Jumat, 14 Agustus 2015

Cerpen-Our Destiny



Our Destiny

Teriknya matahari membuatku enggan keluar dari tempat ini. Cafe yang nyaman, dekat dengan sekolahku. Kini aku tengah menikmati ice cappucino kesukaanku, di temani sahabatku sejak awal masuk SMA, Intan. Sedari tadi Intan sibuk dengan ponselnya. Sesekali, ia menyeruput jus alpukat di hadapannya. Aku dan Intan, saat ini duduk di bangku kelas 2 SMA. Kami ditempatkan di kelas yang sama selama dua tahun ini. Bahkan, kami juga teman sebangku. Tak heran jika aku menganggapnya sahabat terbaikku. Dimana ada aku, disana pasti juga ada Intan.
Aku merasa mulai bosan. Padahal biasanya aku sangat betah jika sedang 'nongkrong' di cafe ini bersama Intan. Mungkin karena sikap Intan yang aneh beberapa hari ini. Dia selalu sibuk dengan hand phonenya.
"Intan, chattingan sama siapa sih?"tanyaku
"Temen"jawab Intan singkat
Aku menghela napas malas. Tak biasanya Intan menjawab pertanyaanku sesingkat itu.
Beberapa saat kemudian aku kembali menyeruput ice cappucinoku hingga tak bersisa.
"Pulang yuk!"ajakku
Intan mengangguk. Kamipun segera pulang ke rumah masing-masing.
Sampainya di rumah, aku mendapati mama ku yang tengah berdandan. Sepertinya beliau tengah mencari sesuatu.
"Mama cari apa sih?"tanyaku
"Hay sayang. Udah pulang? Ini nih..mama nyari sepatu putih oleh-oleh dari tante Mala kemarin. Habis mama coba itu mama taruh mana ya?"bingung mamaku
"Ada di kamarku ma. Kan kemarin mama yang naruh sana"jawabku
Mamaku segera berlari ke kamarku untuk mengambil sepatunya. Aku berjalan malas menghampiri mama. Terlihat mama duduk di tepi tempat tidurku sambil mengenakan sepatu putih yang tadi beliau cari.
"Mama mau kemana sih? Kok dandan gitu?"tanyaku
"Mama mau ketemu seseorang sayang. Penting dan mama udah telat. Mama pergi dulu ya, bye"terang mama ku
Aku tahu pasti siapa yang akan mama temui. Pasti om Ranung. Teman dekat, atau bisa dikatakan sebagai kekasih mama sejak beberapa waktu lalu. Memang, setelah kepergian papa enam tahun lalu aku dan mama hanya hidup berdua saja. Apalagi, keberadaan kami jauh dari sanak saudara. Namun sebenarnya, aku tak pernah menyukai hubungan itu. Bukan karena om Ranung pria jahat atau sebagainya. Om Ranung adalah pria baik dan penyayang. Namun rasanya sangat berat untuk menerima keberadaan keluarga baru bagiku.
Ingatanku kembali ke masa-masa dimana aku tak pernah merasa sendiri. Saat ada seseorang yang mampu membuatku bangkit dari keterpurukanku setelah kepergian papa. Pacarku semasa SMP. Dia bukanlah pria yang romantis yang selalu memberiku hadiah. Dia hanyalah pria biasa yang membuatku nyaman saat di dekatnya. Aku tak tahu, kapan pastinya rasa ini hadir di tengah kebersamaan kami. Yang aku tahu, aku ingin selalu di dekatnya. Aku merasa tenang dan lebih baik saat dia disisiku. Hingga akhirnya hubungan kami kandas saat perpisahan siswa. Dia meninggalkanku, setelah bertahan cukup lama diantara masalah yang hadir.
Satu bulan berlalu. Besok adalah hari ulang tahun Intan yang ke-17. Seperti remaja pada umumnya, ulang tahun yang dianggap spesial itu akan di rayakan di sebuah restoran. Sore ini aku dan Intan tengah berjalan menyusuri sebuah mall tak jauh dari sekolah.
"Aku lelah. Istirahat dulu yuk!"ajak Intan
"Dimana?"tanyaku
Intan menunjuk sebuah restoran indoor berdindingkan kaca. Aku mengangguk setuju.
Setelah kami duduk, seoang pelayan datang menawarkan menu pada kami. Sembari menunggu pesanan datang, aku dan Intan  membicarakan banyak hal.
"Oh iya Bel, aku mau bilang sesuatu sama kamu"Intan
"Apa? Bilang aja! Kayak orang mau nembak aja kamu"ujarku
Intan tertawa mendengar candaanku.
"Aku serius, Bella. Tapi jangan kaget ya!"Intan
Setelah mengambil napas panjang, Intan melanjutkan ucapannya.
"Aku punya pacar. Yah...tepatnya hampir dua bulan lalu"Intan
"Loh, kok baru bilang? Siapa dia? Pastu ganteng ya?"tanyaku bertubi-tubi
Intan mengangguk mantab.
"Ganteng dong. Baik, lucu, ya gitu deh"Intan
"Maaf baru cerita. Aku nggak enak aja buat bilangnya. Apalagi mengingat tentang masa SMP mu yang membuatmu rapuh hingga saat ini"lanjutnya
Aku tersenyum mendengar penuturan Intan.
"Ssstt, sudahlah, jangan bahas itu! Siapa laki-laki itu? Dia satu sekolah sama kita?"tanyaku
Intan menggeleng.
"Dia anak SMA 7. Namanya Bisma. Bisma Karisma tepatnya"terang Intan
Nama itu tak terdengar asing di telingaku. Bisma Karisma. Nama kekasihku saat SMP dulu. Tapi apa iya Bisma yang dimaksud Intan sama dengan Bisma mantan kekasihku itu? Aku memilih bungkam. Aku tidak bisa membayangkan, jika benar Bisma mantanku itu Bisma yang Intan maksud.
Hari berganti. Sore ini pesta ulang tahun Intan diadakan. Kini aku tengah bersamanya. Kami duduk berbincang di area outdoor restoran yang telah ditata apik. Intan terlihat cantik dengan dress biru laut selututnya ditambah rambut yang diikat dengan beberapa jepit bunga sebagai hiasannya.
"Sebentar lagi Bisma datang. Nanti aku kenalkan ya?"tawar Intan
"Hah? I..iya"jawabku ragu
"Udahlah, nggak usah gugup begitu! Bisma biasa aja kok orangnya. Dia nggak sok cool ataupun dingin. Tapi nggak cerewet juga"ujar Intan sembari tertawa
Aku tersenyum palsu menutupi perasaanku saat itu.
Ku lihat Intan melambaikan tangan ke arah yang ku belakangi. Akupun menoleh. Dan ku dapati sosok Bisma disana. Bisma mantan kekasihku saat SMP. Disana aku hanya dapat diam, perlahan aku mulai merasa sesak untuk bernapas.
Bisma berjalan ke arahku dan Intan.
"Happy birhday sayang. Be better ya!"ujar Bisma
"Makasih Bis"balas Intan
Intan menarikku untuk berdiri.
"Bel, ini loh Bisma yang kemarin aku ceritain"Intan
Aku tersenyum.
Bisma menatapku kemudian mengangkat tangan kanannya. Aku menyambutnya hingga kami bersalaman.
"Bisma"ucapnya memperkenalkan diri
"Bella"balasku sedikit lirih
Rasanya sungguh berat untuk menahan air mataku. Bahkan, untuk sekedar mengakui bahwa kamu mengenaliku pun kamu nggak mau Bis? Apa kamu tidak tahu, betapa sakitnya aku saat ini?
Sejak malam itu, aku terpaksa harus kembali berhadapan dengan Bisma. Bukan Bisma kekasih yang sangat aku cintai, tapi Bisma, kekasih sahabat terbaikku. Karena dia sering bergabung dengan aku dan Intan saat kami pergi bersama.
Sepulang sekolah, Intan mengajakku ke cafe yang biasa kami kunjungi. Ternyata sudah ada Bisma disana.
"Kamu ke Bisma dulu gih! Aku pesenin ice cappucinonya"Intan
Aku mengangguk lalu berjalan ke arah Bisma. Aku mengambil posisi duduk berhadapan dengannya. Tak ada pembicaraan apapun antara kami. Kami sama-sama diam. Bisma terlihat asyik memainkan hand phone nya. Kemudian Intan datang dan langsung duduk di sampingku. Ia menyodorkan ice cappucino pesananku.
"Maaf ya Bis, kami lama"Intan
"No problem. Gimana, besok jadi nonton?"Bisma
"Jadi donk. Kamu sudah beli tiketnya kan?"Intan
"Udah aku pesenin kok"Bisma
"Bella, kamu ikut ya!"Intan
"Hah? Kok aku sih? Nggak ah"tolakku
"Ayolah Bel, kamu bilang dimana ada kamu, disitu ada aku, dan begitu pula sebaliknya"Intan
"Ayolah, Bisma juga nggak keberatan. Iya kan Bis?"tanya Intan
Bisma mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sahabatku ini sungguh keras kepala. Tak mungkin ia menyerah memaksaku ikut dengannya. Akhirnya, aku mengangguk pelan.
"Okey, besok kamu ke rumahku jam 17.30 ya!"Intan
Lagi-lagi aku mengangguk pasrah.
Malam harinya, aku membuka diary bersampul pink yang lama tak ku jumpai. Aku menemukannya di kardus berukuran cukup besar di kolong tempat tidurku. Disana tertulis beberapa kisahku di masa SMP. Masa dimana aku mulai diperkenalkan dengan yang disebut 'Cinta'. Masa dimana aku mulai bisa menerima sosok lelaki yang membuatku nyaman, Bisma. Dulu aku pikir hubungan kami akan berlangsung lama, bahkan tak akan berakhir. Aku kira dia jodohku. Tapi ternyata aku salah. Belum genap dua tahun dia menjadi kekasihku, aku harus melepasnya karena keegoisan orang lain.
Pukul 17.20, aku telah sampai di rumah Intan. Beberapa kali aku membunyikan bel, hingga pintu utama rumah sederhana itu terbuka. Intan tersenyum melihatku dari atas sampai bawah.
"Kenapa? Memang ada yang salah ya?"tanyaku kebingungan
"Enggak sih, cocok aja kamu pakai baju itu"Intan
Aku tersenyum. Sore ini aku mengenakan celana jeans panjang yang aku lipat hingga mata kaki dan hem berwarna tosca. Di kakiku terpasang sepatu kets hijau tua. Terkesan lebih rapi memang. Sebab biasanya aku lebih nyaman dengan kaus lengan pendek, celana jeans panjang dan flat shoes terbuat dari bahan karet.
Beberapa saat setelah kedatanganku, Bisma datang. Intan segera menarikku untuk naik ke mobil Bisma. Intan duduk di sebelah Bisma, sementara aku di belakang. Di sepanjang perjalanan, Intan dan Bisma asyik bercanda, seakan mereka lupa akan keberadaanku. Beberapa kali aku menghela napas panjang. Berusaha menghilangkan rasa sesak melihat keasyikan mereka. Tiba-tiba, hand phone ku berbunyi. Tertera nama Rafael disana.
'Halo, ada apa Raf?'
'...'
'Maaf Raf, aku nggak bisa. Gimana kalau besok ngerjain di kelas aja?'
'...'
'Ak...aku lagi keluar sama Intan dan Bisma'
'...'
'Oh...iya'
'...'
'Yaudah, bye'
Sambungan telepon ku matikan.
"Rafael ya Bel?"Intan
Aku mengangguk.
"Kenapa?"Intan
Sesekali aku lihat Bisma melirikku dari spion nya.
"Oh...emh..itu, tanya soal tugas kelompok bahasa indonesia"jawabku
"Oh itu. Aku sama Raya juga belum ngerjain. Palingan juga besok ngerjain di kelas"Intan
Tak lama kemudian kami sampai di sebuah gedung bioskop. Kami bertiga segera masuk. Aku dan Intan menunggu Bisma yang tengah mengambil tiket yang ia pesan. Setelah mendapat tiket dan pop corn, kami segera masuk dan duduk di nomor yang tertera pada tiket. Intan duduk diantara aku dan Bisma. Selesai nonton film, Bisma mengajak kami makan malam di sebuah mini resto yang terletak di sebelah gedung bioskop.
"Gimana tadi, suka film nya?"tanya Bisma pada Intan
Intan mengangguk sembari mengunyah makanannya
"Makanannya enak?"tanya Bisma lagi
"Enak kok"Intan
"Gimana Bel, kamu juga suka kan sama makanannya?"tanya Intan padaku
Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
Pukul 21.15, aku, Intan dan Bisma memutuskan untuk pulang. Seperti biasa, Intan dan Bisma asyik bercanda seperti tadi. Sementara aku kini sibuk membalas pesan Rafael yang sedari tadi menanyakan pelajaran.
"Siapa sih Bel? Rafael ya?"tanya Intan
"Iya nih"jawabku
"Kayaknya, dia suka deh sama kamu. Menurut kamu gimana Bel?"Intan
Aku menghentikan aktifitasku yang tengah membalas pesan Rafael. Aku melihat ke arah spion, terlihat Bisma menatapku dari sana. Namun ia segera mengalihkan pandangannya setelah ia sadar jika aku juga memperhatikannya.
"Bella"panggil Intan membuyarkan lamunanku
"Ya...ya enggak lah, Intan. Ada-ada aja sih kamu"elakku
"Tapi menurut aku iya kok. Lagian kalian juga cocok sih kalau dilihat-lihat"Intan
Aku terdiam dan pura-pura tak mendengar ucapan Intan
"Kalau menurut kamu gimana Bis? Kamu pasti tahu Rafael kan? Kapten basket sekolahku"Intan
"Cocok kok"balas Bisma
Aku menunduk. Terlalu terlihat bila Bisma sudah benar-benar melupakanku. Padahal, sedikitpun aku belum ikhlas melepaskannya.
Mobil Bisma berhenti di halaman rumah Intan. Karena memang, rumah Intan lebih dekat dari pada rumahku.
"Bel, kamu pindah kedepan gih!"suruh Intan sebelum ia keluar
"Ngapain?"tanyaku
"Ya kalau kamu di belakang gitu kesannya Bisma kayak supir"Intan
"Enggak deh. Aku disini aja"tolakku
"Ayolah, biar kalian akrab juga. Aku nggak pernah loh, lihat kalian bicara. Padahal kalian orang-orang yang aku sayang. Aku mau kalian akrab juga. Aku nggak jealous kok"Intan
Tanpa menunggu jawabanku, Intan membuka pintu belakang mobil lalu menarikku pelan untuk duduk di samping Bisma.
"Ya udah, aku pulang dulu ya. See you"pamit Intan
Aku dan Bisma tersenyum. Sesaat kemudian, Bisma kembali menjalankan mobilnya.
Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut kami. Hingga tak terasa, hujan mulai mengguyur jalanan yang kami lalui.
"Ya...hujan"lirihku
Memang sejak kecil, aku tak menyukai hujan.
"Kamu masih tidak suka hujan?"tanya Bisma tiba-tiba
Aku beralih menatapnya, lalu mengangguk pelan.
"Masih kayak dulu ya?"lirih Bisma diiringi senyum tipisnya
Aku menunduk mendengar penuturan Bisma. Ternyata dugaanku salah. Ternyata Bisma masih mengingat segelintir cerita kami.
Beberapa kali kilatan petir menyambar. Aku menutup rapat-rapat telingaku. Jujur, sedari dulu aku sangat takut dengan petir.
"Gleeerrrr"suara petir terdengar kian mengerikan
Namun seketika tubuhku terasa hangat, tenang. Perlahan aku membuka mataku yang sempat terpejam. Aku baru sadar, ternyata aku berada dalam dekapan Bisma.
"Jangan takut, aku disini!"lirih Bisma
Aku mendorongnya pelan lalu mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Aku minta maaf"ujar Bisma
Aku masih enggan menjawabnya.
"Bella, please! Aku benar-benae minta maaf karena semua ini. Maaf karena aku terlalu banyak menyakiti kamu"lanjut Bisma
"Kamu nggak salah kok Bis"balasku
"Aku sayang sama kamu, Bel"ujar Bisma
Aku menatap manik matanya. Terlihat ketulusan disana. Aku tak sanggup menahan kesedihanku. Setetes air mataku jatuh, mengalir dipipiku. Namun dengan segera Bisma menghapusnya dengan ibu jarinya.
"Please, jangan nangis! Jangan buat aku semakin merasa bersalah!"Bisma
"Kenapa hubungan kita harus jadi korbannya Bis? Kenapa harus kita?"tangisku
"Sudahlah Bel, mungkin ini jalan kita"Bisma
"Tapi kenapa harus kita? Apa salah kita Bisma?"isakku
Beberapa detik kemudian, Bisma memelukku erat. Namun sebisa mungkin aku mendorongnya lalu keluar dari mobilnya. Rasa takutku terhadap hujan dan petir seolah tertutupi dengan sakit di hatiku.
Kemudian, suara petir kembali menggelegar. Aku menutup telingaku sembari terduduk di jalanan. Tiba-tiba, seseorang bersimpuh di hadapanku. Ia adalah Bisma.
"Jangan seperti ini, Bella! Ayo kita pulang!"ajak Bisma
Aku menggeleng.
"Tolong katakan kalau hubungan kita tidak benar-benar berakhir! Katakan kalau kita masih bersama, meskipun itu bohong!"terikku sembari mengguncangkan tubuh Bisma
Bisma menggeleng.
"Sudah Bella! Aku mohon sudah!"Bisma
"Aku sayang sama kamu. Aku tidak bisa melihatmu hancur seperti ini"lanjutnya
"Tapi nyatanya apa? Aku hancur Bis. Aku sakit. Setiap mengingat tentang kamu, tentang kita, hati aku sakit"balasku miris
"Maaf. Aku minta maaf"lirih Bisma
"Aku masih tidak bisa menerima kenyataan, bahwa kamu bukan milikku lagi"aku
"Please Bella! Sebentar lagi kita akan menjadi saudara. Sebulan lagi mama kamu dan papaku menikah, dan kamu akan jadi adikku"ujar Bisma
"Bukan itu yang aku mau Bis"aku
Egois memang. Pernikahan orang tua ku dan Bisma menjadikan hubungan kami korbannya. Mereka tega memisahkan kami. Dan aku tak bisa begitu saja melupakan Bisma sebagai kekasihku. Aku sangat mencintainya.
"Aku mohon Bel, kita pulang ya!"ajak Bisma lagi
"Biarkan aku sendiri, Bisma! Aku butuh waktu"lirihku
"Tidak Bel. Ini sudah malam, hujan. Aku nggak mau kamu sakit"Bisma
"Tapi aku butuh waktu Bis! Tolong ngertiin aku, please!"mohonku
Bisma menatapku iba.
"Okey. Jaga diri kamu baik-baik ya!"Bisma
Bisma berdiri lalu meninggalkanku sendiri.
Tangisku semakin menjadi-jadi. Aku berdiri, kemudian berjalan gontai, entah kemana. Kali ini tubuhku telah basah kuyub, bahkan menggigil akibat derasnya air hujan.
"Bella"panggil seseorang
Aku menoleh. Terlihat Rafael berdiri tegap di hadapanku. Tanpa berkata apa-apa, aku memeluknya erat, seakan ingin mencurahkan semua kesakitan hatiku padanya. Rafael pun membalas pelukanku.
"Ada apa Bel? Apa yang membuatmu seperti ini?"tanya Rafael
"Sakit Raf, aku sakit. Aku tidak bisa melupakannya. Aku cinta sama Bisma"isak ku
"Aku tahu Bel"balas Rafael lirih
Pandanganku terasa kabur, tubuhku ringan, seperti sedang terbang. Kemudian, aku tak tahu apa yang terjadi.
Enam tahun berlalu. Kini aku tengah berada di kamar Bisma yang letaknya tak jauh dari kamarku. Aku berniat mengembalikan charger netbook yang aku pinjam pagi tadi.
"Bis, ini charger nya"aku
"Sini duduk!"suruh Bisma
Aku duduk di tepi tempat tidurnya, tepat di samping Bisma duduk.
"Besok malam jadi?"tanyaku
Bisma mengangguk.
"Aku grogi banget nih"Bisma
"Kenapa? Kayak baru kenal aja sama Intan. Lagian besok kan baru tunangan"aku
Bisma tertawa.
"Iya sih. Lucu aja rasanya"Bisma
"Kok bisa ya, aku sama Intan bisa se-serius ini? Setahunan lagi kami akan menikah"lanjutnya
"Namanya juga jodoh"aku
"Kamu sama Rafael gimana? Kapan nyusul?"Bisma
"Nggak tahu. Tapi minggu depan dia mau ajakin mamanya kesini. Aku udah bilang kok ke mama sama papa"aku
Bisma mengacak-acak poniku, kemudian menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya.
Dua tahun belakangan, aku menjaalin hubungan spesial dengan Rafael yang telah lama memendam perasaannya padaku.
"Sudah enam tahun ya?"Bisma
Aku terdiam.
"Aku nggak pernah menyangka, kita bisa seperti ini. Akhirnya kamu jadi adikku. Adik yang sangat aku sayangi"lanjutnya
"Dulu, aku sangat mencintaimu. Aku sebenarnya juga tak bisa meninggalkanmu begitu saja. Tapi akhirnya...."
"Aku sayang kamu, Bella. Selamanya, aku sayang kamu. Lebih dari apapun"
Karena merasa tak ada respon dariku, Bisma melihat kearahku. Ia tertawa geli.
"Masih sama. Kebo"ejek Bisma menatapku yang memejamkan mata
Bisma mengangkat tubuhku lalu membawanya ke kamar. Perlahan ia menidurkanku di tempat tidurku lalu menyelimutiku.
"Have a nice dream, dear. Have a beautiful life in your future. Maaf untuk semuanya. I love you more than you know"lirih Bisma lalu mencium keningku cukup lama
Aku dengar semuanya, Bisma. Tapi aku juga sadar. Sekarang bukan waktunya untuk berharap lebih tentang kita. Tuhan telah menunjukkan jalan untuk kita. Tuhan menyatukan kita, tak mengijinkan kita untuk berpisah. Membuat kita selalu bersama. Namun bukan sebagai pasangan kekasih, melainkan sepasang kakak beradik. Aku yakin, ada hikmah di balik semua ini. Dan aku percaya, pintu kebahagiaan telah menantiku di depan sana.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar