STAY
WITH ME
Sebatas aku yang mencintainya
Ya, aku mencintainya dan dia tidak
Dia hanya memandangku remeh
Dan aku menundukkan kepala saat kami
bertemu
Aku menatapnya ketika ia sudah jauh
Selalu begitu dan aku tak bosan
Aku terus memetik senar
gitarku sembari mencurahkan sepenggal kisah hidupku sebagai liriknya. Suasana
sekitar cukup ramai. Dan aku yakin tak banyak yang mendengar suaraku itu. Namun
aku terus bernyanyi, seolah aku menyanyi untuk diriku sendiri. Namun....
Tap. Aku berhenti
bernyanyi. Beberapa orang yang tadinya mendengar nyanyianku kini menatapku
aneh. Dan aku sadar akan hal itu. Tapi, aku masih membeku. Melihat seseorang
yang membuatku mampu menciptakan lagu ini, kini tengah duduk tak jauh dari
panggung tempatku bernyanyi. Yang ku tahu, dia kuliah di Prancis sejak tiga
tahun lalu. Rafael. Namun sekarang aku melihatnya disini. Dan dia bersama
seorang gadis yang sepertinya ku kenali. Mereka tengah asyik bercanda. Ku lihat
Rafael menggenggam jemari gadis itu. Dan tak lama kemudian, gadis itu melepas
genggaman tangan Rafael lalu memeluk tangannya dan menyandarkan kepalanya di
bahu Rafael seakan mempertegas jika Rafael adalah miliknya.
Namun bukan hal itu
saja yang membuatku terkejut. Tapi keberadaan gadis itu. Bukankah dia Dina?
Setahuku, Dina adalah kekasih Bisma, temanku di bangku kuliah. Dan setahuku,
sampai sekarang mereka masih menjalin hubungan itu.
"Sstt...April!"suara itu membuyarkanku
Aku menatap ke arah sumber suara. Terlihat
sahabatku, Ayu memberiku kode untuk melanjutkan nyanyianku.
Dua hari berlalu. Aku
terus memikirkan kejadian dua hari lalu. Dina? Ya, aku sudah memastikan jika ia
masih berstatus kekasih Bisma. Tapi kenapa ia terlihat begitu mesra dengan
Rafael? Entahlah. Aku harus segera tersadar. Sebentar lagi rapat tahunan
organisasi akan di mulai. Bisma selaku ketua dari organisasi pecinta seni pun
memasuki ruang rapat. Aku menatapnya cukup lama. Namun sepertinya ia tak
menyadari hal itu.
Setelah rapat selesai,
aku bergegas mengemasi barang-barangku. Kemudian aku bangkit berdiri.
"April!"panggil Bisma
Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya seolah
bertanya 'Ada apa?'
"Ada yang mau kamu bicarakan?"tanyanya
Ku rasa ia sadar jika tadi aku sempat
memperhatikannya cukup lama. Aku menggeleng ragu.
"Aku duluan ya Bis. Aku ada kelas"pamitku
Dia mengangguk. Kemudian akupun segera pergi.
Sepulang kuliah, aku
mendapati sahabatku semasa SMA, Vicky di depan gerbang. Akupun berlari kecil ke
arahnya.
"Miss you April"ujar sahabat terbaikku itu
sembari memelukku
"Miss you more"balasku
Kami memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah
restoran. Seorang pelayan mencatat pesanan kami sebelum akhirya dia pergi.
"Vick, kamu ingat Rafael?"tanyaku
"Ya. Kenapa? Kamu masih belum bisa move
on?"Vicky
Aku mengangguk lesu. Sesaat kemudian aku tersadar.
"Tapi bukan itu masalahnya"ujarku cepat
Dia menatapku penuh tanda tanya.
"Dua hari lalu, aku mengisi acara di pesta Ayu,
teman kita dulu. Dan aku melihat Rafael. Dan...dia bersama Dina"terangku
"Bukannya Rafael kuliah di luar
negeri?"Vicky
Aku mengangguk.
"Tapi...tunggu! Dina? Bukan Dina pacar Bisma
kan?"tanya Vicky tiba-tiba
"Aku rasa dia Dina pacar Bisma deh"jawabku
Vicky terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali
bersuara.
"Maksud kamu, Dina selingkuh sama
Rafael?"Vicky
"Aku nggak tahu Vick. Aku juga bingung"aku
"Ya kamu selidiki saja! Sekalian ajak Bisma.
Dia juga harus tahu"Vicky
Aku memikirkan saran sahabatku itu. Haruskah aku
memberi tahu Bisma? Tapi, bahkan aku tidak dekat dengannya. Bagaimana jika ia
malah menuduhku berbohong nantinya?
