Kamis, 02 Februari 2017

cerpen-GOODBYE





            Aku duduk di bangku taman yang mulai sepi. Mentari hampir sampai di tempat persembunyiannya. Menyisakan warna jingga yang terlukis di antara awan. Sesekali aku tersenyum pada seorang pria di hadapanku.  Kak Bisma. Dia adalah kekasihku sejak delapan tahun yang lalu. Satu-satunya teman dalam hidupku. Dia adalah segalanya bagiku. Aku dapat sampai ke tempat ini dan meraih semua cita-citaku karenanya. Dia adalah pengusaha kaya raya. Pemilik rumah sakit dimana aku bekerja kini. Dan dia yang telah memungutku dari jalanan dan merubahku menjadi harta yang sangat berharga baginya.
            Aku kembali mengingat kejadian sembilan tahun silam. Saat aku bekerja di sebuah cafe sebagai seorang pelayan. Saat itu usiaku masih 18 tahun. Aku harus bekerja keras sembari menyelesaikan study SMA ku. Itu semua aku lakukan demi cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Aku hanyalah anak panti asuhan yang memiliki mimpi besar. Tak ada apapun yang dapat ku banggakan selain mimpiku. Maka dari itu aku harus berusaha keras meraihnya.
            Sore itu, mataku terpejam saat mendengar sebuah gelas yang di banting dengan sengaja. Aku menggenggam kedua tanganku erat. Nampaknya aku akan kehilangan pekerjaanku hari itu.
“Kau bodoh atau apa? Aku memesan green tea, bukan lemon tea. Apa telingamu bermasalah?”teriak wanita paruh baya itu padaku.
Dari dandanannya, nampaknya ia bukan orang sepertiku. Ia nampak modis dengan setelan jas dan rok biru selutut yang ia kenakan.
“Maaf nyonya. Tolong maafkan saya. Saya akan segera menggantinya”ujarku memohon.
Wanita itu memandangku sengit. Alisnya tebal. Mempertegas sikap angkuh yang ada pada dirinya.
“Ada apa ini?”tanya bosku yang baru saja datang.
“Siapa Anda?”tanya wanita galak itu.
“Saya pemilik cafe ini. Apa ada masalah?”tanya bosku sopan.
“Hah? Bagus Anda disini. Sebaiknya Anda memecat pelayan bodoh ini. Dia sama sekali tak becus kerja. Dia sungguh bodoh dan menjijikkan”ucap wanita itu dengan angkuhnya.
Terlihat bosku menghela napas panjang dan menatapku sejenak, membuatku menunduk takut.
“Bisakah Anda pergi sekarang?”tanya bosku
Aku menoleh ke arahnya. Ucapan itu bukan ia tujukan padaku. Melainkan pada wanita galak di depanku.
“Apa?”tanyanya kaget.
“Meskipun dia hanya pelayan, dia juga punya harga diri. Dan mulut Anda telah melukai harga dirinya. Saya tidak akan meminta Anda memohon maaf padanya. Karena saya tahu, Anda tidak akan mau. Tapi setidaknya Anda bisa pergi sekarang, agar wajah memuakkan Anda tidak menambah luka di hatinya”ujar bosku memandang wanita itu sengit.
Tunggu! Dia membelaku? Dia membela pelayan sepertiku di hadapan pelanggannya?
            Tanpa berucap apapun pelanggan angkuh itu pergi. Masih dengan wajah gaharnya tentunya. Aku kembali menunduk saat bosku beralih menatapku. ‘Kau di pecat’. Aku yakin dia akan mengucapkan kalimat itu.
“Apa kamu tak punya harga diri?”bentaknya
Aku menatapnya bingung. Apa yang ia katakan? Aku hanya berusaha menempatkan diriku pada posisiku. Pelayan. Apa dia tak mengerti itu? Oh tentu saja tidak. Dia adalah kalangan tingkat atas. Seorang pemuda yang berhasil meraih kesuksesan sebelum usianya menginjak kepala tiga.
“Maaf Tuan”ujarku sembari membungkuk.
“Kenapa kamu diam saja saat dia menyebutmu ‘bodoh’?”tanya bosku. Masih dengan nada marah tentunya.
Huft.... Aku bernapas lega. Meskipun aku di marahi, setidaknya aku tak kehilangan pekerjaanku. Aku baru tahu jika bosku sangat mempedulikan karyawannya. Dia tidak seperti bos pada umumnya. Dia sangatlah baik. Dan sangat bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawannya.
            Tahukah kalian? Sejak saat itu aku dapat lebih mengenal bosku. Kami mulai dekat. Dia simpati dengan kisah hidupku. Seorang pelajar yang harus berjuang mati-matian demi meraih mimpinya. Ia berniat membiayaiku kuliah kedokteran, tetapi aku menolaknya. Aku tidak mau terlalu banyak berhutang budi padanya. Ia sudah terlalu baik padaku. Tapi ia tak menyerah. Atas nama rumah sakit miliknya, ia memberiku beasiswa, dengan syarat aku harus bekerja disana saat aku lulus nanti. Baiklah, aku menerimanya. Setidaknya kali ini aku tidak menerima bantuannya secara cuma-cuma.
            Hingga tahun berikutnya, ia menyatakan perasaannya padaku. Saat itu aku duduk di semester kedua kuliahku. Dan dia baru saja kembali dari luar negeri untuk urusan bisnis.
“Aku rasa hidupku berubah setelah aku mengenalmu. Hidupku menjadi lebih berwarna. Otakku yang dulunya hanya terisi pekerjaan, kini mulai memikirkan hal lain”ujarnya serius.
“Maksud kakak apa?”jujur saat itu aku masih bingung. Usiaku masih 19 tahun, dan dia sudah berusia 27 tahun. Bisakah ia berbicara intinya saja?
Ia tersenyum simpul. Membuatku semakin bingung. Namun kemudian ia menggenggam jemariku. Aku sempat kaget. Tapi aku tak dapat menolaknya.
“Aku mencintaimu, Roseandara Andriani”ungkapnya penuh ketulusan.
Aku sempat terpaku. Namun aku segera sadar, siapa aku, dan siapa dirinya. Kami sungguh jauh berbeda.
“Maaf aku nggak bisa. Kakak lebih pantas bersama orang yang lebih baik dariku. Seseorang dengan latar belakang yang jelas, dan karir cemerlang seperti kakak”jawabku
            Aku pikir, aku adalah orang yang munafik. Aku membohongi hatiku sendiri. Tapi itu semua demi kebaikannya. Aku tak pantas untuknya, dan tak akan pernah menjadi pantas. Dunia kami berbeda, cukup jauh. Dia terlalu tinggi untuk aku gapai.
“Aku nggak peduli dengan semua itu. Aku hanya percaya pada hatiku. Dan hatiku telah memilihmu. Setidaknya, beri aku kesempatan, Dara”pintanya.
Aku berpikir sejenak. Aku salah karena mencintainya. Tapi dia tak salah karena mencintaiku. Dia memiliki segalanya, dia tak pantas di salahkan. Dia pantas mendapat apapun yang ia mau. Tak dapat ku ingkari, aku juga ingin berada di sisinya. Hatiku juga memilihnya dari jutaan pria di luar sana. Mataku tak dapat meihat cinta yang lain selain cintanya.
“Aku juga cinta sama kakak. Tapi.....”ucapku terpotong.
“Itu saja sudah cukup. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu”potongnya.
Detik berikutnya ia menarikku berdiri dan segera memelukku erat. Sangat erat.
“Berjanjilah untuk selalu di sisiku hingga akhir!”pintanya.
Dengan sedikit keraguan, aku mengangguk dan membalas pelukannya. Kepalaku aku sandarkan di dadanya. Ternyata sungguh hangat pelukan kekasihku itu.
            Dia adalah Bisma Karisma. Seseorang yang menjadi kekasihku delapan tahun terakhir. Aku tak peduli dengan usia kami yang terpaut cukup jauh. Aku tak peduli jika orang lain menganggapku rendah dan buruk karena menerima cinta pria sempurna itu. Yang aku pedulikan hanyalah senyumnya yang terlukis saat sedang bersamaku. Aku bahagia melihat senyumannya. Aku bahagia menjadi alasan disetiap senyumannya. Bagiku, dia adalah jiwaku. Dia adalah nafasku. Dulunya hanya ada hitam dan putih di hidupku. Tapi setelah dia datang, semua berubah menjadi indah. Selama delapan tahun ini, ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.
            Dulu jika aku pulang kuliah malam, dia sudah berada di kontrakan sederhana milikku dan memasakkanku makan malam. Ia bisa memasak. Ia bisa melakukan apa saja untukku. Dulu saat kami terjebak macet berjam-jam sementara di luar hujan lebat, ia melepas jas kerjanya untuk menyelimutiku. Ia tak memperdulikan dinginnya udara saat itu. Ia tak menghiraukan alerginya terhadap udara dingin. Bahkan ketika aku kecewa karena nilai kuisku jelek, ia datang menghampiriku dengan kostum badut. Menari-nari demi menghiburku. Tak peduli jika orang lain mentertawakannya. Yang ia pedulikan hanya senyumku. Ia ingin selalu tertawa bersamaku.
            Kembali ke masa sekarang. Matanya yang sayu menatapu dengan binar yang amat terang. Matanya selalu terlihat indah saat menatapku. Aku tersenyum padanya. Nampaknya ada hal yang ingin ia bicarakan padaku.
“Ada apa? Apa kau haus?”tanyaku.
Dia menggeleng dengan senyum khas di bibirnya. Tangannya terangkat untuk membelai pipi kiriku. Akupun menggenggam tangan itu.
“Kamu tiap hari makin cantik aja”pujinya
Aku tersenyum. Tak dapat ku sembunyikan semburat kemerahan yang timbul di kedua pipiku. Ia terkekeh sebentar melihat reaksiku.
“Apa Anda sedang menggoda seorang dokter, Tuan Bisma Karisma?”candaku.
Ia semakin terkekeh geli. Kemudian mengambil tanganku untuk ia letakkan di dadanya. Merasakan detak jantungnya yang kian melemah setiap harinya. Aku menatapnya sendu. Rambutnya tak selebat dahulu lagi. Tubuhnya semakin kurus dan terlihat rapuh. Namun di mataku ia tetap pria yang paling tampan.
“Dia selalu berdetak dengan baik saat kamu di sisi ku”ujarnya serius.
Aku mengangguk. Perlahan, senyum di bibirku memudar. Hanya tatapan senduku yang dapat ku lemparkan padanya.
“Ya. Dan akan terus begitu. Karena delapan tahun lalu kamu sudah berjanji akan selalu membahagiakanku”balasku.
Ia tersenyum miris. Ada apa? Apa ia mulai menyerah dengan semua ini?
            Sejak tiga tahun lalu, kak Bisma mengidap kanker otak. Keadaannya kian memburuk akhir-akhir ini. Bahkan sejak dua bulan lalu, ia tinggal di rumah sakit. Semua upaya pengobatan yang dilakukan padanya gagal. Entah itu operasi, kemoterapi, dan pbat tradisional, tak mampu memperbaiki keadaannya. Aku adalah seorang dokter. Tapi aku tak mampu menyembuhkannya. Yang bisa ku lakukan hanya terus berada di sisinya. Tak membiarkannya merasa sendiri dan sepi.
            Kak Bisma menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya. Aku mendengar dengan jelas detak jantung yang kian melemah itu.
“Apa kamu ingin menyerah dan mengingkari semua janjimu itu?”tanyaku parau.
Dia menggeleng dan mempererat pelukannya.
“Aku tidak sanggup untuk mengingkari janjiku padamu. Aku terlalu mencintaimu, Dara. Aku tak ingin kamu kecewa dan menangis karenaku”jawabnya.
Dia membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku dapat merasakannya. Hingga setetes air mataku menetes.
“Jika Tuhan memberiku kesempatan hidup satu kali lagi di masa mendatang, aku tak akan meminta harta yang aku miliki kini. Aku tak ingin meminta kekuasaan ataupun kehormatan seperti yang aku miliki saat ini. Aku hanya menginginkan satu hal”ucapnya terhenti.
Aku melepas pelukannya dan menatap matanya serius, menanti lanjutan ucapannya.
“Yang aku inginkan hanya memiliki senyummu kembali hingga aku mati”lanjutnya sembari tersenyum tipis.
“Kak Bisma...”panggilku.
Ia tersenyum.
“Kak Bisma adalah nyawaku. Disaat aku tidak yakin akan adanya masa depan, kakak datang dan menyalakan lentera yang menerangi jalanku hingga aku sampai ke tempat ini. Kakak adalah alasan di setiap senyumanku” ujarku
            Dia kembali menarikku ke dalam dekapannya. Hangat. Selalu terasa hangat dan menenangkan. Aku tidak bisa membayangkan jika suatu hari aku tak dapat merasakannya lagi. Akankah aku akan tetap kuat untuk berjalan? Bahkan sekadar bangkit berdiripun, nampaknya aku tak akan mampu.
“Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Tuhan tak akan menghadirkan pertemuan tanpa sebuah alasan. Tuhan menghadirkanku dalam hidupmu untuk menguatkan langkahmu dalam meraih mimpi. Dan Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku untuk memberi warna di hidupku yang singkat. Dan sekarang, tugas itu sama-sama telah kita laksanakan. Bagi kakak, bertemu denganmu adalah anugerah terindah. Dan kakak harap kamu juga menganggap kakak demikian”kak Bisma
“Aku selalu menganggap kakak seperti itu”balasku.
“Jika kamu menganggapku sebagai anugerah, harusnya kamu tak menangisi keadaanku. Harusnya kamu yakin, meskipun saat ini aku pergi, aku tak akan hilang. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Dan di saat itu, kita tak perlu lagi merasa kehilangan”ujarnya.
            Lagi. Aku melepas pelukannya. Aku menyentuh pipinya yang terasa dingin. Ia melakukan hal yang sama. Ia menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
“Biarkan aku memiliki senyumanmu hingga akhir”pintanya lembut.
Perlahan, aku mengukir senyumanku. Aku ingin mengantarnya pergi dengan senyum terindah. Agar ia tak lupa padaku. Agar ia menjemputku nanti saat aku pergi ke dunianya. Dan perlahan, mata itu tertutup. Aku segera memeluknya erat. Menangis di bahunya. Ini kali pertama ia tak membalas memelukku. Ini kali pertama ia tak membisikkan kata cinta saat aku memeluknya. Hati ku sakit, sangat sakit.
            Selamat tinggal kisah terindah di hidupku. Aku mengantarmu dengan senyum terindahku. Aku tak yakin bisa menjalani hidup yang indah tanpamu. Untuk menatap hari esok saja, rasanya aku tak mampu. Aku ingin waktu berhenti di detik ini. Disaat aku dapat memelukmu dengan erat. Kamu pergi dengan bahagia. Tapi tidak dengan aku disini. Kebahagiaanku seakan berakhir. Berjanjilah satu hal lagi! Suatu hari nanti kita harus bertemu lagi. Di tempat yang lebih indah. Tanpa rasa sepi dan kesendirian. Hanya ada aku dan kamu yang selamanya akan bahagia bersama. Dan kamu akan terus di sampingku tanpa akhir. Sampai jumpa. Aku akan merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar