Minggu, 08 Maret 2015

Cerpen-Be Your Eyes



Be Your Eyes

Lelah, itulah yang kini ku rasakan setelah hampir setengah hari mengitari sebuah pusat perbelanjaan ini. Akupun memutuskan untuk beristirahat di resto yang masih terletak di dalam mall ini. Setelah memesan makanan dan minuman, aku duduk di sebuah kursi paling pojok. Aku menikmati suasana klasik restoran ini. Sungguh indah.
Namun seketika senyumanku luntur saat kembali teringat kejadian seminggu lalu. Sore itu, aku kembali ke rumah sakit tempat aku dirawat dulu. Sebelas tahun lalu, aku mengalami infeksi berat pada saluran darah dekat jantungku. Hingga aku sempat di rawat intensif satu bulan lebih di rumah sakit. Dokter yang dulu menanganiku berkata bahwa saluran darahku kembali bermasalah. Kali ini ada tonjolan besar di dekat pembuluh Aortaku. Tonjolan itu hampir menyumbat aliran darahku. Dokter berkata ini sangat berbahaya. Bisa saja Aortaku pecah secara mendadak. Bahkan beliau memfonis usiaku tak sampai satu tahun lagi akan berakhir.
Lamunanku terbuyar saat ku lihat sosok cantik di meja sebelahku. Sepertinya aku mengenalnya. Perlahan aku mendekatinya. Ku beranikan tuk menyapa dirinya.
"Hay, kamu Dara kan?"tanyaku
"Iya aku Dara. Maaf kamu siapa ya?"tanya gadis yang ternyata benar bernama Dara itu
"Aku Dina, teman sekelasmu dulu saat SMA. Apa kamu ingat?"aku
"Dina? Emh...oh aku ingat. Bagaimana kabar kamu?"Dara
"Aku baik. Kamu?"aku
"Aku juga baik. Wah, sekarang kamu sudah lulus kuliah ya? Bagaimana rasanya tinggal di Yogyakarta? Pasti asyik"Dara
"Alhamdulillah. Disana enak kok, aku juga betah. Kamu sendiri gimana?"aku
"Aku sekarang kerja di perusahaan. Masih karyawan baru sih, kuliahku juga belum kelar"Dara
Aku mengangguk mengerti. Ternyata, Dara tak banyak berubah. Dia tetap gadis yang ramah dan asyik di ajak bicara.
Namun, bertemu dengan Dara membuatku ingat akan suatu hal. Bisma, lelaki yang sangat aku cintai.
"Kamu kesini sama siapa?"tanyaku basa-basi
"Tadi sih sama Reza, tapi dia ada acara mendadak katanya. Kamu ingat Reza kan? Dia sekelas dengan kita juga dulu"Dara
Aku mengangguk.
"Aku dan Reza sekarang pacaran"bisik Dara
Aku membolatkan mataku sempurna.

Reza? Bagaimana bisa dengan Reza? Setahuku Dara sangat mencintai Bisma. Begitupun sebaliknya. Lima tahun lalu, Bisma menyakiti hatiku dengan memilih Dara. Dia memutuskan hubungannya denganku yang sudah berjalan hampir dua tahun demi Dara. Itulah alasan mengapa dulu aku memilih melanjutkan sekolah ke luar kota. Tapi sekarang, dimana pria itu? Dimana Bisma? Hatiku terus bertanya. Karena jujur, sampai detik ini hanya dialah pengisi ruang hatiku. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Namun tak juga aku dapat melupakannya.
Aku tersadar dari lamunanku saat seorang pelayan datang mengantarkan pesananku.
"Kamu kenapa?"tanya Dara
"Tidak. Hanya saja kaget. Bagaimana bisa kamu pacaran sama Reza? Memangnya Bisma kemana?"tanyaku
Dara tertawa renyah mendengar pertanyaanku.
"Kenapa kamu malah ketawa? Memang ada yang lucu ya?"bingungku
"Din, mungkin kamu akan terkejut mendengarnya. Tiga bulan lalu, Bisma mengalami kecelakaan dan dia buta permanen"terang Dara
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengarnya.
"Kenapa kamu diam? Apa kamu masih punya perasaan sama dia?"Dara
"Apa itu benar? Bisma buta?"tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Dara
Dara mengangguk mantap.
"Lalu kenapa kamu malah berpacaran dengan Reza? Saat ini Bisma membutuhkanmu"lirihku dengan tubuh bergetar
"Ayolah, apa kamu pikir aku mau berpacaran dengan orang buta? Lagi pula Bisma buta permanen, nggak bisa sembuh. Lalu apa yang bisa aku harapkan dari dia? Apa aku harus melepaskan Reza yang sejak lama mencintaiku dan bisa membahagiakanku hanya demi pria buta?"Dara
Aku tersentak dengan omongan Dara. Aku bangkit dari dudukku, diikuti pula oleh Dara.
"Ayolah Dina, lupakan Bisma! Dia tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Lagi pula dulu dia pernah menyakitimu. Bodoh jika kamu tetap mencintainya"Dara
"Aku salah menilaimu selama ini. Aku kecewa sama kamu. Ternyata hatimu tak secantik wajahmu"ucapku dengan air mata yang terbendung di pelupuk mataku.
"Maksud kamu?"bingung Dara
"Kamu akan menyesal Dara. Laki-laki seperti Bisma tak pantas mendapat perlakuan seperti ini. Suatu hari kamu akan mengemis cintanya lagi. Aku yakin itu"ucapku penuh penekanan
Dara tersenyum sinis.
"Ambil kembali dia jika kamu mau"Dara berjalan meninggalkanku
Kakiku serasa berat. Aku kembali terduduk di kursi. Air mataku mulai menetes. Apa benar Bisma buta? Kenapa rasanya sungguh sakit mengetahui keadaannya? Apa aku harus datang padanya kini? Tapi mungkin dia akan mengusirku jika tahu aku adalah Dina. Mantan kekasihnya dulu.
Pagi ini, aku telah berdiri tegap di depan pintu sebuah rumah mewah. Sedetik kemudian, aku menekan tombol bel rumah itu. Seorang wanita paruh baya membukanya.
"Maaf kamu siapa ya? Dan mau mencari siapa?"tanya beliau
"Tante, aku Dina. Apa tante ingat padaku? Aku Dina teman SMA Bisma tante"aku
"Dina? Mantan Bisma?"tante Mira
Aku mengangguk.
Seketika, tante Mira memelukku erat.
"Bisma nak...Bisma..."isaknya
Air mataku kembali terjatuh. Namun aku tetap harus berusaha tegar.
"Aku tahu tante. Aku datang kesini untuk menghiburnya. Aku akan mengembalikannya seperti dulu"lirihku
Tante Mira mengangguk. Ia melepas pelukannya.
"Tapi tante harus janji, jangan kasih tahu Bisma kalau ini Dina. Dina yakin Bisma sudah lupa dengan suara Dina. Dina akan menjaga Bisma. Dina akan ada di samping Bisma"aku
"Kenapa?"tante Mira
"Biar waktu yang menunjukkan, betapa besar dan tulusnya cinta Dina. Suatu hari Bisma akan tahu kalau gadis yang selalu ada disampingnya adalah aku. Dia akan tahu jika hatinya dapat menuntunnya"aku
Tante Mira mengangguk.
Kemudian, tante Mira mengajakku masuk ke kamar Bisma. Terlihat Bisma dengan tatapan kosong duduk bersandar di tempat tidur. Air mataku mulai berlinang. Aku menutup mulutku agar suaraku tak keluar.
"Mama?"kaget Bisma saat mendengar lirih isakanku
"Iya Bis, mama disini"tante Mira mendekati putra semata wayangnya itu
"Ada siapa disini ma? Aku mendengar ada suara gadis menangis"Bisma
"Iya. Disini ada seorang gadis. Dia yang akan menjaga dan merawat kamu selama beberapa hari Bis"tante Mira
"Enggak. Bisma nggak mau. Bisma bisa sendiri ma. Bisma nggak butuh dia"Bisma
"Ayolah, mama yakin dia bisa menjaga kamu. Mama percaya kamu akan menjadi lebih baik jika dia disini"tante Mira
Aku berusaha berhenti menangis.
"Aku hanya akan tinggal tiga hari disini. Izinkan aku merawatmu"lirihku menggenggam jemari Bisma
"Kamu siapa?"tanga Bisma memegang tanganku
"Nanti kamu akan tahu. Tapi izinkan aku disini untuk menjagamu"aku
"Aku tidak butuh kamu. Lebih baik kamu pergi!"Bisma
"Aku tidak akan pergi. Aku akan disini untuk menjaga kamu. Tidak peduli kamu mau atau tidak"tegasku
"Siapa kamu sebenarnya? Jangan atur hidupku semaumu! Kamu itu bukan siapa-siapa"bentak Bisma
"Aku tetap akan disini"aku
"Bis, dia tidak akan mengganggumu. Dia tidak akan merepotkanmu. Dia hanya ingin menjagamu nak"tante Mira
"Baiklah. Kamu boleh disini"Bisma akhirnya luluh
Aku dan tante Mira tersenyum.
"Ya sudah. Mama ke dapur dulu ya!"pamit tante Mira
Aku dan Bisma mengangguk.
Aku menatap lekat wajah Bisma. Semua masih seperti dulu. Ia masih seperti Bisma-ku. Bisma kekasihku dulu. Aku menyentuh wajah yang sangat aku rindukan itu. Namun ia menempisnya kasar.
"Kenapa kamu lancang sekali sih? Sebenarnya siapa kamu?"Bisma
Aku tersenyum.
"Aku adalah seseorang yang mengagumi kamu. Aku seseorang yang mencintai kamu meski kamu tak pernah merasakannya. Aku adalah seseorang yang ingin selalu disampingmu seperti detik ini"aku
"Tapi siapa namamu? Apa aku mengenalmu?"Bisma
"Kita tidak kuliah di tempat yang sama. Mungkin kamu tak mengenalku. Namun aku tahu banyak hal tentang kamu. Sudahlah, jangan tanya siapa aku lagi. Suatu saat kamu akan tahu"aku
Waktu menunjukkan pukul 09.00. Aku masih tak bosan memandangi wajah tampan Bisma.
"Apa kamu masih disini? Kenapa kamu diam saja?"tanya Bisma
"Aku masih disini. Memangnya apa yang harus aku bicarakan?"aku
"Bukannya begitu. Tapi kamu tahu kan kalau aku buta? Aku tidak akan tahu, apakah ada seseorang disampingku atau tidak jika dia tidak bicara"Bisma
"Bagaimana kalau kita mendengarkan lagu saja?"tawarku
Bisma mengangguk dan tersenyum.
"Kamu suka lagu apa? Akan ku putarkan"aku
"Terserah. Tapi jangan yang galau-galau ya!"Bisma
"Oke"aku segera memutar mp3 lewat handphoneku
Pukul 13.00, aku membawakan makan siang untuk Bisma.
"Bis, makan dulu yuk!"ajakku
"Kamu aja deh. Aku masih kenyang"Bisma
"Pokoknya kamu harus makan. Ayo aku suapin. Aaa...."aku
"Enggak mau"Bisma menempis mangkuk sup itu hingga mengenai lenganku
"Aww....."aku berteriak kepanasan
"Sorry aku nggak sengaja"ucap Bisma kelabakan
"Aku nggak papa kok. Aww.."dustaku
"Aku nggak suka dipaksa. Aku akan makan ketika aku lapar. Jadi tidak usah sok-sokan mau nyuapin aku"Bisma
"Sudahlah kamu diam dulu! Aku harus beresin ini semua"kesalku
"Siapa suruh pakai keras kepala buat ngerawat aku"Bisma
Hufft....aku sungguh bingung dengan pria ini. Rasanya beberapa detik lalu dia mengkhawatirkanku. Tapi kenapa dia sekarang marah-marah lagi?
Setelah memberesi makanan yang tumpah dan mencuci lukaku, aku kembali membawa sup untuk Bisma.
"Kamu harus makan Bis, ayolah! Sedikit aja deh. Aku suapin kok"aku
"Oke. Tapi sedikit aja ya"Bisma
"Iya"aku
Akupun segera menyuapi Bisma. Baru tiga suapan, Bisma bilang dia sudah kenyang. Namun aku terus menyuapinya hingga nasi di mangkukku habis.
Pukul 17.00, aku mengajak Bisma ke taman belakang rumahnya. Disepanjang perjalanan, aku menuntunnya. Lalu aku membantunya duduk di ayunan. Setelah itu, aku duduk di hadapannya.
"Aku kangen suasana sore disini"Bisma
"Makanya, sering-sering keluar kamar! Memangnya enak menghabiskan hari dikamar terus?"aku
Bisma tersenyum miris.
"Aku salah ngomong ya?"tanyaku mulai merasa bersalah
"Bukan salah. Hanya saja kamu kurang bisa mengerti kalau aku buta"Bisma
Aku menunduk.
"Maaf. Aku memang tidak bisa sepenuhnya memahami tentang kebutaanmu. Karena aku belum pernah merasakannya"lirihku
"Tapi tak seharusnya kata 'Buta' itu menjadi pembatas semua kehidupanmu. Mata kamu memang saat ini tidak bisa melihat, tapi kedua tanganmu masih normal, mulut kamu juga masih normal, kamu juga masih bisa mendengar kan?"ujarku sedikit keras
Bisma terdiam.
"Aku yang akan jadi mata kamu selama kamu tidak bisa melihat"lirihku
"Kenapa kamu seperti ini padaku? Aku bukan siapa-siapa kamu"Bisma
"Sudah aku katakan kan, aku sayang sama kamu, makanya aku mau lakuin ini"aku
"Thanks ya. Aku janji akan berusaha jadi cowok yang lebih kuat. Aku janji akan menjadi Bisma yang seperti dulu"Bisma
Aku tersenyum.
Tak terasa, mentari telah terbenam. Kini aku tengah menikmati makan malam di ruang makan dengan keluarga Bisma. Om Arya sudah mengetahui keinginanku dari tante Mira. Dan beliaupun juga setuju dengan rencana itu. Malahan beliau senang jika aku mau menemani dan merawat Bisma.
"Tumben ya Bisma mau makan malam bareng kita?"om Arya
"Itu juga karena ada gadis cantik itu pa"tante Mira
"Mau dia cantik atau enggak juga aku nggak bisa melihatnya ma"Bisma
"Mulai lagi deh"kesalku
Bisma tersenyum.
Malam kian larut. Kini aku tengah berada di kamar Bisma. Berulang lagi aku menyuruh Bisma untuk tidur. Tapi pria itu tak kunjung memejamkan matanya.
"Cepatlah tidur Bis, ini sudah hampir jam sebelas!"ujarku tuk kesekian kali
"Aku belum ngantuk. Kalau kamu ngantuk tidur duluan aja! Kamar kamu ada di sebelah kiri kamar ini"Bisma
"Aku maunya kamu dulu yang tidur"kekehku
"Terserah"cuek Bisma
Aku terus menunggu hingga Bisma terlelap. Sampai jam 00.00 pun ia tak kunjung memejamkan matanya. Berulang kali aku menguap menahan kantuk yang kian parah.
"Sudahlah sana tidur saja kamu! Aku sedang tidak ingin tidur"Bisma
"Aku nggak mau"kekehku

Cahaya mentari mengusik mimpi indahku. Aku mulai membuka mataku. Hufft...ternyata aku ketiduran di kursi samping tempat tidur Bisma. Tapi, dimana Bisma? Dia sudah tak ada di tempat tidur.
"Bisma!"panggilku
"Bis, Bisma kamu dimana?"teriakku
Tak lama kemudian seseorang keluar sari kamar mandi. Aku bernapas lega saat melihat Bisma di ambang pintu kamar mandi.
"Ada apa?"tanya Bisma dengan ekspresi datar
Aku tak menjawab.
"Aku masih bisa mandi dan ganti baju sendiri kok. Bajuku nggak kebalik kan?"Bisma
"Enggak kok"jawabku sembari tersenyum
Tak lama kemudian tante Mira datang. Beliau memanggilku dan Bisma untuk sarapan bersama.
"Aku mau mandi dulu Bis. Kamu sama tante Mira aja ya!"aku
"Aku belum lapar"Bisma
"Cepat Bis, ikut tante Mira dulu aja!"paksaku
"Enggak"Bisma
"Hufft...ya sudah pokoknya sekarang aku mau mandi"aku
Selesai mandi, aku segera ke ruang makan dan mengambilkan sarapan untuk Bisma.
Aku membuka pintu kamar Bisma perlahan.
"Sudah selesai mandinya?"Bisma
"Iya. Sekarang kamu makan dulu ya. Ini udah aku bawain"aku
Bisma menggeleng.
"Aku bosan di rumah. Ajak aku jalan-jalan!"Bisma
Aku tersenyum lebar mendengar permintaan Bisma.
"Ya sudah. Aku ganti baju dulu ya Bis"ujarku girang kemudian segera berlari menuju kamarku
Sepuluh menit kemudian, aku kembali ke kamar Bisma.
"Ayo Bis!"ajakku
Bisma tersenyum tanpa berucap sepatah katapun. Aku menarik tangannya agar segera berdiri. Kemudian kami pergi dengan taxi.
Sampailah kami ditempat yang diinginkan Bisma. Danau. Danau yang dulu pernah menjadi saksi kebersamaanku dengan Bisma. Dulu, kami sering pergi berdua kemari. Bahkan di tempat ini Bisma memberiku kejutan di 1st anniversary kami. Kami duduk di atas hijaunya rerumputan.
"Ini adalah salah satu tempat favorit aku"Bisma
Aku menatapnya. Tersungging sebuah senyuman dibibirnya.
"Kenapa?"tanyaku
"Tempatnya indah, sejuk, damai"Bisma
Hanya itukah jawabannya? Aku kira karena dulu ini tempat favorit kami. Aku memang terlalu banyak berharap.
"Dan juga, dulu di tempat ini, aku sering datang bersama seseorang yang sangat spesial buat aku"lanjutnya
"Siapa dia? Pacar kamu?"tanyaku
"Mantan lebih tepatnya. Namanya Dina"Bisma
Aku terdiam. Aku kembali menjernihkan pikiranku.
Siang itu aku mendesak Bisma untuk mau berfoto denganku. Aku mengabadikan beberapa gambar kebersamaanku dengannya. Hari mulai sore. Aku mengajak Bisma pulang. Sebelum itu kami makan di sebuah restoran. Aku membantu Bisma memotong steaknya. Bahkan beberapa kali aku menyuapinya. Kami juga mulai akrab. Sepertinya Bisma mulai menerima keberadaanku.
Pukul 21.00, aku dan Bisma duduk di balkon kamar Bisma. Kami asyik mendengarkan musik sambil bercerita tentang banyak hal. Tapi tetap saja aku harus menjaga identitas asliku. Tiba-tiba, seluruh tubuhku tidak enak. Tangan dan kakiku sepertinya kram. Mungkin ini akibat penyakitku. Namun aku berusaha untuk tenang agar Bisma tidak curiga.
Aku menahan tangisku mengingat waktuku yang tak lama lagi. Apakah aku tega meninggalkan Bisma? Ku tatap wajah sendu itu. Tatapannya kosong. Memang, selama dua hari aku tinggal disini jarang sekali rasanya melihat mata itu memancarkan keceriaan. Lamunanku buyar saat melihat tubuh kurus Bisma bangkit berdiri.
"Mau kemana Bis?"tanyaku
"Ambil sesuatu"jawabnya
"Biar aku saja yang ambilin. Kamu mau apa?"tawarku
"Tidak usah, aku bisa sendiri kok"tolak Bisma
Aku membantu Bisma meraih tongkatnya. Kemudian, Bisma berjalan memasuki kamarnya.
Tak sampai lima menit kemudian, Bisma kembali. Dia membawa sebuah gitar coklat tua yang sangat cantik.
Aku ingat benar gitar itu. Itu adalah gitar yang dibeli Bisma saat jalan bersamaku dulu.
"Aku mau ngelanjutin ceritaku yang tadi siang"Bisma
"Cerita apa?"bingungku
"Tentang Dina"Bisma
"Dina? Sebenarnya siapa dia?"tanyaku untuk memancing Bisma
"Dina adalah pacarku semasa SMA. Tapi satu minggu setelah acara perpisahan kami putus. Aku memutuskannya karena dulu aku mencintai gadis lain"Bisma
"Lalu kenapa kamu masih mengingatnya? Bukankah kamu bilang kamu sudah mencintai gadis lain?"aku
"Memang. Tapi aku rasa tak ada seorangpun gadis yang mencintaiku setulus dia. Aku salah melukainya dulu"Bisma
"Lalu kenapa kamu tak mencarinya?"aku
"Karena aku tak pantas untuknya. Diluar sana banyak pria yang jauh lebih baik dariku. Lagi pula, sekarang aku buta. Aku tak rela jika dia hidup bersama pria buta yang hanya akan membebaninya"Bisma
"Aku yakin dia tak seperti itu Bis. Aku yakin dia masih mencintaimu sampai detik ini"aku
Bisma tersenyum miris.
"Tidak mungkin"Bisma
Sesaat kemudian Bisma meraih tanganku yang ada dipipinya.
"Tangan kamu mirip sama tangan Dina. Aku hafal betul tangan Dina. Hampir dua tahun aku menggenggam tangan itu"Bisma
Aku tersenyum. Rasanya ingin sekali aku memeluknya. Berbisik di telinganya bahwa aku disini, dan aku masih sangat mencintainya. Tapi ini belum saatnya.
"Oh iya aku ingat. Harusnya di 2nd anniversary kebersamaan kami aku akan menyanyikan sebuah lagu untuknya. Dengarkan ya!"Bisma
Bisma mulai memetik senar gitar itu. Meski tak dapat melihat, ternyata Bisma masih mahir memainkan gitarnya. Mungkin karena gitar adalah sahabat hidupnya selama bertahun-tahun.
Bisma menyanyikan lagi Sammy Simorangkir "Dia". Suara Bisma begitu merdu terdengar. Dan yang paling membuatku tak kuat, lagu itu ia persembahkan hanya untukku. Dina, meski dia tak tahu jika aku yang saat ini di hadapannya. Air mataku menetes. Jika bisa, aku ingin berteriak sekencang mungkin sekarang. Tapi aku tidak mau rencanaku gagal. Aku tidak mau Bisma tahu siapa aku yang sebenarnya. Aku bertepuk tangan setelah Bisma berhasil menyelesaikan lagunya.
"Boleh aku memelukmu sebentar saja?"tanya Bisma
Aku tak menjawab. Dan detik itu pula, Bisma menarikku dalam dekapannya. Dekapan yang sangat hangat. Dekapan yang dulu selalu menenangkan hatiku.
"Apa kamu menangis?"tanya Bisma saat menyadari tangisanku
"Aku terharu sama cerita kamu"dustaku
Bisma tersenyum lalu mempererat pelukannya.
Hari berganti. Ini adalah hari terakhirku tinggal di rumah Bisma. Saat mandi, aku merasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian atasku. Aku meringis kesakitan. Namun aku harus menahannya. Hari ini aku harus menyelesaikan tugasku. Aku harus membuat memori indah untuk Bisma. Aku harus bisa mengembalikan senyumannya. Selesai mandi, aku segera menghampiri Bisma dikamarnya.
"Ayo sarapan Bis, orang tua kamu sudah menunggu di ruang makan"ajakku
Bisma mengangguk. Aku menuntun Bisma hingga sampai ruang makan.
Kedua orang tua Bisma tersenyum melihat kami. Akupun segera menikmati sarapan terakhirku di rumah ini.
Selesai sarapan, aku mengajak Bisma ke pantai. Kami pergi diantar supir keluarga Bisma.
"Foto dulu ya Bis!"ajakku
"Kok foto terus sih? Aku juga nggak bisa lihat hasilnya"Bisma
"Aku yakin kamu akan bisa melihat lagi"ujarku menyemangati
"Tidak mungkin. Aku itu buta permanen"Bisma
"Kok kamu pesimis sih?"kesalku
"Bukannya pesimis. Cuma realistis aja"Bisma
"Apa kamu tidak ingin melihatku? Kamu tidak mau tahu siapa aku?"tanyaku
"Aku ingin. Sangat ingin. Tapi itu tidak mungkin. Bahkan jika kamu disisiku lima puluh tahun lagi"Bisma
"Berjanjilah untuk melihat foto kita saat kamu bisa melihat nanti!"aku
Bisma terdiam.
"Ayo berjanji dulu! Aku akan kasihin foto kita di kamar kamu"lanjutku
Bisma mengangguk paksa.
Aku dan Bisma menghabiskan hari itu berdua di pantai. Belasan fotopun berhasil ku abadikan. Kini kami duduk di atas hamparan pasir putih sembari menunggu matahari terbenam. Aku menyandarkan kepalaku di bahu kiri Bisma.
"Mataharinya sudah mau tenggelam Bis"girangku
"Apa kamu suka?"tanyanya
"Tentu saja"jawabku
Bisma tersenyum.
"Aku akan mengajakmu kesini kapanpun kamu mau. Aku akan menemanimu menikmati keindahan sunset kapanpun kamu mau. Karena kamu adalah mataku. Aku bisa merasakan betapa indahnya pemandangan di hadapanku karena keberadaanmu disampingku"Bisma
"Lalu apa kamu menyukainya?"tanyaku
Bisma mengangguk.
Pukul 17.00, aku dan Bisma sudah sampai rumah Bisma. Sekarang Bisma tengah mandi. Sedangkan aku tengah menyiapkan sesuatu untuk Bisma. Senyumku tak pernah pudar saat menyiapkannya. Tak lama kemudian Bisma keluar dari kamar mandi.
"Sedang apa kamu?"tanya Bisma
"Lagi nulis sesuatu"jawabku
"Apa?"Bisma
"Kok kamu kepo sih?"tanyaku balik
"Apa untukku?"tanya Bisma
"Iya. Aku meninggalkan sebuah kotak pink di kamar ini. Kamu hanya boleh membuka dan membacanya sendiri"aku
"Kamu gila? Aku buta"Bisma
"Pokoknya aku mau kamu buka dan baca sendiri"tegasku
Bisma berjalan mendekatiku.
"Sebenarnya siapa kamu?"tanya Bisma
Aku tak menjawab. Aku menundukkan kepalaku. Aku tak sanggup menatap wajah manis itu.
"Oke. Aku nggak peduli siapa kamu. Yang jelas, aku mau bilang kalau aku senang kamu disini. Aku nyaman kamu disini. Dan aku... aku mulai cinta sama kamu"Bisma
Aku terdiam.
"Aku tidak tahu kenapa bisa secepat ini. Tapi ini rasaku. Ini yang aku rasakan detik ini. Aku merasa hatimu sangat dekat denganku. Meskipun aku sadar, aku tak pantas untuk kamu"lanjutnya
Seketika, aku memeluknya. Aku menangis dalam dekapannya.
"Kenapa kamu menangis?"tanya Bisma
Aku menggeleng, enggan menjawab pertanyaan itu.
"Percayalah, aku selalu disamping kamu. Aku tak akan selangkahpun pergi dari kamu. Aku akan terus menjadi matamu saat kamu butuh. Aku akan jadi apapun yang sedang kamu butuhkan"lirihku
"Apa maksudnya, mulai detik ini kita...."ucap Bisma terpotong
"Tidak Bis. Aku tidak bisa mengikatmu dalam sebuah hubungan"potongku
"Kenapa?"bingung Bisma
"Suatu hari kamu akan menemukan sendiri jawabannya. Mengertilah Bis! Tapi percayalah, sampai kapanpun, aku akan terus mencintaimu"terangku
Bisma mengangguk.
Malam kian larut. Bisma telah terlelap dalam tidurnya. Tangannya menggenggam erat tanganku. Aku masih terus melihat wajah manis yang membuatku terpikat dan jatuh sangat dalam pada rasa ini. Hingga sebuah tangan menyentuh bahuku.
"Sudah malam. Bisa kita bicara sebentar?"tanya orang itu, tante Mira
Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya.
"Apa kamu yakin akan pergi sekarang?"tante Mira
Aku mengangguk.
"Bisma membutuhkanmu nak. Hanya kamu yang bisa membuat Bisma kembali tersenyum"tante Mira
"Aku tak pernah berniat meninggalkan Bisma tante. Aku mencintainya"aku
"Tante yakin, apapun keputusanmu adalah yang terbaik. Trima kasih untuk semua ya nak. Tante berhutang banyak sama kamu"tante Mira
"Tante mau menerimaku disini tiga hari saja sudah cukup untuk membalas ku"ujarku
Tak lama kemudian aku pamit. Setelah mengambil barang-barangku, aku menyempatkan diri masuk ke kamar Bisma. Aku meraih tangannya. Ku genggam erat tangan itu. Hingga setetes air mataku kembali terjatuh. Namun aku harus segera pergi. Aku melepas genggaman tanganku itu lalu melangkah pergi.
Dua bulan berlalu. Selama dua bulan ini aku tak bertemu Bisma. Aku hanya dapat melihatnya dari jauh. Ia terlihat lebih baik daripada saat pertama aku melihatnya dulu. Dia mulai bisa menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Aku sangat bahagia melihatnya. Sebenarnya aku ingin berada disisinya. Aku ingin jalan dan berfoto lagi dengannya. Tapi aku tidak bisa. Aku tak bisa membiarkannya terluka terlalu dalam.
Mataku serasa berat untuk dibuka. Namun aku berusaha untuk membukanya. Ada sebuah pesan yang belum aku sampaikan. Terlihat beberapa orang berseragam putih mengelilingiku. Mereka terlihat begitu antusias melihatku. Aku menganggukkan kepalaku pada mereka. Aku yakin mereka faham dengan maksudku. Dan entah apa yang terjadi setelah itu.
Kini aku berada di suatu tempat yang sangat sepi. Aku mendengar sesuatu. Suara tangisan dari seseorang yang sangat familiyar bagiku. Aku mencari sumber suara. Terlihat seorang pria menangis sambil memeluk sebuah nisan. Dia adalah Bisma. Aku tersenyum. Namun air mataku menetes haru.
"Kenapa kamu harus pergi secepat ini? Kenapa kamu tidak bilang siapa kamu sebenarnya Din?"isaknya

Flashback....
Perban mata Bisma baru saja dilepas. Bisma membuka matanya perlahan.
"Aku bisa melihat! Ma, aku bisa melihat!"girangnya
Tante Mira menangis haru.
Di hari itu pula Bisma diiznikan pulang oleh pihak rumah sakit. Bisma memasuki kamarnya. Ia teringat akan kata-kataku tempo hari. Ia mencari kotak berwarna pink yang pernah ku katakan.
"Aku harus menemukannya. aku yakin dari kotak itu aku bisa menemukannya lagi. Aku pasti bisa bertemu dengannya lagi"Bisma
 Ketemu. Dia segera membukanya. Isinya adalah foto-fotoku selama tiga hari bersamanya. Bisma terkejut mengetahui siapa aku. Dia meneteskan air mata.
"Dina..."lirihnya
Kemudian ia meraih secarik surat yang ku tulis. Ia membacanya.
"Dear Bisma
Pasti saat ini kamu sudah tahu siapa aku. Apa kamu terkejut? Seperti yang aku bilang Bis. Aku adalah seseorang yang mengagumi dan mencintaimu meski kamu tak pernah merasakannya. Enam tahun lalu kamu memuji keindahan mataku. Dan detik ini, mataku telah menjadi milikmu. Inilah janjiku untuk selalu menjadi mata untuk kamu. Maaf aku harus pergi. Ragaku harus pergi dan tak akan bisa kembali padamu. Tapi mataku akan selalu ada bersamamu. Mataku yang menjadi saksi kebersamaan kita selama hampir dua tahun, di tambah tiga hari terakhir kita kemarin. Lanjutkan hidupmu Bis! Jadilah Bisma yang lebih baik. Ingat, aku selalu mengawasimu dengan mataku. I love you more than you know Bisma"

Flashback off

Aku lega. Akhirnya aku bisa menjadi seseorang yang berguna untuk orang yang aku cintai. Walaupun aku tak bisa lagi memeluknya, menggenggam tangannya, tapi setidaknya aku bisa melihat apa yang ia lihat. Merasa apa yang ia rasa. Dan yang paling penting, aku pernah menjadi secerca kecil dari masa lalunya. Terima kasih untuk Bisma yang telah mengajariku banyak hal tentang hidup. Terima kasih, kamu telah membuatku mengerti betapa indahnya cinta. Aku selalu mencintaimu. Tak peduli berapa banyak lubang di hatiku yang ia torehkan. Namun, bagiku tiga hari terakhir bersamanya adalah hal terindah di hidupku. Beginilah besarnya rasa cintaku. Kini saatnya aku pergi menuju kehidupan yang kekal. Selamat tinggal Bisma. Sampai berjumpa di tempat abadi kita untuk bersama.

~end~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar