiku. Di tambah lagi, aku sudah terlalu down untuk menyerap ilmu. Aku sudah terlanjur jatuh, kalah sebelum berperang. Aku tak yakin aku bisa melakukannya dengan baik. Bahkan disetiap aku menemukan soal yang susah, rasa sesak kembali menyelimutiku. Ketakutanku datang lagi dan membuatku seolah seperti orang hampir gila.
Hari dimana tes SBMPTN dilaksanakan telah datang. Aku berusaha mengerjakannya semaksimal mungkin. Aku tahu, syaratnyapun tak dapat ku penuhi. Materi ujianpun banyak yang tak dapat ku kuasai. Tapi yang ku tahu hanya terus berusaha mendapatkan mimpiku, Biomedik.
Beberapa hari kemudian, aku mengikuti tes masuk program diploma empat Analis Kesehatan. Sama halnya dengan tes SBMPTN, soalnyapun sangat sulit bagiku. Tapi aku tetap menyelesaikannya semampuku.
Setiap hari, aku berdoa agar ada keajaiban dan agar aku tak kehilangan mimpiku. Aku memohon pada Tuhan untuk mengabulkan mimpi besarku itu. Aku tahu, aku bukanlah orang yang cerdas, rajin, atau kaya. Aku hanya orang biasa, dengan kemampuan standar dan anak dari keluarga sederhana. Kekuatanku hanya niat, doa, dan keberanian untuk terus melangkah. Aku yakin, Tuhan akan membantuku dalam setiap langkahku ini.
Hasil tes yang ku ikuti beberapa minggu lalu telah keluar. Sayang, aku gagal di keduanya. Aku pulang dengan air mata yang terus menetes dipipiku. Sampainya di rumah, aku masuk ke dalam kamar dan meluapkan kekecewaanku. Inikah hasil yang harus ku terima? Apa aku kurang maksimal dalam berusaha? Lalu apa yang harus aku lakukan kini?
Seperti yang ku bilang, Biomedik bukan sekedar cita-cita bagiku. Aku tak mengejar dan tak peduli berapa penghasilanku kelak. Yang aku pedulikan hanya suatu saat aku bisa menemukan obat kanker. Banyak orang akan mempercayaiku dan membantuku jika aku mempunyai ilmu yang mumpuni dan gelar yang tinggi. Tapi nyatanya, aku telah kalah di langkah pertamaku.
Hampir seminggu, aku nyaris tak keluar dari kamarku. Selama itu aku keluar kamar hanya untuk sekedar mandi, wudhu, dan makan. Selebihnya, aku memilih mengurung diri di dalam kamar. Suatu hari, ibuku datang dan memberikan brosur universitas swasta yang tempo hati beliau sarankan. Aku hanya membacanya sekilas lalu menggeleng. Aku belum siap dengan kegagalan lagi. Aku masih terlalu takut untuk melangkah. Tapi ibu terus meyakinkanku jika aku mampu. Hingga aku memutuskan keluar dari kamarku.
Aku melangkahkan kakiku melewati deretan buku yang tertata rapi. Aku memilih beberapa referensi yang dapat ku pelajari untuk masuk universitas rekomendasi ibu. Setelah mendapat dua buah buku yang sesuai, aku pergi ke ruang membaca. Tak ada bangku kosong disana. Kemudian aku melihat pojok ruangan. Ada sebuah kursi kosong. Aku berjalan kesana, kemudian duduk dan mulai membaca bukuku.
"Mau masuk universitas ya?"tanya seseorang
Aku menoleh kemudian tersenyum ramah padanya
"Kenapa?"tanyanya
"Kenapa apanya?"tanyaku dengan bahasa tidak formal, karena ku rasa ia seumuran denganku
"Kenapa kamu nangis sampai mata kamu sembam seperti itu? Diputusin pacar ya? Atau...ditinggal pacarnya? Atau..."tebaknya terpotong
"Maaf. Bukan itu alasannya"potongku
Pria dihadapanku mengangguk ragu. Dia meletakkan buku bacaannya di meja, kemudian menatapku.
"Sepertinya saat ujian SBMPTN kemarin aku melihatmu"ujarnya
Huft...lagi-lagi aku harus mengingatnya. Moodku hilang begitu saja. Aku menutup buku bacaanku dengan kasar kemudian berdiri, hendak pergi.
"Tunggu! Apa aku salah lagi?"tanya pria itu
Dia menghampiriku. Dia menatapku yang hendak menangis.
"Aku, berbicara tidak sopan ya?"tanyanya ragu
Aku menggeleng.
"Tidak. Hanya saja seharusnya kamu tak membahas itu di hadapanku"ujarku lirih
Dari matanya, terpancar penyesalan yang mendalam. Ia memberikan sebuah sapu tangan untukku setelah kami berbincang cukup lama di taman.
"Kamu tidak gagal, hanya kurang beruntung saja. Lagi pula, Allah tidak pernah salah menentukan takdir seseorang. Jika kamu tidak di terima di universitas yang kamu mau, berarti itu bukan jalan kamu"ujarnya
Aku menghentikan tangisanku, kemudian menatapnya. Bisma. Namanya adalah Bisma. Dia memiliki mata yang indah dan senyum tipisnya meluluhkan.
"Masih banyak jalan untuk kamu bisa jadi Biomedik. Tugas kamu sekarang mencarinya"Bisma
Aku mengangguk paham.
"Makasih ya Bis, udah bikin aku baikan"ujarku
Bisma mengangguk. Kemudian Bisma mengajakku ke sebuah mini market. Ia membelikan ice cream coklat untukku.
"Dinginnya ice bisa mendinginkan otakmu dan membuatnya kembali rileks"ujarnya memberikan ice itu
"Dan rasa coklat bisa sedikit memperbaiki mood kamu yang hancur"lanjutnya
Aku tersenyum kemudian memakan ice cream coklat itu.
Hari itu, aku mendapat sahabat baru. Bisma. Dia mampu menenangkan hatiku. Membuat kekacauan di hatiku membaik. Dan aku tak perlu merasa kesepian lagi karenanya.
Satu tahun berlalu. Aku berhasil di terima di universitas swasta yang disarankan ibuku. Aku juga mulai menikmatinya. Lagi pula, ini sejalur dengan jurusanku saat SMK. Ya. Aku mengambil diploma empat Analis Kesehatan. Kurasa, dari Analis Kesehatan pun aku dapat melanjurkan cita-citaku sebagai Biomedik.
Siang ini aku dan Bisma bertemu di perpustakaan. Kami duduk di tempat pertama kali kami bertemu. Kami sama-sama asyik dengan bacaan masing-masing.
"Kamu sudah berubah dari Arini yang ku kenal saat pertama kali dulu"ujar Bisma
Aku tersenyum mendengarnya.
"Berubah gimana?"tanyaku
"Kamu Arini yang periang dan penuh semangat. Kalau dulu aku ragu kamu bisa jadi Biomedik. Tapi sekarang? Bagaimana bisa orang sepertimu gagal?"Bisma
"Berkat kamu juga Bis. Jangan terlalu menyanjungku! Nanti kalau aku terbang ketinggian sakit kalau jatuh"jawabku
"Tenang saja, aku selalu ada saat kamu jatuh. Dan sebisa mungkin, aku akan mengobati lukamu"Bisma
Lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum. Dia memang sahabat terbaik yang pernah ku miliki.
Di suatu sore, Bisma mengajakku bertemu di sebuah cafe. Dia memberiku sebuah buku tentang Kanker Darah atau Leukemia.
"Semoga bisa bantu kamu ya"Bisma
"Makasih Bis. Kamu memang bisa mengerti apa yang ku inginkan tanpa aku bilang. Dan kepedulianmu membuatku yakin jika aku tidak sendiri"ujarku
Kemudian kami meminum kopi yang tersedia.
"Ini juga buat kamu"Bisma
Aku membukanya.
"Wah...kue coklat. Kamu kok sering banget ngasih aku sesuatu yang berbau coklat? Kamu tahu saja jika aku suka coklat"aku
Bisma tersenyum manis padaku.
Bisma masih setia menungguku membaca. Aku duduk santai bersandar di pohon. Dan tentu saja, Bisma berada di sampingku. Sesaat kemudian, Bisma pamit padaku untuk pergi sebentar. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan bacaanku. Beberapa saat kemudian, Bisma datang membawa ice cream coklat untukku.
"Istirahatin dulu otak kamu!"suruh Bisma sembari kembali duduk di sampingku
Kami mulai memakan ice cream masing-masing.
"Sekarang, apa yang ada di pikiran kamu?"Bisma
Aku menatapnya bingung.
"Maksudnya?"aku
"Yang kamu pengen"Bisma
"Aku pengennya sih bisa lanjut S2 ke luar negeri"ujarku
Bisma menatapku. Matanya menatap dalam manik mataku.
"Kenapa? Kamu nggak harus nurutin itu kok. Kamu bantu dan menemaniku belajar saja sudah lebih dari cukup"lanjutku
Bisma tersenyum kemudian mengacak-acak poniku.
"Aku yakin kamu bisa"Bisma
Tiga tahun berlalu. Acara wisuda baru saja selesai ku lewati. Allhamdulillah, aku berhasil meraih peringkat dua. Kedua orang tuaku sangat bangga terhadapku. Ibu mengajakku segera pulang, tapi aku menolak.
"Sebentar Bu, Arini lagi nunggu temen"tolakku
Tapi karena didesak terus-menerus, akhirnya aku mau pulang. Di sepanjang perjalanan pulang mataku terus mencari sosok Bisma. Dia sudah berjanji untuk datang ke wisudaku. Tapi nyatanya ia tak juga datang.
Sekarang waktunya bagiku untuk mencari jenjang pendidikan lanjutan. Strata 2 Biomedik. Aku mulai mencari informasi tentang jurusan itu. Syarat-syaratpun mulai ku kumpulkan. Tak hanya itu, aku juga harus mencari kerja. Tak mungkin aku menyia-nyiakan gelar sarjana ini begitu saja. Bagaimanapun, aku juga ingin segera membahagiakan kedua orang tuaku.
Tiga hari pasca wisudaku, Bisma mengajakku bertemu di sebuah cafe. Awalnya aku menolak karena hari ini aku akan mendaftarkan diri di suatu Perguruan Tinggi Negeri. Tapi Bisma mendesakku. Lagi pula, aku juga sangat merindukan sahabatku itu. Aku bisa seperti ini juga karena dia. Kemudian, aku menerima ajakannya.
Hampir setengah jam aku menunggu, Bisma tak kunjung datang. Awalnya aku berniat untuk pulang. Tapi tiba-tiba Bisma datang. Ia meminta maaf padaku karena datang terlambat.
"Ada apa?"tanyaku
"Ini, kado atas kelulusan kamu"Bisma memberiku bingkisan
Aku mengerutkan keningku, bingung dengan tingkah anehnya. Sementara ia masih terus tersenyum padaku.
"Kemana kamu waktu aku wisuda? Katanya mau datang. Tapi, nyatanya kamu tidak ada"kesalku
Senyum tipisnya pudar melihat kekecewaanku.
"Maaf deh soal itu. Yang penting, sekarang kamu buka dulu ya kadonya!"suruh Bisma halus
Aku menghela napas berat. Aku begitu penasaran, apa isi bingkisan ini.
"Buruan! Aku yakin kamu bakal suka"ujar Bisma
Perlahan, aku membukanya. Isinya sebuah coklat besar berbentuk hati dan bingkai foto yang masih kosong. Lagi-lagi, aku mengerutkan keningku.
"Itu di dalam masih ada lagi"Bisma
Kemudian tanganku meraih sebuah amplop besar dan membukanya. Mataku membolat sempurna. Aku sungguh tak percaya dengan isi amplop itu.
"Bagaimana bisa? Ini palsu ya?"tanyaku
Bisma tertawa.
"Itu asli, Arini. Setahun lalu aku dapat info kalau ada beasiswa di universitas itu. Dan aku coba daftarin kamu. Dan Allhamdulillah hasilnya..."terang Bisma terpotong karena aku sudah lebih dulu memeluknya erat
Ia pun membalas pelukanku sembari terus tersenyum.
"Terima kasih Bis. Kamu memang sahabatku yang paling baik"ujarku
Bisma hanya membalasnya dengan anggukan.
Hadiah dari Bisma adalah kado terindah untukku. Aku di terima di salah satu universitas terbaik di Singapura, program studi Biomedik. Dia selalu saja tahu apa mauku, dan selalu berusaha mendapatkannya. Padahal, kami kenal baru empat tahun terakhir. Apa mungkin dia menyukaiku? Yang ku tahu, dia adalah tempat ternyaman untukku. Dia adalah orang yang paling mengerti aku. Tapi untuk cinta, aku ragu jika memilikinya.
Satu hari menjelang keberangkatanku ke Singapura, Bisma menemuiku di cafe. Aku tersenyum menyambutnya.
"Arini, aku datang karena besok aku tidak bisa mengantarmu. Aku harus daftar kuliah juga"Bisma
"Padahal, aku pengen kenalin kamu ke orang tua ku"ujarku
Dia tersenyum.
"Oh iya. Aku mau kasih alasan, kenapa aku kasih kamu bingkai kosong"Bisma
Aku menatapnya serius seolah menunggu ucapannya.
"Saat aku ulang tahun yang ke-9, adikku memberikan bingkai foto itu. Dia membuatnya sendiri untukku. Dia bilang, bingkai itu hanya boleh diisi fotoku dengan orang yang paling aku sayang"terang Bisma
"Tapi kenapa kamu kasih bingkai itu padaku? Bagaimana jika adik kamu marah?"bingungku
Bisma tersenyum manis.
"Kamu kan tahu, aku tidak suka foto. Jadi aku berikan saja padamu. Aku juga minta ke kamu, buat isi bingkai itu dengan fotomu dan orang yang paling kamu sayang. Terserah, mau foto dengan orang tuamu, sahabatmu, suamimu kelak, atau saudaramu. Adikku sangat baik. Dia tidak mungkin marah aku memberikannya padamu. Dia akan mengerti"Bisma
"Sahabat terbaikku adalah kamu. Kamu tidak suka foto. Terus, aku anak tunggal, nggak punya saudara"bingungku
Bisma kembali tersenyum dan mengacak-acak poniku.
"Kamu mirip sekali dengan adikku"ujarnya
Beberapa saat kemudian, Bisma naik ke atas panggung dia memainkan jarinya di atas piano antik itu. Kemudian, ia mulai bernyanyi,
There's A Place, InYour Heart And I Know That It Is Love
And This Place, Could Be Much Brighter Than Tomorrow
And If You, Really Try You'll Find There's No Need To Cry
In This Place, You'll Feel There's No Hurt Or Sorrow

There Are Ways To Get There
If You Care Enough For The Living
Make A Little Space
Make A Better Place...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

If You Want, To Know Why
There's A Love That Cannot Lie
Love Is Strong, It Only Cares For Joyful Giving

If We Try, We Shall See
In This Bliss We Cannot Feel
Fear Or Dread We Stop Existing And Start Living

Then It Feels That Always
Love's Enough For Us Growing
So Make A Better World
Make A Better World...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

And The Dream We Were Conceived In Will Reveal A Joyful Face
And The World We Once Believed In Will Shine Again In Grace
Then Why Do We Keep Strangling Life Wound This Earth Crucify Its Soul
Though It's Plain To See This World Is Heavenly Be God's Glow

We Could Fly, So High Let Our Spirits Never Die
In My Heart, I Feel You Are All My Brothers
Create A World With No Fear Together We'll Cry Happy Tears
See The Nations Turn Their Swords Into Plowshares

We Could Really Get There
If You Cared Enough For The Living
Make A Little Space
To Make A Better Place...

Heal The World
Make It A Better Place
For You And For Me And The Entire Human Race
There Are People Dying
If You Care Enough For The Living
Make A Better Place For You And For Me

Lagu Michael Jackson, Heal The World. Bisma menyanyikannya dengan sangat sempurna. Semua orang bertepuk tangan untuknya. Kemudian ia kembali ke hadapanku.
"Cita-citamu adalah membuat dunia menjadi lebih baik. Aku akan selalu mendukungmu. Dan aku percaya kamu bisa. Yang harus kamu lakukan adalah menjadi Arini yang selalu ceria dan penuh semangat. Jangan biarkan kegagalan menjatuhkanmu lagi!"ujar Bisma
Aku tersenyum dan mengangguk.
Dua tahun berlalu. Aku pulang tepat di hari ulang tahunku yang ke 24. Aku sudah berjanji dengan Bisma untuk bertemu dengannya sore ini. Setelah beristirahat beberapa jam di rumah, aku segera pergi ke taman tempatku belajar bersama Bisma bertahun-tahun lalu.
Tak ku sangka. Impianku terwujud. Aku telah berhasil menyabet gelas Master Science di salah satu universitas terbaik di Singapura. Dan dua bulan lagi, aku harus berangkat ke Canada untuk bekerja disana. Ya. Di pusat penelitian kanker di Canada. Bagiku, ini adalah awal perjuangan baruku.
Saat dalam perjalanan menemui Bisma, mobilku mengalami kecelakaan. Aku pun tak sadarkan diri. Dalam mimpiku, terlintas sosok pria kecil yang sepertinya sangat familiyar bagiku. Aku dan dia tengah berada di taman. Ia menenangkan aku yang tengah menangis.
"Nanti kakak bantu bilang ke ibu ya, biar kamu sekolah di tempat kakak"ujarnya
"Tapi kakak janji ya! Arini nggak mau jauh-jauh dari kakak"balasku
Anak itu menautkan kelingkingnya denganku.
Kemudian bayangan lain datang. Saat itu usiaku 9 tahun. Ayah baru saja menjemputku dari sekolah. Kemudian aku mendengar tangisan dari kamar atas. Aku berlari kesana. Dan terlihat ibu yang tengah menangis di samping tubuh kaku kakakku. Aku mendekat dan menangis di samping ibu. Setelah pemakaman kakak, aku menjadi pendiam. Hanya kakak yang selalu bisa membuatku tersenyum. Bagiku, kakak adalah malaikat yang di kirim Tuhan untuk selalu membuatku bahagia. Tanpanya, jiwaku serasa hilang. Hingga suatu hari, aku berlari keluar rumah karena frustasinya. Aku ingin bertemu dengan kakakku. Hingga tanpa sadar, sebuah mobil menabrakku hingga terpental. Aku hilang ingatan sejak saat itu. Dan dengan kesempatan itu, orang tuaku membuang semua foto dan kenanganku bersama kakak, agar aku tak lagi larut dalam duka.
Saat aku sadar, aku melihat kedua orang tuaku disisiku. Aku menangis begitu saja.
"Aku kangen kakak"lirihku
Kedua orang tuaku terkejut. Mungkin aneh bagi mereka jika aku mengingat semuanya setelah 15 tahun aku lupa. Tapi bayangan itu, sosok itu kini kembali. Aku dapat kembali mengingatnya. Dan kini, aku sangat merindukannya.
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit. Dokter mengizinkanku pulang. Sore itu juga, aku pergi ke taman tempat janjianku dengan Bisma. Terlihat Bisma membelakangiku. Aku berlari ke arahnya kemudian memeluknya.
"Arini?"kagetnya
"Aku kangen kakak. Kenapa selama ini kakak hanya diam dan membiarkanku seperti orang bodoh?"tanyaku
Ya. Dia adalah Bisma, kakakku. Kak Bisma meninggal saat usianya 12 tahun karena mengidap Leukemia. Mungkin itu sebabnya aku sangat ingin menemukan obat kanker. Walau aku sempat lupa dengannya, tapi luka di hatiku yang bicara dan menuntunku ke jalan ini.
Pria itu melepaskan pelukanku. Ia berbalik ke arahku dan menghapus air mataku dengan jemarinya.
"Adik udah ingat semua?"tanyanya
Aku mengangguk pasti.
"Jangan lagi menyiksa kakak dengan keterpurukanmu! Kamu harus jadi Arini yang ceria dan penuh semangat. Selangkah lagi, mimpimu terwujud"ujar kak Bisma
Aku mengangguk.
"Allah memberi waktu kakak untuk bertemu denganmu, untuk menguatkanmu dan mengembalikan senyumanmu. Dan, kakak berhasil. Kakak sangat senang"lanjutnya
Aku kembali memeluknya erat.
"Jangan tinggalin Arini lagi! Arini sayang kak Bisma"lirihku
Kak Bisma membalas pelukanku.
"Kamu selalu tahu kalau kakak menyayangimu bukan?"tanyanya
Aku terdiam, kemudian ia kembali melepas pelukannya.
"Mulai dari sini, kamu akan melangkah sendirian. Kakak tidak bisa membantumu lagi. Tapi kamu harus percaya kalau hati kakak ada sama kamu meski kamu tidak dapat melihat kakak"kak Bisma
Ia masih terus tersenyum padaku.
"Terima kasih kak. Aku percaya kakak tidak akan meninggalkanku walaupun hanya sedetik saja"ujarku
"Pasti"balasnya
Sedikit demi sedikit, bayangnya hilang. Tanganku tak dapat lagi menggenggam tangannya. Hingga mataku yang dapat lagi melihat senyumnya.
Dua bulan berlalu. Pagi ini aku berangkat ke Canada untuk melanjutkan cita-citaku. Ada sebuah barang yang tak mungkin lupa ku bawa. Bingkai foto yang ku buat belasan tahun lalu. Kini bingkai itu tak lagi kosong. Ada fotoku dengan kak Bisma waktu kami masih kecil disana. Ya. Orang itu adalah kak Bisma. Dia adalah orang yang paling mengerti aku, orang yang paling berharga untukku. Aku yakin, saat ini dia masih setia disisiku. Hanya saja, aku yang tak bisa melihatnya.