Hari Minggu tiba. Sudah
saatnya aku berkunjung ke orang tua keduaku, dokter Rinda. Seorang dokter yang
telah merawat ku sejak aku bayi. Aku memasuki ruangannya. Dan beliau tersenyum
ramah padaku.
"Bagaimana keadaan kamu sayang?"tanya
beliau
Akupun menceritakan beberapa keluhanku pada beliau.
Kemudian beliau mulai memeriksaku.
"Apa kamu sedang banyak masalah?"tanya
beliau
Aku mengangguk ragu.
"Beberapa hari ini, saya banyak pikiran
dok"aku
"Kamu tahu keadaan jantung kamu kan April?
Kendalikan diri kamu, pikiran dan emosi kamu! Kamu harus memperpanjang usia
jantung kamu"dokter Rinda
Aku tersenyum miris.
"Memang ada apa dok? Apa kondisi jantung saya memburuk?"tanyaku
Dokter Rinda mengangguk.
Sejak lahir aku
mempunyai kelainan jantung. Dan kondisi itu semakin buruk saat aku mengalami
kecelakaan, dan jantungku rusak. Namun aku tak memberitahukan hal ini pada
siapapun. Hanya aku dan dokter Rinda yang mengetahui tentang kondisi jantungku
pasca kecelakaan empat tahun lalu.
Dokter Rinda menuliskan
resep obat untukku. Kemudian ia menyerahkan selembar kertas itu padaku. Begitu
banyak obat yang harus aku tebus. Dan memang selalu begini sejak empat tahun
terakhir.
"Sampai kapan saya harus meminum obat ini?
Bahkan tak pernah ada kemajuan meski saya terus meminumnya"ujarku lirih
"Setidaknya obat itu mampu memperpanjang usia
jantungmu, April"dokter Rinda
Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih,
aku berpamitan untuk pergi. Saat di apotek, aku melihat Rafael. Dan sepertinya
dia juga melihatku. Dia menghampiriku.
"Siapa yang sakit?"tanyanya
"Hah? Oh aku cuma mau nebus obat mama yang lagi
flu"dustaku
Dia mengangguk kemudian berlalu.
"Raf"panggilku
Dia menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kamu...ada hubungan apa dengan
Dina?"tanyaku hati-hati
"Dina? Dia kekasihku. Ada apa?"dia
menjawabnya sembari tersenyum
"Tidak. Sudahlah"ujarku kemudian berlalu
Ya. Aku sadar. Aku tak
ada artinya bagi Rafael. Dia bisa mengucapkannya seenteng itu meski ia tahu
jika aku mencintainya. Aku rasa itu haknya. Dia memang terlalu jujur meski
kadang terasa menyakitkan bagiku.
Aku duduk di bangku
paling pojok sebuah restoran. Setelah memesan makanan, aku memainkan hand
phoneku untuk menghapus pikiran negatifku tentang Dina. Karena itu hanya akan
memperpendek usiaku.
"Kamu kok sendiri Pril?"ujar seseorang
Aku menoleh ke arah sumber suara. Dia mengambil
posisi duduk di hadapanku tanpa meminta persetujuanku. Dia adalah Bisma.
"Ya memang aku harus pergi dengan
siapa?"tanyaku cuek
"Oh iya. Kamu kan gagal move on ya? Mana
mungkin mau pergi sama cowok lain?"ejeknya
Aku menatapnya kesal.
"Siapa namanya? Rafael? Ya
Rafael"lanjutnya masih dengan nada ejekan
"Apaan sih? Lagian dia udah punya
cewek"ujarku spontan
Ya. Aku baru ingat. Kekasihnya adalah kekasih Bisma
juga. Aku harus menutup mulutku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh meskipun
aku memang masih mencintai Rafael. Aku tidak ingin ia membenciku.
"Oh ya? Siapa? Jangan bilang kamu
jealous?"Bisma
"Sudahlah Bis!"kesalku
Dia tertawa renyah kemudian mengacak-acak poniku.
"Kamu itu sudah seperti adikku sendiri. Jangan
kebanyakan sedih ya! Nanti kakaknya ikut sedih"ujarnya
Aku menatapnya bingung. Ku rasa, selama ini kami tak
pernah dekat. Dan dia malah menganggapku seperti adiknya? Bodoh.
Aku berbincang cukup
lama dengan Bisma. Pesanan kamipun sudah datang. Dan kami masih asyik
membicarakan banyak hal.
"Memang kamu pikir aku dekat dengan siapa? Aku
tidak pernah menceritakan hal pribadi pada siapapun, kecuali kamu dan Dina.
Dina kan pacar aku, jadi lebih baik aku anggap kamu adikku. Jadi adik kesayangan
yang baik ya!"ujarnya sembari mencubit pipiku
"Berhenti membuatku kesal Bis!"protesku
Dia malah kembali tertawa.
"Bis, memang kamu cinta banget sama
Dina?"tanyaku hati-hati
"Iya dong. Aku ini tipe cowok setia"Bisma
Sayangnya pacarmu enggak Bis. Entah mengapa, aku
menaruh simpati padanya setelah ia mengatakan jika ia menganggapku seperti
adiknya sendiri.
"Udah selesai kan? Biar aku yang traktir. Aku
duluan ya"pamit Bisma kemudian pergi
Aku kembali terngiang
kata-kata Bisma, 'Aku anggap kamu adikku. Jadi adik yang baik ya!'
"Bis!"panggilku
Aku berlari kecil ke arahnya. Kemudian berdiri di
hadapannya.
"Ada apa?"tanyanya
"Ak...aku.. Aku...maaf Bis"gugupku
"Ada apa sih?"bingung Bisma namun masih
mengukir senyumnya
"Seminggu lalu aku melihat Dina bersama Rafael.
Kata Rafael, Dina pacarnya"ucapku cepat
Maaf. Maaf jika aku terlalu ikut campur urusan
kalian. Hanya saja, mendadak aku tak ingin melihat Bisma terkhianati. Aku
merasa tak rela, dan itu bukan karena Rafael, melainkan Bisma.
"Mungkin yang kamu lihat Dina yang lain.
Lagipula kamu tak begitu mengenalnya bukan?"Bisma
"Enggak Bis. Aku yakin itu Dina pacar
kamu"balasku
Bisma menatapku dingin.
"Aku akan memastikannya sendiri"ujar Bisma
kemudian pergi
Astaga....apakah ia tidak mempercayaiku? Dan dia
menganggapku berbohong? Bodohnya aku. Harusnya aku tidak ikut campur masalah
itu.
Hari berganti. Aku
duduk di sebuah kursi di dalam cafe dekat kampusku. Aku menyeruput cappucinoku
perlahan. Namun seseorang berhasil membuatku tersedak. Dia adalah Bisma. Dan
dia langsung duduk di hadapanku.
"Ada apa?"tanyaku
"Kamu benar. Aku salah menilai
Dina"ujarnya dengan raut wajah kecewa
Ku rasa Bisma sudah mengetahui kebenarannya.
"Lalu, apa yang ingin kamu
lakukan?"tanyaku
"Aku sudah membuka gedoknya. Aku yakin Rafael
akan segera ke sisimu"Bisma
Aku menggeleng cepat.
"Maksudku bukan itu"aku
Dia menatapku sendu.
"Aku nggak bisa sama Rafael lagi, Bis.
Aku...aku akan segera pergi"lanjutku
"Kamu mau kemana?"tanya Bisma cepat
"Bisakah kamu membawaku pergi?"tanyaku
Dia menyeritkan alisnya.
"Aku sakit Bis. Usiaku tak panjang lagi. Aku
tidak mau orang tua dan mereka yang menyayangiku sedih ketika aku pergi nanti"lirihku
"Sakit? Sakit apa? Kamu jangan bercanda
deh!"Bisma dengan nada khawatir
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
"Tapi kenapa aku?"Bisma
"Aku tidak tahu harus pada siapa aku minta
tolong. Aku cuma percaya sama kamu. Aku yakin kamu juga akan menjaga rahasia
ini"jawabku
Bisma terdiam. Ia nampak berpikir. Sesaat kemudian
ia bangkit berdiri dan pergi.
Dua minggu berlalu.
Rasa sakit itu kian menyiksaku. Aku masih terus meminum obat itu. Namun
sepertinya semakin lama obat itu semakin tak berpengaruh padaku. Sinar matahari
yang terik menusuk kulitku. Cahayanya minyilaukan mataku. Aku menahan rasa
sakit itu sebisa mungkin, aku tak ingin seorangpun tahu tentang rasa sakit ini.
Tubuhku terasa semakin ringan. Dan aku menghentikan langkahku. Aku terpenjat
saat ku rasa tubuhku di angkat oleh seseorang. Dia adalah Bisma. Aku menatapnya
bingung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Perlahan, aku membuka
mataku. Ku lihat Bisma masih setia di sampingku. Ia tengah membaca buku hingga
tak menyadari jika aku sudah bangun.
"Bis..."panggilku pelan
"Lusa kita akan berangkat ke
Bandung"ujarnya singkat
Aku tercengang dengan ucapannya.
"Semua sudah aku urus. Kamu hanya perlu menahan
rasa sakit itu hingga lusa. Dan setelah itu kamu tidak perlu lagi
merahasiakannya"lanjut Bisma
Dua hari berlalu. Aku
dan Bisma baru saja sampai di sebuah villa di Bandung. Dia membawakan
barang-barangku dan masuk ke dalam villa itu. Aku terkejut saat melihat Vicky
disana.
"Vicky?"kagetku
"April!"ujar Vicky kemudian memelukku
sangat erat
Ku rasakan sahabatku itu menjatuhkan air matanya di
bahuku. Aku menatap Bisma penuh tanya.
"Dia sudah tahu semuanya. Maaf. Aku cuma ingin
kamu tak merasa kesepian. Dia juga sangat menyayangimu Pril"Bisma
Aku mengangguk kemudian membalas pelukan sahabatku
itu.
Waktu makan malam telah
tiba. Bisma duduk di sampingku. Ia mengambilkanku makanan. Sepertinya, dia tahu
betul apa yang boleh ku makan dan apa yang tak boleh ku makan. Kedua sahabatku
ini berusaha menyesuaikan diri dengan keadaanku.
"Makannya pelan-pelan aja!"ujar Bisma
sembari tersenyum
Aku mengangguk.
Baru beberapa suap aku makan, rasa sakit itu kembali
menjalar di dadaku. Aku berusaha menahannya. Aku tak mau mengganggu makan malam
Bisma dan Vicky. Ku rasakan keringat mulai menetes dari keningku.
"Pril, kamu kenapa?"tanya Vicky khawatir
Bisma segera mengalihkan pandangannya padaku. Lalu
ia berdiri dan berlari mencari obatku. Kemudian ia kembali dan membantuku
meminum obat.
"Aku tidak papa. Lanjutkan saja makan malamnya!"ujarku
Vicky mendekatiku dan menghapus keringatku.
"Vick, bantu April ke kamar, biar aku
panggilkan dokter"Bisma
Aku menahan lengannya.
"Aku nggak papa Bis. Kamu cuma belum terbiasa
melihatku seperti ini"ujarku
Bisma menatapku sendu kemudian mengangkat tubuhku
dan membaringkanku ke tempat tidur.
"Sudah ku bilang, kamu tidak perlu menahannya
lagi"Bisma
Vicky dengan setia menemaniku. Bahkan ia membantuku
melakukan apapun yang tak bisa ku lakukan sendiri.
Tiga hari kemudian, aku
memainkan gitarku sembari duduk di halaman belakang villa. Aku mencatat
beberapa not hingga menjadi nada dan menyusun nada itu hingga menjadi sebuah
lagu.
"Lagu yang indah"puji Bisma yang tiba-tiba
datang
"Bantu aku membuat liriknya"ujarku
"Kamu kan tahu, aku tidak tahu soal
musik"Bisma
"Tapi kamu adalah ketua organisasi pecinta
seni. Setidaknya kamu harus belajar"aku
Bisma menatapku dalam. Aku tersenyum kemudian
menyerahkan gitarku padanya. Ia menatapku penuh tanya. Namun ia segera mengerti
setelah aku memberikan buku catatanku padanya.
"Aku nggak bisa"keluhnya
Kemudian aku mulai mengajarinya memainkan gitar. Aku
tersenyum melihat kegigihan Bisma belajar. Namun rasa sakit itu kembali muncul.
Dan aku tidak mau mengganggu Bisma.
"Bis aku ambil minun dulu ya!"pamitku
Ia mengangguk dan tersenyum.
Kemudian aku berjalan masuk ke dalam villa.
Rasanya sangat sakit.
Jauh lebih sakit dari sebelumnya. Rasa sakit itu menjalar hampir ke seluruh
tubuhku. Kaki dan tanganku gemetar. Aku merasa seperti terbang, tubuhku ringan
dan....
"Prang......."
Tak sengaja, aku menjatuhkan guci dan terjatuh.
"April!"pekik Bisma
Ia berlari ke arahku dan mengangkatku menuju sofa.
Ia bergegas mengambil obat dan kotak P3K. Lalu ia membantuku minum obat.
Selesai membantuku minum obat, ia membersihkan luka di tanganku akibat terkena
pecahan guci. Astaga! Banyak sekali darahnya. Dan aku baru sadar karena sedari
tadi hanya memikirkan jantungku.
"Sudah ku bilang berulang kali, jangan tahan
rasa sakit itu! Biarkan aku tahu jika kamu sedang kesakitan!"ujar Bisma
Ku lihat matanya memerah. Apakah dia sedang menahan
tangis?
"April! Apa yang terjadi?"kaget Vicky
Bisma segera pergi setelah Vicky datang. Aku tak
tahu, mau kemana ia pergi. Dan ku rasakan setetes air mataku terjatuh ketika
melihat Bisma yang melangkah menjauh.
Hari menjelang sore.
Aku merasa bosan. Aku duduk sendirian di balkon kamar. Vicky tengah memasak
makan malam untuk kami, dan aku tidak boleh membantunya akibat kejadian tadi
siang.
"Aku minta maaf"ujar seseorang mengagetkanku
"Bisma?"kagetku
Dia duduk di sampingku.
"Bis.. Aku mau jalan-jalan. Antarkan aku ke
tempat yang indah"pintaku
Bisma menatapku sendu. Nampaknya ia ragu. Namun tak
lama kemudian ia membantuku berdiri dan menggandeng tanganku.
Bisma membawaku ke
sebuah air tejun. Ia membantuku duduk di atas rerumputan.
"Kamu suka?"tanyanya
Aku mengangguk mantab.
Ia tersenyum. Kemudian memberiku sebuah kerikil.
“Kumpulkan semua beban hidupmu pada kerikil itu lalu
lempar sejauh mungkin!"ujarnya
Aku menutup mataku, seakan memberikan semua beban
yang ku rasakan pada kerikil itu. Lalu aku membuka mata dan melemparkan kerikil
itu sejauh mungkin. Bisma kembali tersenyum.
"Bis...makasih ya"ujarku
Bisma menoleh ke arahku.
"Berkat kamu dan Vicky, semua jadi tak terlalu
berat. Aku bisa menjalaninya"lanjutku
Ia menggenggam tanganku.
"Kamu jangan takut, kamu tak pernah sendiri.
Aku akan selalu ada untuk kamu"Bisma
Aku tersenyum dan menatap manik matanya dalam. Dia
terkejut melihatku.
"Ka..kamu sakit? Ayo kita pulang!"ajaknya
Baru saja ia hendak mengangkat tubuhku, aku
menahannya.
"Aku ingin disini. Terima kasih sudah
mengantarkanku ke tempat yang indah. Terima kasih sudah memberiku cerita yang
indah. Terima kasih sudah meluangkan waktumu dan mengubah waktu-waktuku menjadi
indah"lirihku
Bisma menghapus
keringat di keningku. Sepertinya ia tahu, apa yang kini tengah ku rasakan meski
aku tak memberi tahunya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Aku tidak ingin menahannya. Sekali saja, aku
ingin membaginya. Rasanya sakit Bis. Sakit sekali. Rasanya jantungku mau
meledak"ungkapku
Bisma menggenggam erat jemariku.
"Terus! Teruslah salurkan rasa sakitmu itu!
Jangan kamu menahannya sendiri!"ku rasakan suaranya bergetar
Aku hendak mengangkat kepalaku untuk melihat
wajahnya, namun ia menahannya.
"Teruslah membagi rasa sakit itu hingga kamu
tidak lagi merasakan sakit!"lirihnya
Ku rasakan air mataku menetes. Terus menetes
merasakan tangan Bisma yang menggenggamku bergetar. Baru kali ini aku membagi
rasa sakitku. Baru kali ini aku tak sendirian dalam merasakan sakit ini. Air
mataku masih terus menetes. Rasa sakit itu perlahan menghilang, dan aku tak
dapat merasakan apapun lagi.
Satu tahun berlalu........
Aku selalu suka
mendengarkan lagu itu. Lagu yang nadanya aku ciptakan dan kini liriknya telah
Bisma isi. Dan dia juga yang kini menyanyikannya di sebuah cafe. Bisma baru
saja di wisuda beberapa hari lalu. Tapi nampaknya ia enggan mencari pekerjaan.
Ia lebih suka bernyanyi di cafe milik orang tuanya. Dan yang selalu ia
nyanyikan adalah lagu-lagu yang ku ciptakan dan ku tulis di buku laguku. Dia
kini telah pandai memainkan alat musik. Aku senang melihatnya seperti ini.
Dapat menikmati hidup, dan bangkit dari keterpurukan setelah kepergianku
setahun lalu. Aku senang dapat terus melihatnya meski ia tak kan dapat
melihatku. Tapi aku yakin, dia juga merasakan keberadaanku. Terima kasih,
Bisma. Kamu sudah bertahan disisiku hingga detik terakhir. Terima kasih kamu
mau datang dan tetap tinggal di tengah kepedihanku.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar